Apidi Bukit Menoreh adalah sebuah seri buku karangan S. H. Mintardja. Seri buku ini tidak selesai sampai ia meninggal. Dalam seri itu terdapat 396 buku. Settingnya diawali dengan pecahnya Kerajaan Demak dan
♦ 15 Juli 2010 Demikian Wikan itu tegak berdiri, maka lawannya yang lebih kecil itu segera menyerangnya. Tetapi lawannya itu menjadi semakin berhati-hati agar ia tidak lagi dapat disekap oleh tangan Wikan. Karena itu, maka anak itu telah berusaha menyerang dengan cepat kemudian menjauhinya dengan cepat pula. Demikian Wikan tegak berdiri, maka lawannya yang kecil itu pun telah meloncat. Kakinya terjulur dengan derasnya mengarah ke dada Wikan. Wikan yang baru saja berdiri tegak itu terkejut. Tetapi ia tidak sempat berbuat banyak. Kaki itu benar-benar telah mengenainya. Demikian kerasnya sehingga Wikan itu terdorong surut. Ternyata lawannya yang marah itu tidak memberinya kesempatan. Anak itu telah meloncat memburunya. Dalam keadaan goyah, maka serangan anak itu telah mendorongnya. Satu pukulan yang keras mengenai kening Wikan. Wikan tidak dapat mengelak. Pukulan itu telah membuatnya menjadi pening. Tetapi Wikan tidak terjatuh karenanya. Meskipun ia menjadi terhuyung-huyung, tetapi Wikan itu tetap mampu bertahan berdiri diatas kakinya. Namun lawannya benar-benar tidak mau memberikan kesempatan. Kemarahannya tidak lagi membuatnya sempat menahan diri. Dengan sekuat tenaganya, anak itu telah menyerang lagi dengan kakinya mengenai perut Wikan. Serangan itu demikian kerasnya, sementara Wikan masih belum sempat memperbaiki keseimbangannya, sehingga Wikan telah terjatuh lagi di atas pasir tepian. Anak yang tinggal di rumah Agung Sedayu itu sama sekali memang tidak mau memberinya kesempatan. Demikian Wikan berusaha untuk bangkit, maka anak itu pun segera menyerangnya. Bahkan beberapa kali, sehingga Wikan benar-benar tidak sempat untuk berdiri. “Curang! Kau curang!“ teriak Wikan. Suaranya bergetar tinggi. Untuk beberapa saat Wikan itu masih tetap berbaring, karena ia memang tidak mendapat kesempatan untuk berdiri. Lawannya yang kecil itu seakan-akan menungguinya dan siap untuk menyerang setiap saat. Yang dicemaskan Pinang itu terjadi. Wasis yang berdiri di atas tanggul itu pun segera meloncat turun. Dengan kasar ia membentak-bentak, “Kau curang anak iblis! Sebelum ia berdiri, kau tidak boleh menyerang.” “Aku sudah menunggu ia berdiri,” jawab lawan Wikan itu. “Tetapi ia belum sempat berdiri tegak,” geram Wasis. “Suruh ia berdiri,” jawab anak yang tinggal di rumah Agung Sedayu itu, “aku menunggunya.” Tetapi Glagah Putih sudah mendekatinya. Sambil memegangi pergelangan tangan anak itu, maka ia berkata, “Sudahlah. Kau masih harus menyelesaikan pekerjaanmu, menggiring ikan itu masuk ke dalam air.” “Aku tidak akan lari,” jawab anak itu, “jika ia masih ingin berkelahi, aku akan berkelahi.” “Biar mereka menyelesaikan perkelahian itu,“ sahut Wasis, “tetapi anak itu pantas mendapat hukuman lebih dahulu karena kecurangannya.” “Hukuman?” bertanya Glagah Putih. “Ya. Ia sudah berbuat curang,” jawab Wasis. “Sudahlah. Biarlah anak ini aku ajak pergi. Perkelahian tidak menguntungkan anak-anak itu. Mungkin seketika mereka tidak merasa sakit. Tetapi besok, bangun tidur, seluruh tubuh mereka akan terasa sakit-sakitan.” “Tidak peduli,” jawab Wasis, “serahkan anak itu. Ia harus dihukum.” “Jangan. Biarlah aku membawanya pergi,” jawab Glagah Putih. “Berikan kepadaku, atau kau yang akan mendapat hukuman itu!“ bentak Wasis. “Siapa yang akan menghukum aku?” bertanya Glagah Putih. “Aku,” jawab Wasis. Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Wasis itu masih lebih muda dari Glagah Putih. Tetapi tubuhnya memang nampak kekar dan kuat. Meskipun demikian, Glagah Putih merasa sangat segan bertengkar dengan anak itu. Apalagi ia tamu di rumah Pinang. Karena itu, maka Glagah Putih tidak melayaninya. Bahkan digandengnya anak yang tinggal bersamanya itu untuk menjauh. Anak itu memang meronta. Katanya, “Biar aku selesaikan perkelahian ini.“ “Sudahlah,” jawab Glagah Putih, “kita tinggalkan mereka.“ “Tetapi anak itu tidak boleh mengambil ikan di pliridan.” “Ya. Ia tidak akan mengambilnya,” jawab Glagah Putih. Anak yang gemuk itu sudah berdiri. Tetapi ia mulai mengaduh kesakitan. Seluruh tubuhnya mulai terasa sakit. Tulang-tulangnya, kulit dagingnya. Bibirnya yang pecah, matanya yang mulai membengkak, sedangkan telinganya menjadi seolah-olah mengiang-ngiang. “Ia menyakiti aku Kakang,“ Wikan mulai merengek. Karena itu, maka Wasis itu pun berkata lantang, “Serahkan anak itu kepadaku! Ia harus dihukum!” “Sudahlah. Seharusnya kita melerai anak-anak yang berkelahi. Jangan justru kita hanyut dalam perkelahian itu,” jawab Glagah Putih. Tetapi Wasis yang menjadi sangat marah karena kekalahan Wikan itu tidak menghiraukannya. Apalagi ketika Wikan mulai merengek, “Tangkap anak itu Kakang. Aku belum membalasnya.” “Cengeng!“ teriak anak yang pergelangan tangannya masih tetap dipegang oleh Glagah Putih itu. Sambil menarik tangannya, Glagah Putih berkata, “Diam kau.” Namun Wasis melangkah mendekati Glagah Putih sambil berkata lantang, “Serahkan anak itu!” “Aku sedang berusaha melerai perkelahian itu. Adalah tidak pantas jika kita berkelahi karena sebab yang tidak jelas. Atau katakan, karena persoalan ikan di pliridan.” “Aku tidak peduli!” jawab Wasis dengan lantang. Pinang menjadi semakin berdebar-debar. Tetapi ia justru berharap agar Glagah Putih membuat Wasis juga menjadi jera. Menurut pendengarannya, Glagah Putih adalah seorang anak muda yang berilmu sangat tinggi. Namum dalam pada itu Glagah Putih berkata, “Ki Sanak. Kita sudah terlalu besar untuk berkelahi. Apalagi aku. Aku agaknya lebih besar dan lebih tua dari kau. Jika kita berkelahi, maka orang-orang yang mungkin melihat akan mencela aku. Jika aku menang, tentu sudah sewajarnya karena aku lebih besar. Tetapi jika aku kalah, maka aku akan dicemoohkan orang karena aku kalah dari seorang yang lebih muda dari aku.” “Aku tidak peduli. Meskipun lebih muda aku tidak takut.” “Aku percaya kalau kau tidak takut. Tetapi tidak pantas jika kita berkelahi.” Wasis tidak menghiraukannya. Sambil melangkah maju, Wasis berusaha untuk menggapai anak yang masih tetap dipegangi oleh Glagah Putih. Tetapi anak itu segera memutar dirinya ke belakang Glagah Putih. Tetapi Wasis berusaha untuk mengejarnya sambil berkata, “Serahkan anak itu, atau kita berkelahi.” Tetapi Glagah Putih tidak menyerahkan anak itu. Bahkan ia selalu membayangi usaha Wasis untuk menangkapnya. Karena itu Wasis menjadi sangat marah. Tiba-tiba saja ia menyerang Glagah Putih. Tangannya teranyun dengan derasnya memukul dada Glagah Putih yang terbuka. Pinang terkejut. Namun kemudian wajahnya berkerut. Ia melihat Glagah Putih sama sekali tidak bergerak. Ia masih saja tetap berdiri tegak sambil memegangi anak yang tersembunyi di balik tubuhnya itu. Sebenarnyalah Glagah Putih memang tidak bergerak. Ia tidak mengelak dan tidak menangkis. Dibiarkannya Wasis menyerangnya, sementara Glagah Putih hanya meningkatkan saja daya tahan tubuhnya sehingga pukulan Wasis itu tidak menyakitinya. Wasis terkejut melihat akibat dari serangannya. Selama ini ia merasa sebagai seorang anak muda yang disegani oleh kawan-kawannya. Tetapi anak muda yang berdiri di hadapannya itu sama sekali tidak bergetar oleh serangannya. Dengan sekuat tenaganya Wasis telah mengulangi serangannya. Demikian kerasnya. Namun ternyata Glagah Putih masih saja berdiri tegak di tempatnya. Wasis yang marah itu masih mengulangi dua tiga kali. Tetapi serangannya itu sekan-akan sama sekali tidak terasa. Bahkan tangannya sendiri-lah yang mulai merasa sakit. Ketika Wasis kemudian berhenti, maka Glagah Putih pun berkata, “Jika kau sudah puas, ajak adikmu pulang. Ingat, jangan mengganggu anak-anak Tanak Perdikan ini. Seharusnya mereka menjadi kawan bermain, bukan lawan berkelahi. Ingat pula, menurut kesepakatan orang-orang Tanah Perdikan ini, ikan yang berada di pliridan menjadi hak mereka yang membuat dan menutup pliridan itu, sehingga orang lain tidak boleh mengambilnya.” Wajah Wasis menjadi sangat tegang. Tetapi ia tidak melihat ancang-ancang Glagah Putih untuk membalasnya. Anak muda itu bahkan kemudian melangkah mundur sambil berkata, “Selamat malam. Aku harap kau mendengar kata kataku.” Wasis tidak menjawab. Tetapi jantungnya terasa berdetak semakin cepat. Ia tidak mengerti, kenapa anak muda itu sama sekali tidak tergetar oleh serangan-serangannya. Glagah Putih seakan-akan tidak menghiraukan lagi Wasis yang mematung. Ia juga tidak menghiraukan lagi Wikan yang kebingungan. Digandengnya anak yang tinggal bersamanya itu melangkah pergi. Tetapi Wikan itu masih berteriak, “He, anak cengeng!” Anak itu tidak menjawab. Iapun kemudian melangkah di sebelah Glagah Putih menuju ke pliridannya sendiri. Dalam pada itu, Wasis berdiri tegak dengan dada yang bergejolak. Ia tidak mengerti apa yang telah terjadi. Anak muda itu, yang sedikit lebih besar dan lebih tua daripadanya, seakan-akan memiliki perisai di dadanya, sehingga ia sama sekali tidak goyah oleh pukulan-pukulannya. Di luar sadarnya, Wasis itu berpaling kepada Pinang dan bertanya, “Siapakah anak muda itu Pinang?” “Namanya Glagah Putih,” jawab Pinang. Lalu katanya, “Anak muda itu-lah yang memimpin pengawal Tanah Perdikan ini, di samping Kakang Prastawa, kemenakan Ki Gede.” Wajah Wasis menjadi semakin tegang. Dengan nada tinggi ia bertanya, “Jadi ia salah seorang pemimpin pasukan pengawal Tanah Perdikan ini?” “Ya,” jawab Pinang. “Kenapa kau tidak memberitahukan kepadaku sebelumnya?” bertanya Wasis. “Bukankah dengan demikian, maka kau akan menghentikan kenakalan Wikan? Selama ini seolah-olah Wikan telah berbuat apa saja menurut kemauannya sendiri, tanpa menghiraukan tatanan kehidupan anak-anak di padukuhan induk ini. Jika ia menghadapi perlawanan, maka kau selalu membantunya. Bahkan kau tidak segan-segan membantu adikmu, sehingga terasa sangat mengganggu anak-anak yang sedang bermain. Kau dan Wikan juga tidak pernah mendengarkan jika aku mencoba mencegahmu. Nah, adalah kebetulan bahwa kau bertemu dengan Glagah Putih di sini. Tetapi kau masih beruntung, bahwa Glagah Putih tidak berbuat apa-apa atasmu. Jika tanganmu terasa sakit, itu karena kau menyakiti dirimu sendiri.” “Jika ia salah seorang pemimpin pengawal, apakah ia dapat menangkap aku?” bertanya Wasis. “Jika ia menghendaki, ia tentu dapat melakukannya. Tetapi rasa-rasanya Glagah Putih tidak akan berbuat demikian. Jika ia mau, ia dapat mengatasimu langsung malam ini. Meskipun ia berhak dan bahkan mampu melakukannya, tetapi ia tidak melakukannya.” Wasis termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia berkata kepada adiknya, “Kita pulang. Kau tidak boleh mengambil ikan di dalam pliridan, apalagi yang sudah tertutup.” “Tetapi…” Wikan masih akan membantah. “Jika kau tidak mau mendengar kata-kataku, kali ini aku sendiri yang akan memukulimu,” jawab Wasis. Wikan memang menjadi takut. Karena itu, maka ia tidak membantah lagi ketika Wasis mendorongnya meninggalkan tepian. Sejenak Pinang termangu-mangu. Namun kemudian ia berkata kepada kedua orang anak yang memiliki pliridan itu, “Aku akan pulang.” Kedua orang anak itu tidak menjawab. Tetapi ia memandangi saja Pinang yang kemudian melangkah naik ke tanggul dan berjalan di sebelah Wasis. Beberapa saat kemudian ketiga orang itu pun telah hilang di dalam kegelapan. Sementara itu, sambil berjalan Wasis masih bertanya, “Kenapa Glagah Putih yang merupakan salah seorang pemimpin pengawal itu berkeliaran di sungai malam-malam begini?” “Glagah Putih menyertai anak yang tinggal bersamanya di rumah Ki Lurah Agung Sedayu itu,” jawab Pinang. “Apakah anak itu takut turun sendiri?” bertanya Wasis pula. Pinang menggeleng. Katanya, “Tidak. Biasanya anak itu turun sendiri. Adalah kebetulan bahwa malam ini ia turun bersama Glagah Putih.” Wasis tidak bertanya lagi. Namun ia menyesal bahwa ia sudah terlibat dalam perselisihan dengan salah seorang pemimpin pengawal Tanah Perdikan. Wasis semakin menyesali sikapnya, karena anak muda yang bernama Glagah Putih itu tenyata memiliki kelebihan di atas anak muda kebanyakan. “Seandainya ia membalas,“ berkata Wasis di dalam hatinya. Wasis memang membayangkan seandainya Glagah Putih itu membalasnya, maka nasibnya tentu menjadi sangat buruk. Tetapi ternyata Glagah Putih itu tidak membalas. Sementara itu Glagah Putih masih sibuk membantu anak yang tinggal bersamanya di rumah Agung Sedayu itu menggiring ikan yang jumlahnya tidak terlalu banyak. Apalagi karena malam sudah menjadi terlalu jauh, mereka tidak akan membuka pliridannya untuk yang kedua, karena hasilnya tentu tidak akan memadai. Dalam pada itu, anak itu masih saja bergeremang sambil menggiring ikan, “Seharusnya kau biarkan aku berkelahi.” Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Kemudian katanya, “Kakaknya tentu akan turut campur.” “Kau cegah kakaknya turut campur. Aku akan menyelesaikan adiknya.” “Sudahlah. Jangan terlalu bergairah untuk berkelahi,“ berkata Glagah Putih. “Aku mempertahankan diri,” jawab anak itu. “Karena itu, aku biarkan kau berkelahi sampai kau mendapatkan satu isyarat bahwa kau menang. Bukankah itu sudah cukup?” “Tetapi kau tidak menunjukkan bahwa kau menang melawan kakaknya,“ berkata anak itu. “Ah, itu tidak perlu bagiku. Aku justru menghindari perkelahian itu. Bukankah lebih baik begitu daripada harus berkelahi malam-malam di tepian? Pakaianku akan menjadi kotor, dan bahkan mungkin aku akan tercebur kedalam air lengkap dengan celana, kain, baju dan bahkan ikat kepalaku.” Anak itu tidak menjawab. Tetapi ia sudah selesai menggiring ikan, sehingga ikan yang terperangkap di dalam pliridan itu sudah masuk ke dalam icir. Dengan demikian, maka Glagah Putih telah mengambil icir yang dipasangnya dan dibawanya ke tepian berpasir. Ketika icir itu dibuka, ternyata mereka mendapat cukup banyak ikan dan udang sungai. Nampaknya ikan itu dapat mengurangi kekesalan hati anak itu. Karena itu, ketika ia berjalan pulang, ia sudah tidak bersungut-sungut lagi. Meskipun demikian, anak yang pulang sambil menjinjing kepis berisi ikan itu masih juga bertanya, “Kenapa kau sama sekali tidak membalas ketika Wasis itu memukulmu?” Glagah Putih tersenyum. Katanya, “Tidak ada gunanya.” “Apakah kau tidak merasa sakit?” bertanya anak itu pula. “Tentu saja sakit. Tetapi perasaan sakit itu masih berada pada batas yang dapat diatasi,” jawab Glagah Putih pula. Anak itu tidak menjawab lagi. Tetapi iapun kemudian justru berjalan semakin cepat. Glagah Putih yang berjalan sambil membawa icir yang basah mengikutinya saja di belakang. Namun menjelang fajar anak itu tidak akan turun lagi ke sungai, karena ia memang tidak membuka lagi pliridannya. Karena Wikan yang gemuk itu, maka ia telah kehilangan waktu dan kehilangan kesempatan menutup pliridannya untuk kedua kalinya di malam itu. Di sisa malam itu, Glagah Putih masih sempat beristirahat setelah membersihkan dirinya di pakiwan. Seperti biasanya pagi-pagi Glagah Putih sudah menimba air mengisi jambangan, sedangkan anak yang semalam berkelahi itu sibuk membersihkan ikannya. Sementara itu, Ki Jayaraga yang benar-benar telah pulih kembali, sedang sibuk menyapu halaman depan. Sementara Wacana yang sudah merasa menjadi bertambah baik, telah mencoba pula untuk berbuat sesuatu. Meskipun dengan perlahan, Wacana ikut membersihkan halaman samping rumah Agung Sedayu itu. “Jangan memaksa diri, Ngger,“ berkata Ki Jayaraga yang kemudian mendekatinya. Wacana tersenyum. Katanya, “Aku sudah sehat Ki Jayaraga. Tenagaku sudah pulih kembali.” “Tetapi Angger masih harus berhati-hati. Jangan terlalu letih,“ berkata Ki Jayaraga. Wacana mengangguk sambil menjawab, “Baik Ki Jayaraga.“ Ki Jayaraga menarik nafas panjang. Tetapi Wacana memang sudah menjadi semakin baik. Dalam pada itu, setelah selesai mengisi jambangan, Glagah Putih pun telah pergi ke dapur. Rara Wulan yang sibuk membantu Sekar Mirah menyiapkan minuman panas, tiba-tiba saja telah bertanya, “Kapan kita pergi ke Kleringan?“ Glagah Putih itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian iapun menjawab, “Bukankah kita sudah sepakat bahwa setelah tiga hari, sebagaimana kita bicarakan dengan Ki Jayaraga waktu itu?” “Bukankah hari ini sudah hari ketiga?” bertanya Rara Wulan. “Tetapi kita bersepakat untuk pergi setelah hari ketiga,” jawab Glagah Putih. Sementara itu sambil menyurukkan kayu bakar lebih dalam di perapian, Sekar Mirah berkata, “Bukankah kita tidak perlu terlalu tergesa-gesa Rara?” “Tetapi rasa-rasanya aku ingin segera bertemu dengan Kanthi. Aku membayangkan gadis itu sepi sendiri di dalam biliknya. Tidak ada orang yang menyapanya. Sementara itu ia tidak lagi berani keluar halaman rumahnya,” desis Rara Wulan. “Tentu tidak, Rara. Ayah, ibunya dan saudara perempuannya itu mengasihinya,” jawab Sekar Mirah. “Ketika Kanthi dalam bahaya, mereka memang melindunginya. Tetapi setelah semuanya itu berlalu, maka sikap keluarganya akan berbeda,“ berkata Rara Wulan pula. “Menurut pendapatku, tidak Rara,“ sahut Glagah Putih, “keluarganya akan membantunya bangkit kembali.” Rara Wulan mengangguk kecil. Namun kemudian katanya, “Besok kita benar-benar pergi ke Kleringan.” “Aku akan mengingatkan Ki Jayaraga,” jawab Glagah Putih kemudian. Rara Wulan mengangguk pula. Namun kemudian Rara Wulan itu pun terdiam. Tangannya-lah yang kemudian sibuk menyiapkan mangkuk-mangkuk tempat minuman. Seperti yang dikatakan, maka Glagah Putih pun kemudian telah menemui Ki Jayaraga, yang duduk di tangga pendapa bersama Wacana. Sambil mengusap keringat di keningnya dengan lengan bajunya, maka iapun berkata, “Pagi-pagi Rara Wulan sudah mengingatkan, besok kita pergi ke Kleringan.” Ki Jayaraga tersenyum. Katanya, “Baiklah. Besok kita pergi ke Kleringan.” Namun Wacana itu dengan ragu-ragu berkata, “Bagaimana jika aku ikut bersama kalian?” Ki Jayaraga-lah yang menjawab, ”Jangan besok Ngger. Seperti yang sudah aku katakan, Angger masih perlu beristirahat.” “Bukankah Kleringan tidak terlalu jauh?” bertanya Wacana. “Sebaiknya lain kali saja-lah Wacana. Mungkin kau memang ingin berjalan-jalan keluar halaman karena kau sudah menjadi jenuh melihat dinding yang kusam itu. Tetapi pada kesempatan lain kita akan keluar untuk menyegarkan pikiran,“ sahut Glagah Putih. Wacana memang tidak dapat memaksa. Sebenarnyalah bahwa tenaganya memang belum pulih seutuhnya. Namun rasa-rasanya ada sesuatu yang telah mendorongnya untuk ikut pergi ke Kademangan Kleringan. Meskipun demikian, Wacana masih berusaha untuk mengerti alasan Ki Jayaraga dan Glagah Putih, kenapa mereka menahan agar Wacana tidak usah pergi ke Kleringan sebelum keadaannya benar-benar menjadi baik. Ketika kemudian langit mulai memantulkan cahaya matahari yang terbit dari balik cakrawala, maka mereka pun bergantian pergi ke pakiwan. Setelah berbenah diri, maka mereka pun duduk di ruang dalam untuk minum-minuman hangat yang dihidangkan oleh Rara Wulan. Sementara itu Agung Sedayu sudah bersiap untuk pergi ke barak Pasukan Khusus. Namun sebelum Agung Sedayu berangkat, Prastawa telah datang untuk menemuinya dan menemui pula Ki Jayaraga. “Maaf Ki Jayaraga, agaknya masih terlalu pagi untuk mengganggu Ki Jayaraga dan barangkali juga Ki Lurah Agung Sedayu, yang sudah bersiap untuk berangkat ke barak,“ berkata Prastawa setelah ia duduk di ruang dalam pula. “Apakah ada hal yang sangat penting, Ngger ?” bertanya Ki Jayaraga. “Tidak terlalu penting, Ki jayaraga. Justru aku yang mementingkan diri sendiri. Aku sengaja datang pagi-pagi sebelum Ki Lurah Agung Sedayu berangkat.” Ki Jayarata mengangguk-angguk. Tetapi ia menunggu saja Prastawa menyampaikan persoalannya. “Ki Jayaraga dan Ki Lurah Agung Sedayu. Aku datang diutus oleh Paman Argapati. Atas persetujuan Paman Argapati dan Ayah, Ki Jayaraga dan Ki Lurah Agung Sedayu berdua diminta untuk bersedia sekali lagi menjadi wakil Ayah dan Paman Argapati, untuk menyampaikan lamaran.” Ki Jayaraga mengangguk-angguk sambil tersenyum. Katanya, “Jadi maksudnya kami harus pergi melamar seorang gadis bagi Angger Prastawa, begitu ?” Prastawa mengangguk sambil menjawab, “Ya, Ki Jayaraga.” “Kapan kami harus pergi melamar? Tentunya suasananya akan sangat berbeda dengan saat kami menjadi utusan pergi ke Kademangan Kleringan.” “Agaknya memang demikian,” jawab Prastawa. Lalu katanya kemudian, “Ayah dan Paman Argapati serta Kakang Swandaru semalam sepakat untuk pergi melamar sore nanti.” “Nanti? Hari ini, maksudmu?” bertanya Agung Sedayu. “Ya, Ki Lurah,” jawab Prastawa. Agung Sedayu mengangguk-angguk sambil bertanya, “Begitu cepat? Apakah kau sudah membicarakannya dengan gadis itu sebelumnya ?” “Ya,” jawab Prastawa, “bahkan aku sudah menyampaikan kepada kedua orang tuanya, bahwa Ayah akan mengirimkan utusan untuk dengan resmi melamar gadis itu,” jawab Prastawa. “Apakah kau sudah menyampaikan kepada mereka bahwa utusan itu akan datang hari ini?” bertanya Agung Sedayu. “Nanti aku akan menemuinya,” jawab Prastawa. Agung Sedayu mengangguk-angguk, sementara Ki Jayaraga berkata, “Baiklah. Jika Ki Gede dan Ki Argajaya sudah menetapkan bahwa utusan itu akan pergi sore nanti, aku tidak mempunyai keberatan apapun. Mungkin Angger Agung Sedayu juga tidak berkeberatan.” “Tentu,” jawab Agung Sedayu. Namun Agung Sedayu itu pun kemudian bertanya, “Siapa saja yang akan berangkat?“ “Ki Jayaraga, Ki Lurah Agung Sedayu berdua, dan Kakang Swandaru berdua,” jawab Prastawa. “Baiklah,” Agung Sedayu mengangguk-angguk, “aku akan pulang lebih awal. Kami akan pergi ke rumah Ki Gede. Agaknya kita akan berangkat bersama-sama dari sana.” “Terima kasih Ki Lurah,“ berkata Prastawa kemudian. “Aku akan menyampaikannya kepada Paman Argapati dan Kakang Swandaru berdua.” Demikianlah, maka Prastawa pun segera minta diri setelah beberapa kali ia mengucapkan terima kasih kepada Ki Jayaraga dan kepada Agung Sedayu. Sepeninggal Prastawa, Agung Sedayu pun segera berangkat menuju ke barak Pasukan Khusus. Seperti yang dijanjikan kepada Prastawa, ia berniat untuk pulang lebih awal. Dalam pada itu, ketika Glagah Putih berada di halaman belakang, Rara Wulan pun mendekatinya sambil berdesis, “Sore nanti keluarga Prastawa akan pergi melamar.” “Ya. Ki Jayaraga dan Kakang Agung Sedayu diminta untuk ikut pergi bersama Kakang Swandaru,” jawab Glagah Putih. “Persoalannya dengan gadis Kleringan itu sudah selesai bagi Prastawa,” desis Rara Wulan. “Ya. Baginya memang sudah tidak ada persoalan lagi,” jawab Glagah Putih. Namun Rara Wulan itu berkata, “Tetapi persoalan yang menyangkut Kanthi itu, masih tetap menggelisahkan gadis itu.” “Persoalan yang disandang Kanthi dan Prastawa memang berbeda,” jawab Glagah Putih. “Aku mengerti. Tetapi aku hanya sekedar mengatakan keadaan yang mereka sandang masing-masing sekarang ini.” Glagah Putih mengangguk-angguk. Tetapi ia tidak menjawab. Namun Rara Wulan itu pun berkata, “Kita besok akan tetap berangkat, dengan atau tidak dengan Ki Jayaraga.” Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Dengan nada rendah ia berkata, “Ki Jayaraga sudah mengatakan, bahwa besok Ki Jayaraga siap untuk pergi ke Kademangan Kleringan.” “Tetapi mungkin ia berubah. Siapapun tentu akan lebih senang pergi melamar seorang gadis daripada pergi menjumpai seorang perempuan yang sedang terjerat oleh malapetaka. Apalagi persoalan yang sebenarnya dengan gadis yang akan dilamar itu sudah jelas, sehingga tidak akan ada hambatan lagi.” “Tetapi bukankah waktunya tidak bersamaan? Sore nanti Ki Jayaraga akan pergi melamar. Memang sebaiknya ada orang yang dituakan dalam sekelompok utusan itu. Nah, baru besok Ki Jayaraga akan pergi bersama kita ke Kademangan Kleringan.” Rara Wulan mengangguk kecil. Katanya, “Dua suasana yang tentu akan sangat berbeda.” Glagah Putih hanya mengangguk kecil pula. Hari itu Rara Wulan memang nampak gelisah. Tetapi ia berusaha untuk menahan diri. Gadis itu justru banyak menyibukkan diri dengan kerja. Ketika matahari kemudian hampir menggapai puncak langit, maka Rara Wulan pun telah berada di dalam sanggar, sedangkan Glagah Putih telah pergi ke banjar untuk bertemu dengan para pemimpin pengawal. Seperti yang dijanjikan, maka Agung Sedayu telah kembali dari barak lebih awal dari biasanya. Menjelang sore hari, maka Agung Sedayu, Sekar Mirah serta Ki Jayaraga telah bersiap. Mereka akan pergi ke rumah Ki Gede lebih dahulu, sebelum bersama-sama dengan Swandaru dan Pandan Wangi memenuhi permintaan Ki Argajaya dan Ki Gede untuk pergi melamar seorang gadis yang akan menjadi istri Prastawa. Berbeda dengan saat mereka pergi ke Kademangan Kleringan, maka wajah-wajah mereka sore itu nampak cerah. Prastawa yang juga berada di rumah Ki Gede nampak tersenyum-senyum. Dua orang pengawal yang ada di rumah Ki Gede selalu mengganggunya. Tetapi Prastawa justru nampak semakin ceria. Ketika matahari menjadi semakin rendah di sisi Barat, maka Ki Gede dan Ki Argajaya pun telah mempersilahkan Ki Jayaraga, Agung Sedayu dan Swandaru suami istri untuk berangkat. “Segala sesuatunya terserah kepada Ki Jayaraga. Menurut Prastawa, agaknya tidak akan ada hambatan lagi. Kedua orang tua gadis itu sudah menyatakan persetujuannya. Mereka pun sudah diberitahu oleh Prastawa bahwa utusan keluarga Prastawa akan datang sore ini,“ berkata Ki Gede. Demikianlah, sejenak kemudian sekelompok kecil utusan Ki Argajaya pun telah berangkat dari rumah Ki Gede. Dalam pada itu, Glagah Putih yang sudah berada di rumahnya, duduk di serambi. Sinar matahari yang menjadi semakin lemah masih nampak menembus dedaunan di halaman. Di dapur, Rara Wulan menjadi sibuk karena Sekar Mirah tidak ada. Tetapi karena ia sudah terbiasa melakukannya sehari-hari bersama Sekar Mirah, maka tangannya pun sudah menjadi trampil. Ketika ia sudah selesai menuang minuman hangat, maka Rara Wulan pun telah menghidangkannya kepada Wacana yang duduk di pringgitan seorang diri. Dibiarkannya angan-angannya menerawang jauh melampaui cakrawala. “Minumlah,” desis Rara Wulan, “selagi masih hangat.” “Terima kasih,“ sahut Wacana. Namun kemudian iapun bertanya, “Kapan kalian akan pergi ke Kademangan Kleringan?” “Besok,” jawab Rara Wulan, “jika yang lain berhalangan apapun sebabnya, aku akan pergi sendiri.” Wacana menarik nafas dalam-dalam. Tetapi jika benar Rara Wulan pergi sendiri, meskipun ia sudah pulih sekalipun, ia tentu tidak akan pantas untuk menawarkan dirinya menyertai gadis itu. Ketika kemudian Rara Wulan meninggalkannya, kembali Wacana duduk merenung seorang diri. Sementara itu, anak yang tinggal di rumah Agung Sedayu yang melihat Glagah Putih duduk sendiri telah mendekatinya. Sambil duduk di sebelahnya ia berkata, “Seharusnya kau mengajar aku ilmu bela diri.” Glagah Putih mengerutkan dahinya. Dengan nada rendah ia berkata, “Bagus. Kau sudah dapat menyebutnya dengan ilmu bela diri. Bukan cara berkelahi.” “Ya. Aku mulai mengerti bedanya,” jawab anak itu. Glagah Putih tersenyum sambil menepuk bahunya. Katanya, ”Aku akan mengajarimu ilmu bela diri. Tetapi sudah tentu tidak setiap hari.” Anak itu mengangguk. Katanya, “Kapanpun, asal aku dapat sekedar melindungi diriku sendiri serta kawan-kawanku yang memerlukan perlindungan itu.“ “Baik. Kita akan melakukannya malam hari setiap dua hari sekali. Sudah tentu jika aku tidak sedang bertugas.” “Lalu bagaimana dengan pliridan itu?” bertanya anak itu. “Pada hari-hari kau berlatih, maka kau akan menutup sekali saja. Di dini hari. Atau bahkan tidak sama sekali.” Anak itu mengangguk-angguk. Katanya, “Baiklah. Jika perlu, biarlah pliridan itu ditutup sekali saja, atau jika terlalu letih, tidak sama sekali.” “Nah, jika kau memang benar-benar ingin berlatih ilmu bela diri, maka kau tidak boleh cepat merasa jemu atau cepat merasa mampu. Kau harus berlatih dan belajar dengan telaten dan tekun. Bersungguh-sungguh dan dilandasi dengan niat yang baik.” Anak itu mengangguk-angguk. Dengan sungguh-sungguh ia menjawab, “Aku akan belajar dengan tekun dan telaten.” “Bagus. Tetapi ada yang lebih penting. Dilandasi dengan niat yang baik,“ berkata Glagah Putih. “Ya. Aku akan melandasinya dengan niat baik,” jawab anak itu. Glagah Putih memang merasakan sesuatu yang agak lain pada anak itu. Mungkin karena umurnya yang semakin bertambah. Sementara itu, peristiwa yang terjadi semalam telah menghentakkannya ke dalam satu kesadaran tentang dirinya yang umurnya semakin bertambah itu. Yang mendorongnya untuk menanggapi kehidupan dengan lebih bersungguh-sungguh pula. Karena itulah, maka Glagah Putih pun menjadi bersungguh-sungguh pula. Meskipun yang terlintas di hatinya adalah sekedar memberikan bekal kepada anak itu untuk dapat melindungi dirinya sendiri, karena Glagah Putih mengerti bahwa anak itu sulit untuk mengendalikan diri jika rasa keadilannya tersinggung. Namun Glagah Putih pun menyadari, bahwa selain mengajarinya ilmu bela diri, iapun harus sedikit demi sedikit mengarahkan sikap anak itu agar benar-benar berniat baik dengan dasar ilmu bela diri itu. Dalam pada itu, Glagah Putih pun kemudian berkata, “Kita akan mulai malam nanti. Bersiaplah.” “Apa yang harus aku persiapkan?” bertanya anak itu. “Ketetapan hati,” jawab Glagah Putih, “karena jika kau belajar ilmu bela diri padaku, kau harus menurut segala petunjukku, terutama dalam hubungannya dengan ilmu bela diri. Tetapi sebelumnya kau harus tahu bahwa ilmuku masih terbatas sekali, sehingga apa yang akan aku berikan kepadamu, tidak lebih dari dasar-dasarnya saja.” “Seperti yang sudah kau ajarkan selama ini?” bertanya anak itu. “Tentu lebih dari itu. Tetapi jangan bermimpi bahwa kau akan menjadi seorang yang berilmu tinggi.” Anak itu mengangguk-angguk. Katanya sambil memandang ke kejauhan, “Aku tidak menginginkan terlalu banyak. Tetapi aku ingin tidak ada lagi orang yang merendahkan martabat anak-anak Tanah Perdikan ini.” Glagah Putih tersenyum sambil menepuk bahu anak itu pula, “Bagus. Aku setuju. Tentu saja dalam batas-batas kewajaran.” Tetapi anak itu mengerutkan dahinya. Dengan nada ragu ia bertanya. “Apakah batas kewajaran itu dapat diurai dengan jelas, sehingga aku dapat melihat batas itu?” “Tidak. Tetapi kendali nuranimu akan memberikan isyarat kepadamu.” Anak itu mengerutkan dahinya. Namun kemudian ia bertanya, “Bagaimana aku dapat mengetahuinya?” Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian katanya, “Sekarang kau masih belum mampu menangkap sepenuhnya suatu nuranimu. Tetapi pada suatu saat, kau akan dapat melakukannya tanpa ada orang lain yang menunjukkannya.” Anak itu mengangguk-angguk, meskipun yang dikatakan oleh Glagah Putih itu masih belum cukup jelas baginya. Dalam pada itu, langit pun terasa menjadi semakin teduh. Anak itu pun kemudian bangkit dan melangkah menggapai sapu lidi yang bersandar di sudut. Sejenak kemudian anak itu pun telah mulai menyapu halaman, sementara Glagah Putih pergi ke pakiwan untuk mengisi jambangan sekaligus mengisi gentong yang ada di dapur. Wacana yang duduk sendiri di pringgitan itu pun telah bangkit pula. Iapun tidak mau duduk berdiam diri. Karena itu, iapun telah ikut pula menyapu halaman samping setelah menyingkirkan mangkuk minumannya ke ruang dalam. Sementara itu, Ki Jayaraga yang menemui kedua orang tua Anggreni yang didampingi pula tiga orang tetangganya yang dituakan, telah menyampaikan lamaran Ki Argajaya atas Anggreni yang akan diperistri oleh anaknya, Prastawa. Segala sesuatunya berjalan dengan lancar. Meskipun demikian, seorang yang dituakan yang mewakili kedua orang tua Anggreni, meskipun kedua orang tuanya juga hadir, telah menjawab lamaran yang disampaikan oleh Ki Jayaraga atas nama Ki Argajaya, “Kami dengan ucapan terima kasih telah menerima lamaran Ki Argajaya yang disampaikan oleh Ki Jayaraga. Namun karena yang akan menjalani adalah Angger Anggreni, maka biarlah ayah dan ibunya membicarakannya dengan gadis itu. Kami mohon waktu sepekan. Selanjutnya kami akan datang menghadap Ki Argajaya.” Jawaban itu adalah jawaban yang seakan-akan sudah kebiasaan bagi keluarga yang menerima lamaran, justru yang biasanya akan menerima lamaran itu. Karena itu, maka Ki Jayaraga sama sekali tidak berkeberatan untuk menunggu sepekan lagi. Demikianlah, setelah mendapat hidangan minuman dan makanan, maka utusan Ki Argajaya itu pun segera mohon diri. Berlima mereka langsung pergi ke rumah Ki Gede, karena Ki Argajaya memang akan menunggu di rumah Ki Gede sampai utusan itu datang kembali. Suasana di rumah Ki Gede itu pun menjadi cerah. Sambil memberikan laporan tentang tugasnya, sekali-kali Ki Jayaraga sempat mengganggu Prastawa. Suara tertawa pun setiap kali terdengar dari sela-sela bibir mereka. Namun kemudian Ki Jayaraga, Agung Sedayu dan Sekar Mirah pun telah minta diri meninggalkan suasana yang ceria itu. Mereka minta diri untuk kembali setelah mereka makan malam bersama. Pada malam harinya, ketika mereka sudah berada di rumah Agung Sedayu, sekali-sekali mereka masih membicarakan hubungan antara Prastawa dan Anggreni yang nampaknya akan menjadi lancar. Sementara itu Sekar Mirah pun menganggap bahwa Anggreni memang pantas untuk menjadi istri Prastawa. Namun ketika kemudian Sekar Mirah berada di dapur untuk membuat minuman hangat, Rara Wulan mendekatinya sambil bertanya, “Apakah Anggreni cantik, Mbokayu?” “Ya,” jawab Sekar Mirah, “gadis itu memang cantik.” “Siapa yang lebih cantik, Anggreni atau Kanthi?” bertanya Rara Wulan pula. Sekar Mirah mengerutkan dahinya. Namun Sekar Mirah pun menyadari bahwa perhatian Rara Wulan masih terikat kepada Kanthi. Karena itu, maka iapun menjawab, “Keduanya sama-sama cantik. Aku hanya sempat melihat Anggreni sepintas saat ia menghidangkan minuman. Namun nampaknya wajah gadis itu cukup cerah.” “Tentu,” jawab Rara Wulan, “wajah Anggreni tentu nampak cerah karena ia sedang menerima lamaran dari seseorang yang memang diharapkannya. Tetapi Kanthi tidak akan pernah mengalami masa-masa seperti itu.” “Kenapa?” bertanya Sekar Mirah. “Bukankah kita mengetahui keadaannya? Jika saja Kanthi tidak mengalami bencana itu, wajahnya tentu juga akan cerah. Iapun akan nampak sebagai seorang gadis yang cantik dan gembira. Tetapi keadaan telah menyingkirkannya dari kemungkinan itu.” Sekar Mirah menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia tidak menjawab. Ia sadar bahwa Rara Wulan sedang dibayangi oleh keadaan Kanthi yang muram. Dalam keadaan demikian, jika ia menyatakan pendapatnya yang berbeda, maka Rara Wulan tentu akan menjadi sangat kecewa. Justru karena Sekar Mirah terdiam, maka Rara Wulan mulai menyadari sikapnya. Ia mulai merasa bahwa ia lelah terdorong oleh perasaannya, sehingga Sekar Mirah merasa lebih baik untuk diam saja. Karena itu, maka iapun kemudian berdiri di belakang Sekar Mirah yang baru menuang minuman di dalam mangkuk, sambil berdesis, “Mbokayu. Aku mohon maaf.” Sekar Mirah pun kemudian berpaling. Dipandanginya wajah Rara Wulan yang menunduk. Dengan lembut ia bertanya, “Kenapa?” “Aku telah menyinggung perasaan Mbokayu,” desis Rara Wulan. Sekar Mirah tersenyum. Ditepuknya pundak Rara Wulan sambil berkata lembut, “Tidak Rara. Aku sama sekali tidak merasa tersinggung. Aku justru melihat warna hatimu yang welas asih. Meskipun Kanthi bukan sanak-kadangmu, tetapi kau merasa betapa tidak seimbangnya suasana hati yang meliputi dua orang gadis yang namanya sama-sama dihubungkan dengan Prastawa.” Rara Wulan mengangguk. Tetapi suaranya tidak dapat melewati kerongkongannya yang terasa menjadi serak. “Sudahlah,“ berkata Sekar Mirah, “sekarang hidangkan mangkuk-mangkuk minuman hangat itu, untuk menyegarkan mereka yang duduk di ruang dalam itu sebelum mereka pergi ke pembaringan.” Rara Wulan mengangguk pula. Sementara itu Sekar Mirah pun berkata, “Bukankah kau besok akan pergi ke Kademangan Kleringan?” “Ya, Mbokayu,” jawab Rara Wulan. “Baiklah. Setelah menghidangkan minuman itu, pergilah beristirahat,“ berkata Sekar Mirah kemudian. Rara Wulan mengangguk sambil mengangkat mangkuk-mangkuk minuman. Setelah menghidangkan minuman itu, Rara Wulan memang segera pergi ke pembaringanya. Namun gadis itu memang tidak segera dapat tidur lelap. Di ruang dalam, Sekar Mirah yang kemudian ikut duduk berbincang, minta agar mereka tidak lagi berbicara tentang Prastawa dan Anggreni. “Kenapa?” bertanya Agung Sedayu. “Rara Wulan masih saja dibayangi oleh getirnya perasaan Kanthi. Sehingga keceriaan Anggreni bagi Rara Wulan menjadi terasa tidak adil,“ sahut Sekar Mirah. “Tetapi ia harus dapat memilahkan persoalannya,“ berkata Ki Jayaraga. “Aku akan mengatakannya besok sebelum ia berangkat ke Kademangan Kleringan. Anggreni memang tidak harus ikut hanyut dalam persoalan yang telah menjerat Kanthi. Kesalahan Anggreni, justru di luar sadar dan kehendaknya sendiri, adalah bahwa Praslawa telah memilihnya meskipun ia tetap bersikap baik terhadap Kanthi,“ berkata Sekar Mirah kemudian. Namun kemudian ia berdesah pula, “Tetapi jika hal itu dianggap sebagai kesalahan.” “Bukan satu kesalahan,“ berkata Ki Jayaraga selanjutnya, “tetapi baiklah. Kita tidak akan membicarakannya lebih jauh.” Sekar Mirah menarik nafas panjang, ia sendiri-lah yang minta untuk tidak berbicara tentang Anggreni. Demikianlah, sambil meneguk minuman hangat, mereka mulai berbicara tentang beberapa hal yang lain. Tentang kehidupan di Tanah Perdikan yang telah menjadi wajar kembali. Namun juga tentang mendung yang mengalir dihembus angin utara. Hubungan yang buram antara Mataram dan Pati. Agung Sedayu yang juga seorang pemimpin prajurit dari Pasukan Khusus Mataram di Tanah Perdikan Menoreh itu pun berkata, “Isyarat untuk bersiaga sepenuhnya bagi Pasukan Khusus masih berlaku. Usaha untuk merintis jalan yang lebih lunak dari peperangan masih terus dilakukan. Namun nampaknya hasilnya tidak seperti diharapkan.” Ki Jayaraga menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Orang-orang yang tidak bertanggung jawab nampaknya berusaha untuk membakar hati Kanjeng Adipati di Pati. Orang-orang berilmu tinggi yang ada di sekitar Kanjeng Adipati nampaknya menjadi silau oleh kekuatan yang dapat mereka himpun. Bahkan diantaranya terdapat orang-orang yang merasa berhak untuk mendahului langkah Kanjeng Adipati, sebagaimana Ki Manuhara dan Resi Belahan.” “Tetapi Panembahan Senapati yang merasa lebih tua masih berusaha untuk mencari jalan yang lebih baik. Meskipun demikian, Panembahan Senapati memang tidak dapat menghindari kesiapan untuk perang,“ berkata Agung Sedayu kemudian. Demikianlah untuk beberapa saat mereka masih berbincang. Namun kemudian Agung Sedayu itu pun berkata, “Sudahlah, Ki Jayaraga. Hari telah larut. Besok Ki Jayaraga akan pergi ke Kleringan bersama Glagah Putih dan Rara Wulan.” Ki Jayaraga tersenyum. Katanya, “Baiklah. Aku memang sudah berjanji bahwa besok aku akan pergi ke Kademangan Kleringan bersama Angger Rara Wulan dan Glagah Putih.” Dalam pada itu, Glagah Putih sendiri ternyata masih berada di belakang kandang. Glagah Putih masih sibuk mengajari anak yang tinggal di rumah itu dasar-dasar ilmu bela diri. Glagah Putih menjanjikan untuk belajar di sanggar, jika ia melihat kemajuan dan kesungguhan anak itu. Tetapi beberapa saat kemudian Glagah Putih pun mengakhirinya sambil berkata, “Malam ini aku kira sudah cukup. Lusa kita akan melanjutkan lagi.” Anak itu menjadi heran. Dipandanginya Glagah Putih sambil bertanya, “Hanya begini?” Glagah Putih memandang anak itu dengan tajamnya. Katanya, “Bukankah kita sudah cukup lama berlatih?” “Bukankah kita baru saja mulai?” jawab anak itu. “Jangan memaksa diri. Itu justru kurang baik. Kita harus belajar sedikit demi sedikit, sehingga akhirnya kau dapat menguasai dasar ilmu bela diri itu dengan baik.“ “Tetapi berapa puluh tahun aku akan dapat menguasai dasar ilmu itu, jika kita hanya melakukannya sekejap demi sekejap seperti ini.” Dahi Glagah Putih berkerut. Ia menjadi jengkel juga kepada anak itu. Karena itu, maka pada langkah awal Glagah Putih akan membuatnya jera. Ia harus menyadari kedudukannya, sehingga untuk selanjutnya, anak itu tidak boleh bersikap demikian. Karena itu, maka Glagah Putih pun kemudian berkata, “Baiklah. Jika kau berniat untuk meneruskan latihan awal ini. Tetapi dengan janji, bahwa kau tidak boleh berhenti setengah-setengah.” “Itu tentu lebih baik,” jawab anak itu. Demikianlah, maka Glagah Putih pun telah mengajak anak itu ke sanggar. Bagi latihan awal, maka latihan yang lama memang lebih baik dilakukan tidak di udara terbuka. Demikian mereka berada di dalam sanggar, maka Glagah Putih pun berkata, “Kita akan berlatih untuk waktu yang lama. Bukankah begitu? Nah, persiapkan dirimu baik-baik.” “Aku sudah bersiap sejak semula,” jawab anak itu. “Pada latihan awal ini, kau harus menirukan apa yang aku lakukan. Ingat, apa saja yang aku lakukan.” Anak itu mengangguk. Demikianlah, maka Glagah Putih pun telah mulai dengan gerak-gerak yang paling mendasar, seperti yang telah dilakukan di belakang kandang itu. Kemudian Glagah Putih telah melakukan unsur-unsur gerak berikutnya. Diulanginya beberapa kali, sementara anak itu telah menirukannya. Sambil melakukan gerak-gerak yang mula-mula perlahan-lahan, Glagah Putih menjelaskan arti dan maksud dari gerakan-gerakan itu. Dengan sungguh-sungguh anak itu menirukan dan mencoba memahami penjelasan Glagah Putih, untuk apa dan kenapa gerakan-gerakan itu dilakukan. Namun semakin lama Glagah Putih pun bergerak semakin cepat. Diulanginya gerakan-gerakan itu beberapa kali, sehingga anak itu benar-benar mampu melakukannya dengan baik. Tetapi ketika malam menjadi semakin larut, muka nafas anak itu mulai terengah-engah. Meskipun ia masih tetap bergerak dengan tangkas dan irama yang setiap kali menjadi semakin cepat sebagimana dilakukan oleh Glagah Putih, namun tenaga anak itu telah menjadi semakin susut Glagah Putih melihat keadaan itu, tetapi ia berpura-pura tidak mengetahuinya. Glagah Putih masih saja melakukan gerakan-gerakan yang keras dan cepat, sambil memberikan beberapa petunjuk tentang gerakan-gerakan yang dilakukan. Anak itu masih berusaha memaksa dirinya. Tetapi keseimbangannya mulai guncang. Setiap kali ia menjadi terhuyung-huyung dan bahkan hampir terjatuh karenanya. Glagah Putih masih saja pura-pura tidak mengetahuinya. Sementara Glagah Putih sendiri masih saja segar dan tegar. Ketika Glagah Putih kemudian melakukan loncatan kecil dalam unsur-unsur gerak dasar yang baru, maka anak itu tidak lagi mampu melakukannya. Keringatnya bagaikan telah terperas hingga kering, sementara wajahnya menjadi pucat, dan nafasnya tersengal-sengal. Bahkan perutnya terasa menjadi mual, sehingga rasa-rasanya akan muntah. Ketika anak itu kemudian bersandar pada dinding sanggar, maka Glagah Putih pun bertanya, “He, kenapa kau berhenti? Marilah kita berlatih terus.” Nafas anak itu rasa-rasanya akan menjadi putus. Dengan kata-kata yang sendat ia berkata, “Aku sudah tidak kuat lagi.” Glagah Putih kemudian berdiri bertolak pinggang sambil berkata, “Jika kita berlatih dalam sekejap kau sudah kelelahan, berapa puluh tahun kau akan dapat menguasai dasar ilmu bela diri itu?” Wajah anak yang sudah pucat itu menjadi semakin pucat. Meskipun bibirnya bergerak-gerak, tetapi tidak sepatah kata pun yang keluar dari mulutnya. Namun Glagah Putih pun menjadi kasihan melihat keadaannya. Karena itu, maka dibimbingnya anak itu ke sebuah lincak bambu. “Duduklah,“ berkata Glagah Putih. Anak itu pun kemudian menjatuhkan dirinya di atas lincak bambu itu. Wajahnya masih saja nampak pucat, sementara tubuhnya masih basah oleh keringatnya. “Duduk sajalah di situ,“ berkata Glagah Putih. Ia masih ingin sekaligus meyakinkan anak itu, apa sebenarnya ilmu bela diri yang harus dipelajarinya itu. Karena itu maka katanya pula, “Lihatlah. Apa yang harus kau pelajari jika kau ingin menguasai dasar-dasar ilmu bela diri. Ingat, baru dasar-dasarnya saja. Jika kau kemudian merambah ke ilmu kanuragan yang lebih rumit, maka kau harus menjadi lebih bersungguh-sungguh dan mengerti dimana kau sedang berdiri. Jika kau memanjat lereng pegunungan, maka kau harus memanjat setapak demi setapak dengan susah payah. Kau harus mengatur ketahanan dan kemampuan tubuhmu, sehingga kau tidak dapat memaksa dirimu untuk menggapai puncaknya dengan satu loncatan, betapapun panjangnya.” Meskipun anak itu tidak menjawab, tetapi ia menyadari kesalahannya, sehingga Glagah Putih telah langsung menunjuk kelemahannya. Namun dalam pada itu, perhatiannya mulai tertarik pada unsur-unsur gerak yang dipertunjukkan oleh Glagah Putih. Mula-mula Glagah Putih mulai dari unsur yang tadi dipelajarinya di belakang kandang. Kemudian unsur-unsur berikutnya dan berikutnya. Semakin lama menjadi semakin rumit, dan gerak Glagah Putih pun menjadi semakin cepat. Bahkan kemudian Glagah Putih pun mulai merambah pada unsur-unsur gerak yang bersentuhan dengan alat-alat yang ada di sanggar itu. Glagah Putih mulai berloncatan di atas palang-palang bambu dan tonggak-tonggak batang kelapa. Anak itu memang sudah tahu bahwa Glagah Putih adalah seorang anak muda yang berilmu tinggi. Tetapi ketika ia menyaksikan Glagah Putih menunjukkan unsur-unsur gerak yang disebutkan sebagai dasar ilmu bela diri, maka jantungnya menjadi berdebar-debar. Tetapi Glagah Putih tidak terlalu lama bermain-main di sanggar itu. Beberapa saat kemudian, setelah menurut perhitungannya anak itu menyadari seberapa beratnya ia harus menjalani laku untuk menguasai dasar-dasar ilmu bela diri, maka Glagah Putih pun kemudian berhenti. Tetapi Glagah Putih sama sekali tidak nampak menjadi letih. Meskipun pakaian Glagah Putih juga menjadi basah oleh keringat, namun tenaganya masih tetap segar sebagaimana saat ia mulai berlatih di belakang kandang. Ketika Glagah Puutih kemudian duduk di sebelahnya, nafasnya pun tidak terdenggar terengah-engah. Apalagi menjadi tersengal-sengal. Nafasnya masih saja berjalan lancar dan teratur. “Nah,“ berkata Glagah Putih, “kau sudah melihat, apa yang harus kau pelajari untuk menguasai dasar-dasar ilmu bela diri. Kau tentu dapat membayangkan jalan yang panjang yang harus kau lalui. Karena itu, jika kau tergesa-gesa dan ingin berlari kencang saat kau berangkat, maka kau justru akan jatuh tersungkur di tengah jalan. Kau akan kelelahan dan sama sekali tidak akan sempat mencapai tujuan.” Anak itu mengangguk-angguk. Tetapi ia masih saja menunduk. Anak itu tidak berani menatap wajah Glagah Putih. Jika di saat-saat sebelumnya ia menganggap Glagah Putih itu seperti kawannya bermain dan bahkan sekali-sekali ia berani menegur dan bahkan mencelanya, tiba-tiba ia merasa menjadi sangat kecil dan tidak berarti apa-apa. “Sudahlah,“ berkata Glagah Putih, “kita akan beristirahat. Besok aku harus pergi ke Kademangan Kleringan. Sekarang kau pergi ke pakiwan untuk membersihkan diri. Kemudian kau pergi tidur.” Anak itu mengangguk. Tetapi ia masih belum berani menatap wajah Glagah Putih. Glagah Putih tersenyum. Ia memang harus menunjukkan wibawanya jika ia akan mengajari anak itu dasar-dasar ilmu bela diri. Anak itu pun kemudian memang pergi ke pakiwan. Nafasnya sudah menjadi teratur kembali. Saat-saat dengan tegang ia menyaksikan Glagah Putih memainkan unsur-unsur gerak dasar, anak itu memang melupakan keadaan dirinya sendiri. Meskipun kemudian anak itu merasa sangat kecil di hadapan Glagah Putih, tetapi keinginannya untuk dengan sungguh-sungguh mempelajari dasar-dasar ilmu bela diri justru menjadi semakin menyala di dalam hatinya. Ia tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan yang diberikan oleh Glagah Putih. Namun untuk selanjutnya, ia tidak akan berani lagi berkata kasar sebagaimana sering diucapkannya sebelumnya karena ia menganggap Glagah Putih itu sebagai kawannya bermain saja. Dalam pada itu, setelah Glagah Putih membersihkan dirinya pula di pakiwan, iapun harus segera beristirahat. Besok pagi-pagi, Rara Wulan tentu sudah ribut menagih janjinya untuk pergi ke Kademangan Kleringan. Sebenarnyalah, ketika pagi-pagi Glagah Putih bangun dan mengisi jambangan pakiwan, Rara Wulan ternyata sudah lebih dahulu mandi. Sambil berdiri di tepi plataran sumur, ia berkata, “Lebih baik kita berangkat pagi. Udara tentu masih segar dan panas matahari belum menggatalkan kulit.” “Tetapi tentu tidak terlalu pagi Rara,” jawab Glagah Putih, “biarlah Kakang Agung Sedayu berangkat ke baraknya lebih dahulu. Baru kemudian kita berangkat.“ “Kenapa harus menunggu?” bertanya Rara Wulan. “Aku merasa segan terhadap mbokayu Sekar Mirah. Ia tentu sedang sibuk melayani Kakang Agung Sedayu. Sementara itu, kita tidak terlalu terikat oleh waktu. Jika kita berangkat terlalu pagi, maka Mbokayu Sekar Mirah akan menjadi sangat sibuk,” jawab Glagah Putih. Rara Wulan menarik nafas dalam-dalam. Namun agaknya ia dapat mengerti. Karena itu maka iapun kemudian mengangguk kecil. Tetapi Rara Wulan itu pun masih berkata. “Baiklah. Tetapi begitu Kakang Agung Sedayu berangkat, kita pun akan segera berangkat.” Glagah Putih pun mengangguk sambil menjawab, “Ya. Kita akan segera berangkat setelah Kakang Agung Sedayu berangkat.” Ketika kemudian Rara Wulan meninggalkan Glagah Putih yang masih menimba air, Ki Jayaraga pun mendekatinya. Sambil tersenyum Ki Jayaraga bertanya, “Apakah Rara Wulan mendesakmu untuk berangkat pagi-pagi?” “Ya,” jawab Glagah Putih, “tetapi aku minta kita berangkat setelah Kakang Agung Sedayu lebih dahulu berangkat.” Ki Jayaraga mengangguk-angguk. Katanya kemudian, “Aku pun sudah bersiap pagi-pagi. Aku sudah mengira bahwa Rara Wulan akan mendesakmu untuk berangkat sebelum matahari terbit. Aku sudah bangun pagi-pagi sekali, menyapu halaman bersama Wacana, mandi dan kemudian bersiap-siap.” “Ki Jayaraga sudah mandi?” bertanya Glagah Putih. Ki Jayaraga mengerutkan dahinya. Iapun justru ganti bertanya, “Apakah aku masih nampak kotor dan kantuk?” “Tidak, tidak,” jawab Glagah Putih dengan serta-merta. “Atau karena aku sudah tua, sehingga mandi atau tidak mandi sama saja? Jika demikian, agaknya lebih baik aku tidak mandi saja,“ berkata Ki Jayaraga. Namun kemudian iapun tertawa, sehingga Glagah Putih pun tertawa pula. “Bukan begitu Ki Jayaraga,” jawab Glagah Putih, “Ki Jayaraga selalu nampak bersih dan rapi. Sebelum atau sesudah mandi. Sanggul kadal menek itu memang sudah nampak halus dan licin.” Ki Jayaraga tertawa semakin panjang. Namun kemudian katanya, “Cepatlah mandi. Begitu Angger Agung Sedayu berangkat, maka Rara Wulan tentu akan menjadi ribut.” Ki Jayaraga pun kemudian meninggalkan Glagah Putih yang segera mandi pula. Demikianlah, setelah makan pagi maka Agung Sedayu pun segera bersiap untuk berangkat ke barak Pasukan Khusus. Ia masih memberikan beberapa pesan kepada Glagah Putih jika kemudian ia akan pergi ke Kademangan Kleringan bersama Ki Jayaraga dan Rara Wulan. Kepada Rara Wulan pun Agung Sedayu pun berpesan pula, “Hati-hati Rara. Jangan mudah terpancing oleh keadaan apapun juga.” Rara Wulan mengangguk-angguk sambil menjawab, “Baik Kakang. Aku akan berhati- hati.” Sejenak kemudian, maka Agung Sedayu pun telah berpacu meninggalkan rumahnya menuju ke barak Pasukan Khusus. Seperti yang diduga oleh Ki Jayaraga dan Glagah Putih, demikian Agung Sedayu berangkat, maka Rara Wulan pun segera bertanya kepada Glagah Putih, “Kapan kita berangkat?” Glagah Putih memang tidak mempunyai alasan untuk menunda keberangkatan mereka. Karena itu, iapun berkata, “Baiklah. Kita pun segera berangkat.” Setelah Glagah Putih memberitahu Ki Jayaraga, maka mereka bertiga pun segera bersiap-siap untuk berangkat. Seperti Agung Sedayu, maka Sekar Mirah pun telah berpesan kepada Rara Wulan agar ia berhati-hati dan selalu berusaha mengekang diri. Sesaat kemudian, bertiga mereka telah berangkat menuju ke Kademangan Kleringan. Memang tidak ada hambatan di perjalanan. Demikian pula ketika mereka memasuki Kademangan Kleringan di seberang bukit. Mereka sama sekali tidak mengalami gangguan apapun juga. Sementara itu kehidupan di Kademangan Kleringan ternyata wajar-wajar saja. “Kanthi memang bukan orang penting,“ berkata Rara Wulan tiba-tiba. “Kenapa?” bertanya Glagah Putih dengan heran. Rara Wulan menarik nafas dalam-dalam. Dengan dahi yang berkerut ia memandangi orang-orang yang bekerja di sawah. Orang-orang yang pergi dan pulang dari pasar. Beberapa orang bepergian untuk satu keperluan. Glagah Putih masih menunggu jawab Rara Wulan sambil berjalan di sebelahnya. Sementara itu Ki Jayaraga meski pun berjalan di depan, tetapi iapun berusaha untuk mendengar apa yang dikatakan oleh Rara Wulan. Baru beberapa saat kemudian Rara Wulan berkata, “Kanthi memang tidak perlu mendapat perhatian khusus orang-orang Kademangan Kleringan. Biar saja Kanthi menyelesaikan kesulitannya sendiri. Tidak seorang pun yang mempedulikannya. Mereka merasa lebih baik untuk menyelesaikan tugas mereka masing-masing, karena memperhatikan nasib Kanthi tidak akan memberikan keuntungan apa-apa bagi mereka.” Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian Glagah Putih pun menjawab, “Rara. Aku kira apa yang terjadi adalah wajar sekali. Tidak semua orang Kademangan Kleringan mengetahui apa yang terjadi atas diri Kanthi. Sementara itu, putaran peristiwa di Kademangan Kleringan memang tidak boleh berhenti hanya karena persoalan yang menimpa Kanthi. Betapapun orang-orang Kleringan mengetahui persoalan yang menjerat Kanthi, namun ada keterbatasan mereka untuk melibatkan diri mereka.” “Mereka sudah terjebak ked alam ketidak-pedulian dengan keadaan di sekitar mereka. Hidup dan kehidupan hanya terjadi di seputar diri sendiri,“ berkata Rara Wulan. “Tidak Rara. Tetapi dalam persoalan yang terjadi atas Kanthi, justru keluarga Kanthi sendiri-lah yang membatasinya, agar tidak banyak diketahui orang. Bukankah begitu? Bukankah semakin banyak orang yang mengetahuinya, maka arang yang tercoreng di kening itu akan semakin banyak dilihat orang?“ sahut Glagah Putih. Rara Wulan termangu-mangu sejenak. Namun ia tidak menjawab. Demikianlah, maka mereka pun semakin lama menjadi semakin dekat dengan padukuhan yang mereka tuju. Ketika mereka memasuki padukuhan, maka jantung Rara Wulan menjadi semakin berdebar-debar. Sekilas Rara Wulan justru membayangkan wajah seorang gadis yang bernama Anggreni, yang cerah ceria menerima lamaran Prastawa. Sementara di sisi lain, ia melihat seorang gadis yang menelungkup dan menangis terisak-isak. Kanthi telah mengalami kegagalan ganda. “Kenapa hal itu telah dilakukannya, betapapun ia dicengkam oleh perasaan kecewa?“ berkata Rara Wulan di dalam hatinya. Jantung Rara Wulan menjadi semakin berdebar-debar ketika ia melewati tikungan dan memasuki jalan yang langsung melewati depan regol halaman rumah kanthi. Langkah Rara Wulan itu pun menjadi semakin cepat. Rasa-rasanya Rara Wulan ingin meloncat dan segera sampai ke rumah gadis yang sedang mengalami tekanan batin oleh kelalaiannya sendiri itu. Ketika ketiganya sampai di depan regol halaman rumah Ki Suracala itu, mereka termangu-mangu sejenak. Regol itu tertutup, tetapi tidak terlalu rapat. Karena itu, ketika Ki Jayaraga menyentuhnya, maka pintu itu pun terdorong sejengkal. Karena itu, Ki Jayaraga pun telah mendorong pintu itu, sehingga pintu itu pun terbuka. Ketiga orang yang berdiri di pintu regol itu terkejut. Mereka melihat beberapa orang berada di pendapa. Nampaknya mereka memang sedang gelisah. Satu dua orang nampak sibuk hilir mudik di pringgitan. “Apa yang terjadi?” desis Rara Wulan. Karena itu, maka Rara Wulan pun menjadi tidak sabar lagi menunggu. Iapun segera melangkah ke tangga pendapa. Glagah Putih dan Ki Jayaraga pun segera mengikutinya pula. Ternyata beberapa orang yang ada di pendapa itu belum mengenal Rara Wulan, Glagah Putih dan Ki Jayaraga. Karena dua orang yang menyongsong mereka telah memperhatikan Rara Wulan, Glagah Putih dan Ki Jayaraga dengan ragu-ragu. “Apakah Kanthi ada di rumah?” pertanyaan itulah yang mula-mula terlontar dari mulut Rara Wulan. “Siapakah kalian Ki Sanak?” bertanya salah seorang dari orang-orang yang menyongsongnya. Ki Jayaraga-lah yang kemudian menjawab, “Kami datang untuk menengok keselamatan keluarga Ki Suracala. Kami adalah sahabatnya yang tinggal di Tanah Perdikan Menoreh.” “O,“ orang itu mengangguk, “marilah, silahkan duduk. Biarlah kami beritahukan kepada Ki Suracala. Ia sudah menjadi tenang kembali.” “Apa yang terjadi?” bertanya Ki Jayaraga. “Nanti saja. Biarlah Ki Suracala sendiri yang menjelaskan,” jawab orang itu. Ki Jayaraga termangu-mangu sejenak. Demikian pula Glagah Putih dan Rara Wulan. Namun orang yang menyongsongnya itu pun kemudian telah mempersilahkan ketiga orang tamu itu untuk naik dan duduk di pendapa. Namun demikian mereka duduk di pendapa, terasa suasana yang tegang meliputi orang-orang yang sudah berada lebih dahulu di pendapa itu. Namun tidak seorang pun yang menyapa mereka, dan apalagi menceritakan apa yang terjadi di rumah itu. Dengan demikian maka Ki Jayaraga, Glagah Putih dan Rara Wulan duduk termangu-mangu saja di pendapa. Mereka tidak berbicara dan berbuat apapun selain menunggu Ki Suracala. Rara Wulan hampir tidak sabar menunggu. Tetapi setiap kali ia bergeser, maka Glagah Putih selalu menggamitnya untuk menahan agar Rara Wulan tidak beranjak dari tempatnya. Baru beberapa saat kemudian, ketika Rara Wulan hampir kehabisan kesabaran, Ki Suracala pun keluar dari ruang dalam, dibimbing oleh seorang laki-laki yang sebaya umurnya. “Apa yang telah terjadi?” desis Rara Wulan. “Kita akan mendapat keterangan dari Ki Suracala Ngger,” desis Ki Jayaraga. Ketika kemudian Ki Suracala melihat Ki Jayaraga, Glagah Putih dan Sekar Mirah, maka iapun segera mendekati mereka dan duduk bersama mereka. “Apa yang terjadi, Ki Suracala?” Rara Wulan tidak sabar lagi. Ki Suracala mengusap matanya yang basah. Tetapi ia tidak segera menjawab. Dicobanya untuk menenangkan hatinya dan mengatur pernafasannya. Ketika ia kemudian memandang Rara Wulan, maka Rara Wulan pun bertanya sekali lagi, “Apa yang terjadi, Ki Suracala?” Suara Ki Suracala yang serak bagaikan tertahan di kerongkongan, “Kanthi Ngger.” “Kenapa dengan Kanthi?” bertanya Rara Wulan dengan serta merta. Wajahnya menjadi merah. “Ia berada di biliknya,” desis Ki Suracala. Rara Wulan tidak menunggu lebih lama lagi. Gadis itu pun segera bangkit dan berlari ke ruang dalam. Rara Wulan sudah mengetahui letak bilik Kanthi. Karena itu, maka iapun segera berlari menuju ke pintu bilik itu. Demikian ia menyingkap tirai pintu bilik itu, maka dilihatnya Kanthi berbaring di pembaringannya. Tiga orang perempuan termasuk ibu dan kakak perempuannya menungguinya. Seorang lagi adalah seorang yang sudah lebih tua dari ibu Kanthi itu sendiri. Sejenak Rara Wulan berdiri di pintu. Namun kemudian iapun telah melangkah masuk. Ketika ibu Kanthi berpaling, maka Rara Wulan itu pun berdesis, “Apakah Kanthi sakit?” Ibu Kanthi itu memandang Rara Wulan dengan mata yang basah. Isaknya tiba-tiba telah timbul kembali, meskipun ia berusaha untuk menahannya. Kanthi yang terbaring lemah itu tiba-tiba menggerakkan kepalanya. Ketika ia memandang Rara Wulan, maka Rara Wulan pun sedang memandanginya. Tiba-tiba saja Kanthi itu menjerit. Semua orang yang ada di dalam bilik itu terkejut. Namun yang terjadi cepat sekali, ketika kemudian Kanthi yang lemah itu bangkit dan meloncat memeluk Rara Wulan. Rara Wulan pun memeluknya pula. Apalagi ketika Kanthi kemudian menangis sejadi-jadinya. “Kanthi. Kanthi. Apa yang terjadi?” bertanya Rara Wulan, “Apakah ada orang yang mengganggumu lagi? Atau Ki Suratapa atau Ki Wreksadana?” Sambil menangis Kanthi menggeleng. “Jadi, apa yang telah terjadi?” desak Rara Wulan. Kanthi tidak menyahut. Tetapi tangisnya justru semakin menjadi-jadi. Betapapun keras hati Rara Wulan, namun iapun seorang perempuan. Karena itu, betapapun ia bertahan, namun air matanya pun akhirnya mengalir juga di pipinya. Ketiga orang perempuan yang berada di bilik itu pun telah mendekat pula. Ibunya yang sudah mulai menangis itu pun telah menjadi terisak. “Tenanglah Kanthi, tenanglah,“ berkata Rara Wulan sambil berusaha menenangkan Kanthi. Tangis Kanthi memang mulai mereda. Rara Wulan pun kemudian membimbing Kanthi untuk duduk di pembaringannya. “Kenapa kau menangis? Apakah ada seseorang yang menyakitimu atau mengancammu, atau tindak kekerasan lain?” bertanya Rara Wulan. Kanthi menggeleng. Sehingga Rara Wulan pun bertanya mendesak, “Jadi kenapa kau menangis? Apakah kau sakit?” Kanthi termangu-mangu sejenak. Namun kemudian iapun mengangguk lemah. Rara Wulan pun mengangguk-angguk pula. Katanya, “Jika demikian, berbaringlah. Apakah kau sudah mendapat obatnya?” Kanthi tidak menyahut. Rara Wulan pun kemudian berkata pula. “Sudahlah. Berbaringlah. Kau harus banyak beristirahat.” “Kau jangan pergi,” desis Kanthi. “Tidak, aku tidak akan pergi,” jawab Rara Wulan. Kanthi ternyata mau membaringkan dirinya. Tetapi tangannya tetap berpegangan tangan Rara Wulan. Dalam pada itu, di pendapa, Ki Suracala yang masih terengah-engah itu berkata hampir berbisik kepada Ki Jayaraga dan Glagah Putih dengan suara yang hampir tidak terdengar, “Kanthi telah kehilangan akal. Ia telah mencoba membunuh diri.” Betapa Ki Jayaraga dan Glagah Putih terkejut sehingga mereka bergeser setapak mendekati Ki Suracala. Dengan kening yang berkerut Ki Jayaraga itu pun bertanya, “Apakah ada tekanan-tekanan lagi atas gadis itu, sehingga ia mengambil keputusan untuk membunuh diri?” Ki Suracala menggeleng. Katanya, “Tidak Ki Jayaraga. Tetapi penyesalan itulah yang semakin lama semakin menekan perasaannya, sehingga anak itu telah mengambil keputusan yang salah.” Ki Jayaraga menarik nafas dalam. Tetapi ia hanya bergumam saja di dalam hatinya, “Sekali Kanthi melakukan kesalahan, jika ia tidak mampu bangkit lagi, maka ia akan melakukan kesalahan-kesalahan berikutnya. Sehingga dengan demikian maka kesalahan-kesalahan itu justru akan bersusun.” Namun dalam pada itu, Ki Jayaraga bertanya, “Apakah masih saja ada orang yang menyudutkannya dalam kesalahannya?” “Sepengetahuanku tidak,” jawab Ki Suracala, “kakaknya yang pernah marah-marah kepadanya, justru sebelum terjadi peristiwa yang menggetarkan di rumah ini, telah berusaha untuk membantunya menemukan kembali jalan ke masa depannya. Bahkan kakak perempuannya telah menyatakan kesediaannya untuk memungut anak Kanthi nanti jika anak itu lahir, dan mengakunya sebagai anaknya sendiri. Demikian pula ibunya dan orang-orang yang berhubungan dengan Kanthi, telah berusaha untuk membangkitkan lagi kemauannya untuk tetap hidup. Namun Kanthi masih juga memilih jalan sesat. Untunglah bahwa niatnya itu dapat diketahui, sehingga dapat digagalkan. Tetapi ia sudah sempat tergantung pada blandar di biliknya, ketika kakak perempuannya itu masuk dan langsung berteriak-teriak minta tolong.” Ki Jayaraga menarik nafas dalam-dalam. Keributan itu-lah agaknya yang telah memanggil beberapa orang tetangga Ki Suracala sehingga mereka datang ke rumah itu. Dalam pada itu, ditunggui oleh Rara Wulan, Kanthi menjadi sedikit tenang. Kelelahan, kebingungan dan perasaan yang bercampur baur membuatnya menjadi sangat letih. Demikian ia merasakan ketenangan itu, maka Kanthi itu sempat tertidur, meskipun masih saja nampak gelisah. Baru ketika Kanthi tidur, ibu Kanthi itu memberitahukan kepada Rara Wulan apa yang terjadi. Rara Wulan pun menjadi sangat terkejut pula. Tetapi ketika ia hampir menjerit, maka iapun segera teringat, bahwa Kanthi sedang tertidur. Karena itu, ditahannya gejolak perasaannya yang mengguncang dada. Namun demikian, wajah Rara Wulan itu nampak menjadi pucat. Keringatnya mengalir bagaikan diperas, sehingga pakaiannya menjadi basah kuyup. “Kenapa hal itu dilakukannya?” bertanya Rara Wulan dengan menahan isaknya yang menyesakkan dadanya. Perempuan itu telah menjawab sebagaimana jawaban yang diberikan oleh Ki Suracala kepada Ki Jayaraga dan Glagah Putih di pendapa. Rara Wulan mengangguk kecil. Dengan susah payah ia menenangkan jantungnya yang terasa berdegup semakin keras. Bagaimanapun juga Kanthi masih tetap selamat, sehingga masih banyak kemungkinan yang dapat ditunjukkan kepadanya, agar Kanthi dapat bangkit kembali untuk menatap masa depannya. Untuk beberapa lama, Rara Wulan duduk dan berbincang dengan ketiga orang perempuan yang menunggui Kanthi, yang meskipun tertidur, tetapi terasa betapa kegelisahan masih tetap mencengkam jantungnya. Namun sejenak kemudian, Kanthi itu terbangun. Ia nampak terkejut dan gelisah. Namun Rara Wulan segera duduk di bibir pembaringannya sambil mengusap dahinya, “Tenanglah Kanthi. Aku masih di sini.” Kanthi menarik nafas dalam-dalam. Rara Wulan yang pernah bertempur untuk melindunginya, benar-benar membuat perasaannya menjadi tenang. Gadis itu seakan-akan masih saja tetap melindunginya dari segala macam ancaman, dan bahkan dari dirinya sendiri. Rara Wulan yang sudah mengetahui apa yang telah terjadi sebenarnya atas Kanthi itu. berusaha untuk dapat membuat gadis itu mulai menyadari bahwa ia tidak boleh kalah dan menyerah. Kanthi harus tetap tegar dan berpengharapan. Tetapi Rara Wulan masih saja tidak berani menunjuk apa yang sebenarnya telah terjadi atas Kanthi. Sehingga apa yang dikatakannya dengan hati-hati tidak langsung ke sasaran. Rara Wulan berusaha untuk sangat berhati-hati berbicara dengan Kanthi yang hatinya sedang terluka parah. “Kau harus selalu berdoa Kanthi,“ berkata Rara Wulan, “jika hatimu menatap dengan mantap, maka Yang Maha Agung akan mendengarkan doamu. Kau akan segera sembuh. Baik sakit yang kau derita pada sisi kewadaganmu, maupun sakit yang kau derita pada sisi kejiwaanmu. Yang Maha Agung tidak akan mengecewakan justru jika kau tetap berpengharapan.” Kanthi mengangguk kecil. Sementara Rara Wulan berkata, “Sekarang kau harus benar-benar meletakkan segala beban perasaanmu. Serahkan semua persoalanmu kepada Yang Maha Agung. Kau harus memohon dan memohon petunjuk dengan lambaran kepercayaan yang bulat.” Kanthi mengangguk lagi. Sementara ibunya berdesis lirih, “Kau dengar itu Genduk?” Kanthi mengangguk lagi. Rara Wulan menarik nafas dalam-dalam. Wajah Kanthi yang pucat serta matanya yang lembab membayangkan betapa hatinya terkoyak-koyak. Ketika Rara Wulan beringsut, dengan cepat Kanthi menangkap tangannya sambil berkata dengan nada tinggi, “Jangan tinggalkan aku. Aku takut.” “Tidak Kanthi. Aku tidak akan pergi,” jawab Rara Wulan. Namun sebenarnyalah bahwa Rara Wulan berpikir bahwa tentu sulit baginya nanti untuk meninggalkan rumah itu, jika sikap Kanthi tidak berubah. Sementara itu, di pendapa Ki Suracala masih bercerita tentang anak perempuannya itu. Dari hari ke hari, ia menjadi semakin murung. Ia merasa tidak akan dapat menyembunyikan cela yang melekat di tubuhnya, sehingga akhirnya Kanthi telah kehilangan akal. Ki Jayaraga mengangguk-angguk kecil. Kemudian katanya dengan nada berat, “Ki Suracala memang harus bersabar, tabah dan pasrah kepada Yang Maha Agung. Dengan kesabaran dan ketabahan, serta doa yang tidak berkeputusan, maka beban yang disandang oleh Kanthi akan terasa menjadi lebih ringan.” Ki Suracala mengangguk-angguk. Dengan nada yang dalam ia berkata, “Aku mohon Ki Jayaraga dan Angger Glagah Putih ikut berdoa pula agar Kanthi mendapat pikiran yang terang.” “Tentu,” jawab Ki Jayaraga, “kami di Tanah Perdikan, bukan saja aku dan angger Glagah Putih tetapi juga yang lain, selalu berdoa agar Kanthi dapat segera bangkit kembali menyongsong masa depannya.” “Terima Kasih,“ gumam Ki Suracala. Namun kemudian suaranya seakan-akan tertelan kembali, “Tetapi bagaimana dengan anak yang akan lahir itu?” “Ada seribu jalan yang dapat tiba-tiba saja terbentang di hadapan Kanthi, jika Yang Maha Agung menghendaki,” jawab Ki Jayaraga. Ki Suracala mengangguk-angguk. Katanya, “Aku memang selalu memohon tanpa berkeputusan. Di malam hari, lewat tengah malam, aku selalu turun ke halaman, memandang bintang-bintang di langit. Kemudian memohon dan memohon. Mohon ampun dan mohon petunjuk.” “Yang Maha Agung akan mendengarkan permohonan Ki Suracala,” desis Ki Jayaraga. Ki Suracala pun terdiam sejenak. Namun kemudian seperti orang tersadar dari mimpinya, iapun mempersilahkan Ki Jayaraga dan Glagah Putih untuk bergeser, duduk di antara beberapa orang tetangga Ki Suracala yang berdatangan ketika mereka mendengar keributan di rumah itu. Kepada tetangga-tetangganya Ki Suracala memperkenalkan Ki Jayaraga dan Glagah Putih sebagai tamu-tamunya dari Tanah Perdikan Menoreh. “Mereka adalah sebagian dari keluarga Ki Argajaya, yang telah menyelamatkan aku dan keluargaku beberapa waktu yang lalu,“ berkata Ki Suracala. Tetangga-tetangga Ki Suracala itu mengangguk hormat. Mereka mengerti bahwa beberapa waktu yang lalu telah terjadi peristiwa berdarah di rumah itu, sehingga ada di antara mereka yang melaporkan kepada Ki Demang, sehingga Ki Demang telah datang ke rumah itu bersama beberapa orang bebahu kademangan dan padukuhan itu. Demikianlah, beberapa saat lamanya mereka duduk di pendapa. Namun kemudian tetangga-tetangga Ki Suracala itu satu demi satu telah minta diri, ketika mereka tahu bahwa keadaan telah menjadi tenang. Hanya beberapa orang perempuan saja-lah yang masih tinggal. Sebagian duduk di ruang dalam dan sebagian lagi ada di dapur, membantu menyiapkan minuman dan makanan, karena Nyi Suracala dan keluarganya tidak sempat memikirkannya. Di pendapa, Ki Jayaraga dan Glagah Putih duduk beberapa lama dengan Ki Suracala. Minuman dan makanan yang dihidangkan telah mereka minum dan mereka makan beberapa potong. Sementara itu, Rara Wulan masih saja berada di ruang dalam. Sebenarnyalah bahwa Rara Wulan tidak dapat beringsut dari pembaringan Kanthi. Setiap kali Kanthi justru memegangi tangannya dengan erat, seakan-akan tidak akan pernah dilepaskan lagi. Sebenarnyalah bahwa Rara Wulan sendiri mulai menjadi gelisah. Ia sadar bahwa Ki Jayaraga dan Glagah Putih menunggunya di pendapa. Sementara itu ia tidak dapat meninggalkan Kanthi sama sekali. Ketika Rara Wulan mengatakan bahwa ia akan menemui Ki Jayaraga dan Glagah Putih sebentar saja di pendapa, Kanthi sama sekali tidak mau melepaskannya. “Sebentar saja Ngger,“ berkata ibunya, “Angger Rara Wulan akan berbicara sebentar saja dengan Angger Glagah Putih yang menunggunya di pendapa.” “Tidak. Tidak,“ Kanthi memegang tangan Rara Wulan semakin erat. “Sudahlah Bibi,” desis Rara Wulan kemudian, “biarlah aku di sini untuk beberapa saat.” “Tidak hanya untuk beberapa saat. Kau tidak boleh pergi,“ sahut Kanthi. Sambil menarik nafas panjang. Katanya, “Baik, baik, Kanthi. Aku akan menungguimu di sini.“ Dalam pada itu, Nyi Suracala-lah yang kemudian pergi ke pendapa menemui Ki Jayaraga dan Glagah Putih. “Kanthi sama sekali tidak mau melepaskan Rara Wulan,“ berkata Nyi Suracala. Ki Jayaraga dan Glagah Putih hanya mengangguk-angguk saja. Namun sebenarnyalah mereka menjadi gelisah. Jika Rara Wulan tidak dapat meninggalkan Kanthi, apakah mereka pun harus tinggal di Kademangan Kleringan sampai jiwa Kanthi menjadi tenang? Agaknya Ki Suracala dapat membaca perasaan Ki Jayaraga dan Glagah Putih, karena itu ia-lah yang bertanya kepada Nyi Suracala, “Jika demikian, apakah berarti Angger Rara Wulan harus tetap berada di dalam biliknya?” “Setiap Angger Rara Wulan beringsut, Kanthi selalu memegangi tangannya erat-erat. Ia hanya mengatakan bahwa Angger Rara Wulan tidak boleh meninggalkannya,” jawab Nyi Suracala. “Sampai kapan Angger Rara Wulan harus menungguinya?” bertanya Ki Suracala. “Sudahlah,” potong Ki Jayaraga, “kita akan menunggu, nanti perasaan Kanthi akan menjadi tenang. Agaknya Rara Wulan dianggapnya dapat memberikan perlindungan bagi Kanthi dari tekanan-tekanan atas perasaannya, bahkan yang datang dari dirinya sendiri, karena Rara Wulan memang pernah menyelamatkannya pada saat-saat yang sangat gawat itu.” Ki Suracala pun mengangguk-angguk. Namun katanya kepada Nyi Suracala, “Dengan perlahan-lahan usahakanlah Nyi, agar Angger Rara Wulan nanti dapat keluar dari bilik Kanthi. Tetapi alangkah terima kasih kita jika Angger Rara Wulan bersedia bermalam barang semalam di sini.” Nyi Suracala tidak menjawab. Tetapi di luar sadarnya ia memandang Ki Jayaraga dan Glagah Putih. Namun baik Ki Jayaraga maupun Glagah Putih tidak memberikan tanggapan apapun juga. Sebenarnyalah bahwa Ki Jayaraga dan Glagah Putih masih belum tahu apa yang sebaiknya mereka lakukan, jika benar Rara Wulan tidak dapat meninggalkan bilik Kanthi itu. Meskipun demikian, Nyi Suracala masih juga berkata, “Tetapi baiklah kami usahakan agar Angger Rara Wulan dapat meninggalkan Kanthi nanti pada saatnya. Mudah-mudahan Kanthi menjadi semakin tenang sehingga ia tidak lagi memegangi tangan Angger Rara Wulan tanpa mau melepaskannya sama sekali.” Dengan demikian, maka Ki Jayaraga dan Glagah Putih harus menunggu. Mereka tidak segera dapat mengajak Rara Wulan pulang. Karena itu, setelah makan siang Ki Suracala telah mempersilahkan keduanya beristirahat. Bagi mereka disediakan sebuah bilik di gandok kanan. Tetapi Ki Jayaraga dan Glagah Putih kemudian hanya duduk-duduk saja di serambi gandok sambil memandangi halaman rumah Ki Suracala, yang nampak sejuk oleh pepohonan yang tumbuh di halaman depan. Bahkan terdapat pula beberapa jenis tanaman pajangan. Pohon soka, ceplok piring, dan di sudut pendapa terdapat rumpun-rumpun kembang melati yang sedang berbunga. Sementara itu, di dalam biliknya Kanthi tetap tidak mau melepaskan tangan Rara Wulan. Ketika ibu dan kakaknya berusaha untuk menenangkannya dan menjelaskan kepadanya bahwa Rara Wulan harus kembali ke Tanah Perdikan. Kanthi tidak mau mendengarkannya lagi. “Kanthi,“ berkata ibunya, “tentu saja Angger Rara Wulan tidak dapat tinggal di sini terus. Ia harus pulang ke Tanah Perdikan Menoreh. Jika tidak, maka keluarganya tentu akan menjadi cemas dan gelisah. Apalagi beberapa waktu yang lalu, telah terjadi perselisihan di sini.” “Apapun sebabnya, Rara Wulan tidak boleh pergi,” jawab Kanthi. “Rara Wulan sendiri mungkin dapat mengerti keadaanmu, Kanthi. Tetapi keluarganya di Tanah Perdikan Menoreh?” bertanya ibunya. “Tidak. Tidak,“ Kanthi mulai menangis. “Besok aku datang lagi kemari Kanthi,” desis Rara Wulan. “Tidak Rara. Jika kau harus pulang ke Tanah Perdikan Menoreh, aku akan ikut. Aku akan bersedia untuk menjadi pembantu di rumahmu. Aku bersedia mencuci pakaian, mengambil air, masak dan semua kerja apapun.” Rara Wulan terkejut. Tetapi sebelum ia menyahut, maka Kanthi sudah mendahuluinya, “Jika kau tidak membiarkan aku ikut, maka kau tidak boleh pergi. Jika kau memaksa, maka aku akan memilih mati daripada selalu disiksa oleh kegelisahan dan perasaan berdosa.“ Rara Wulan memang menjadi bingung. Ia tidak segera dapat mengambil keputusan. Kedua kemungkinan itu akan sama-sama beratnya. Ia tentu tidak dapat tinggal di rumah Kanthi untuk satu dua hari sekalipun. Apalagi jika hal itu diketahui oleh orang-orang yang mendendam. Iapun tidak mungkin minta Glagah Putih menemaninya di Kademangan Kleringan. Tentu akan dapat menimbulkan prasangka buruk, justru karena ia mempunyai hubungan khusus dengan Glagah Putih, Sementara itu, Kanthi masih saja tetap berpegangan pada tangan Rara Wulan. Untuk beberapa saat, Rara Wulan memang tidak memberikan jawaban. Ia masih saja duduk di pembaringan Kanthi. Bahkan makan siang pun dilakukannya di dalam bilik Kanthi, karena dengan demikian serba sedikit Kanthi juga mau makan. Namun akhirnya Rara Wulan mendapat akal agar ia dapat berbicara dengan Ki Jayaraga dan Glagah Putih. Kepada Kanthi, Rara Wulan itu pun berkata, “Kanthi, aku minta agar kau memberi kesempatan kepadaku untuk pergi ke pakiwan.” “Tidak,” jawab Kanthi. “Tentu sulit bagiku untuk menahan diri tidak pergi ke pakiwan. Kau tahu, aku sudah lama berada di sini. Karena itu, aku hanya minta waktu sedikit saja. Aku tidak akan pergi. Aku tahu bahwa aku tidak boleh melakukannya dengan mengelabuimu. Akibatnya tentu akan aku sesali untuk waktu yang sangat lama.” Sebelum Kanthi menjawab, ibunya berkata, “Kanthi, kau jangan menyiksa Rara Wulan. Setiap orang tentu memerlukan waktu untuk pergi ke pakiwan. Kau dapat saja merasa tenang karena kau mendapat perlindungan. Tetapi ketenanganmu itu akan dapat membuat Angger Rara Wulan gelisah.” Kanthi termangu-mangu sejenak. Namun kemudian iapun berkata, “Tetapi jangan terlalu lama, Rara. Dan kau harus kembali ke bilik ini. Sudah aku katakan, bahwa jika kau tidak bersedia tinggal di sini, biarlah aku ikut kau ke rumahmu, dimanapun kau tinggal. Aku bersedia untuk menjadi pembantu di rumahmu. Mencuci, menyapu halaman, menimba air dan apa saja.” “Aku akan kembali Kanthi. Aku berjanji,” jawab Rara Wulan. Demikianlah, maka akhirnya Rara Wulan dapat keluar dari bilik itu. Ia memang benar-benar pergi ke pakiwan. Tetapi kemudian Rara Wulan telah mencari dan menemui Ki Jayaraga dan Glagah Putih, untuk memberitahukan permintaan Kanthi. Apakah Rara Wulan tinggal di rumah itu, atau Kanthi ikut bersamanya ke Tanah Perdikan Menoreh. “Pilihan yang sulit,“ berkata Glagah Putih, “jika kau tinggal di sini Rara, kau tentu dalam keadaan bahaya. Mungkin orang-orang yang mendendam itu masih juga mendendammu, jika mereka tahu kau ada di sini.” “Jadi, apakah kau harus menemaninya Glagah Putih?“ berkata Ki Jayaraga. Glagah Putih termangu-mangu. Namun Rara Wulan berkata, “Sebaiknya tidak, Ki Jayaraga. Bagi orang-orang Tanah Perdikan Menoreh yang tidak mengetahui dengan pasti apa yang terjadi di sini, akan dapat menimbulkan rerasan yang kurang baik.” “Ya,“ Ki Jayaraga mengangguk-angguk, “aku mengerti. Orang-orang yang tidak senang akan membuat cerita yang bermacam-macam tentang kalian berdua. Tetapi untuk membawanya ke Tanah Perdikan Menoreh, ada Prastawa. Jika Kanthi masih sempat melihat Prastawa, maka hatinya yang terluka itu akan terasa pedih kembali.” Glagah Putih mengerutkan dahinya. Namun kemudian ia berkata, “Ya. Satu persoalan yang perlu mendapat perhatian, Rara.” “Tetapi kita harus memilih. Aku tinggal di sini atau Kanthi ikut bersama kita,“ berkata Rara Wulan, “di luar dua kemungkinan itu, Kanthi sudah mengatakan bahwa ia memilih mati.” Ki Jayaraga dan Glagah Putih justru merenung. Dua pilihan yang mempunyai keberatannya masing-masing. Namun akhirnya Glagah Putih berkata, “Biarlah Kanthi ikut bersama Rara Wulan ke Tanah Perdikan Menoreh. Kita akan dapat berbicara dengan Prastawa. Kita memerlukan pengertiannya untuk tidak datang ke rumah kita, atau bahkan jika mungkin mengambil jalan lain, jangan lewat di depan rumah kita.” Ki Jayaraga mengangguk-angguk. Meskipun ragu-ragu, tetapi ia berkata, “Bagaimana jika Rara berterus terang kepada Kanthi?” “Aku tidak sampai hati, Ki Jayaraga,” jawab Rara Wulan. Ki Jayaraga itu pun mengangguk-angguk. “Jika demikian, biarlah kita mengajaknya pulang. Tetapi tentu setelah senja, agar tidak banyak orang yang melihat dan menyapanya. Meskipun kehamilannya masih belum nampak bagi mereka yang tidak sangat memperhatikan, tetapi jika kebetulan satu dua orang yang pernah mendengar persoalan Prastawa mengetahui kehadirannya di Tanah Perdikan, maka akan dapat menimbulkan persoalan baru.” “Aku kira di Tanah Perdikan Menoreh belum ada seorangpun yang mendengarnya,“ sahut Rara Wulan. “Tidak Rara. Menurut Prastawa, justru Anggreni dan keluarganya sudah mengetahui,” desis Ki Jayaraga. “Jadi keluarga Anggreni sudah tahu?“ Rara Wulan terkejut, “Betapa gadis itu merasa semakin menang.” “Tidak,“ Ki Jayaraga menggeleng, “Anggreni bukan jenis yang demikian. Ia dapat mengerti perasaan Kanthi. Ia dapat mengerti perasaan seorang gadis lain yang sakit karena angan-angannya yang lepas. Juga tentang Prastawa. Untunglah bahwa gadis itu tidak mengalami kesulitan yang parah seperti Kanthi. Ia segera dapat bangkit kembali dan berusaha melupakannya.” Rara Wulan mengerutkan dahinya. Tetapi dengan demikian penilaiannya terhadap Anggreni yang belum pernah dikenalnya itu menjadi agak berubah. Dalam pada itu, sebelum pembicaraan itu tuntas, maka seorang perempuan berlari-lari mencari Rara Wulan. Dengan gelisah ia berkata, “Kanthi mencarimu, Ngger. Kanthi mulai menangis dan gelisah lagi.” “Baik. Baik,” jawab Rara Wulan, “aku akan segera datang.” Rara Wulan yang tergesa-gesa pergi untuk menemui Kanthi masih sempat bertanya kepada Ki Jayaraga dan Glagah Putih, “Jadi kita condong membawa Kanthi ke Tanah Perdikan, daripada aku harus tinggal di sini?” “Ya,” jawab Ki Jayaraga, “untuk sementara.“ Rara Wulan pun segera berlari ke bilik Kanthi. “Kenapa lama sekali?” bertanya Kanthi yang langsung berpegangan tangan Rara Wulan. “Kau akan meninggalkan aku?” “Tidak. Aku baru ke pakiwan dan berbicara sedikit dengan Ki Jayaraga dan Kakang Glagah Putih,” jawab Rara Wulan. “Apakah mereka tidak mengijinkan kau tinggal di sini atau aku ikut ke rumahmu?” bertanya Kanthi. “Mereka sama sekali tidak berkeberatan Kanthi,” jawab Rara Wulan. Dan bahkan Rara Wulan itu pun kemudian sekaligus berkata kepada ibu Kanthi, “Nyi Suracala, biarlah Kanthi bersamaku untuk sementara di rumahku. Mudah-mudahan ia menemukan cahaya di hatinya, sehingga hatinya menjadi terang kembali.” Nyi Suracala termangu-mangu sejenak. Namun Kanthi berkata, “Biarlah aku menyingkir dari rumah ini, Ibu. Bagi Ibu aku adalah anak yang durhaka.” “Tidak. Tidak Kanthi. Apapun yang terjadi atas dirimu, kau tetap anakku. Aku dan ayahmu tidak akan dapat mencuci tangan dan apalagi mengibaskan kau karena kau telah tergelincir.” Dalam pada itu, maka kakak perempuannyapun berkata, “Kanthi, Ayah, Ibu, aku dan seluruh keluarga ini justru berusaha membantumu. Bukan berarti kami menganggap kau tidak bersalah. Tetapi setelah kau sendiri mengakuinya bersalah, maka harus diketemukan jalan menuju ke masa depanmu.” Kanti tercenung. Tetapi ia tidak menjawdb. Meskipun demikian ia masih tetap berpegang tangan Rara Wulan. Sementara itu, Ki Jayaraga dan Glagah Putih telah dipersilahkan lagi duduk di pendapa. Minuman hangat dan beberapa potong makanan telah dihidangkan. Pada kesempatan itu, Ki Jayaraga juga menyampaikan keinginan Kanthi dan sekaligus untuk mohon pertimbangannya. “Jika itu yang diinginkan Kanthi, aku tidak dapat menahannya. Namun masih juga tergantung Angger Rara Wulan, apakah ia bersedia membawa Kanthi,” desis Ki Suracala dengan nada rendah. “Rara Wulan sudah menyatakan tidak berkeberatan, jika ayah dan ibu Kanthi mengijinkan,” jawab Ki Jayaraga. Ki Suracala hanya dapat mengangguk-angguk. Nalarnya seakan-akan menjadi pepat menghadapi persoalan anak perempuannya itu. Tetapi seperti juga Nyi Suracala, Ki Suracala sama sekali tidak ingin melepaskan tanggung jawabnya sebagai seorang ayah. Apapun yang terjadi atas anaknya, maka hubungan darah itu tidak akan pernah dapat diputuskan dengan cara apapun juga. Dalam pembicaraan selanjutnya antara Kanthi, orang tua Kanthi, serta para tamu dari Tanah Perdikan Menoreh itu, diputuskan bahwa Kanthi akan ikut bersama Rara Wulan ke Tanah Perdikan Menoreh. Mereka pun sepakat untuk meninggalkan rumah Ki Suracala itu setelah lewat senja, agar tidak banyak orang yang melihatnya. Demikianlah, ketika gelap malam mulai membayang, Ki Jayaraga, Glagah Putih dan Rara Wulan pun telah mohon diri. Bersama mereka telah pergi pula Kanthi. Nyi Suracala sempat memeluk anaknya sambil menahan tangisnya yang menyesakkan dadanya. “Kau tidak boleh terlalu lama pergi Kanthi,“ berkata ibunya di sela isaknya. Kanthi tidak segera menjawab. Dipandanginya lampu minyak yang sudah menyala di pendapa rumahnya. Kemudian bayangan pepohonan yang mulai menjadi kehitaman. Rumah, halaman dan pepohonan itu adalah bagian dari hidup Kanthi sehari-hari. Namun ia tidak dapat tinggal lebih lama di rumah yang serasa seakan-akan selalu menyiksanya itu. Kanthi memang juga menitikkan air mata ketika ia minta diri. Tetapi Kanthi merasa lebih baik pergi dari kenangan yang pahit itu. Bahkan jika tidak ada tujuannya pun, ia merasa lebih baik pergi kemanapun juga. Demikianlah, sejenak kemudian mereka pun telah meninggalkan rumah Ki Suracala. Sementara itu gelap mulai menyelimuti perbukitan. Kanthi yang tidak pernah pergi kemanapun itu merasa betapa jantungnya berdegup keras. Rumah, halaman, pohon soka dan ceplok piring di halaman, harus ditinggalkannya. Kanthi mengerutkan keningnya kelfika ia teringat akan kucing putihnya. Kucing yang banyak menemaninya di saat-saat hatinya gelisah, dan bahkan akhirnya menjadi pepat dan gelap. Kanthi-lah yang setiap pagi, siang dan sore memberi makan kucing itu. Tetapi hatinya telah bulat untuk meninggalkan segala-galanya yang ada di dalam rumah itu, termasuk kenangan pahitnya. Kanthi yang tidak terbiasa berjalan dalam gelap itu telah dibimbing oleh Rara Wulan. Rara Wulan sendiri telah melatih penglihatan dan pendengarannya dengan baik. Iapun telah membiasakan diri untuk berjalan di dalam gelap dan bahkan bertempur di kegelapan. Sehingga karena itu, maka berjalan di dalam gelap itu Rara Wulan sama sekali tidak mengalami kesulitan, sebagaimana ia berjalan di siang hari. Meskipun Kanthi mengalami kesulitan di perjalanan, tetapi ia sama sekali tidak mengeluh. Ia sudah bertekad untuk meninggalkan rumah dan seisinya. Apapun yang akan dialami di perjalanan dan bahkan di tempat yang dituju, Kanthi tidak mau memikirkannya. Jalan-jalan di Kademangan Kleringan sudah sepi. Sementara gardu-gardu masih belum terisi. Meskipun demikian, di beberapa gardu telah dipasangi lampu minyak, sementara di regol-regol padukuhan oncor pun telah menyala. Namun keempat orang itu tidak dapat berjalan cepat. Rara Wulan yang membimbing Kanthi berusaha untuk mengikuti saja kemampuan langkah Kanthi, yang apalagi sedang mengandung muda. Meskipun Rara Wulan belum mengalami, tetapi ia sudah mengetahui bahwa dalam keadaan mengandung muda, seseorang harus sangat berhati-hati. Beberapa saat kemudian, terasa jalan mulai menanjak. Mereka akan melintasi punggung pegunungan yang jarang didiami orang. Pepohonan menjadi semakin rapat, dan bahkan mereka akan melintasi hutan pegunungan. Meskipun tidak terlalu lebat, tetapi hutan itu masih juga dihuni oleh binatang buas. Namun Ki Jayaraga, Glagah Putih, bahkan Rara Wulan mengetahui bahwa jarang sekali seseorang mengalami gangguan binatang buas. Hanya binatang buas yang sudah terlalu tua sehingga tidak mampu lagi memburu kijang saja-lah yang merupakan bahaya bagi seseorang. Namun Rara Wulan yang berjalan di muka sambil membimbing Kanthi termangu-mangu melihat oncor yang menyala di sudut sebuah padukuhan. Ia melihat bayangan beberapa orang yang berkumpul di dekat oncor itu. Bahkan kemudian Rara Wulan mulai mendengar suara tertawa dan bahkan suara ribut di antara mereka. Kanthi yang kemudian juga melihat mereka ternyata menjadi ketakutan. Dengan eratnya ia berpegangan Rara Wulan. Namun Rara Wulan itu berdesis, “Jangan takut Kanthi. Mereka tidak apa-apa. Mereka tentu anak-anak muda yang sedang bersiap-siap untuk meronda. Bahkan di antara mereka terdapat anak-anak muda yang tidak sedang bertugas, namun mereka ikut berkumpul di sudut padukuhan.” “Rara, itu padukuhan Cerma,” desis Kanthi. “O,” Rara Wulan memang belum mengetahui nama padukuhan itu. “Aku takut,” desis Kanthi. “Kenapa?” bertanya Rara Wulan. “Aku lupa mengatakannya, bahwa padukuhan itu banyak dihindari oleh gadis-gadis,” jawab Kanthi. Namun kemudian katanya, “Meskipun aku bukan gadis lagi, tetapi aku takut. Apakah kita dapat kembali dan memilih jalan lain?” Rara Wulan termangu-mangu sejenak. Namun agaknya orang-orang yang berkumpul di dekat oncor itu sudah melihat mereka. Karena itu, Rara Wulan berkata, “Mereka sudah melihat kita. Tidak ada gunanya kita memilih jalan lain. Jika mereka memang ingin mengganggu, maka mereka tentu akan mengejar kita. Karena itu sebaiknya kita berjalan terus. Mungkin mereka sama sekali tidak berniat buruk. Hanya prasangka kita saja-lah yang justru telah membayangi kita.” “Tidak Rara. Anak-anak padukuhan Cerma memang sering mengganggu gadis-gadis, bahkan perempuan-perempuan yang telah berkeluarga pula. Semua orang Kleringan mengetahui hal itu,” desis Kanthi yang justru telah berhenti. Ki Jayaraga dan Glagah Putih yang berjalan di belakang telah berhenti pula. Namun seperti Rara Wulan, Glagah Putih berdesis, “Tidak apa-apa Kanthi. Kita akan menyapa mereka dengan baik. Mereka tentu dapat membedakan, apakah seseorang dapat diganggu atau tidak.” Mereka tidak dapat berbicara lebih lanjut. Bahkan Kanthi justru telah bergeser, berdiri di belakang Rara Wulan sambil berpegangan kedua lengannya, “Aku takut.” Ternyata seperti yang diduga oleh Rara Wulan, anak-anak muda yang duduk di sebelah oncor itu telah melihat keempat orang yang sedang dalam perjalanan menuju ke seberang bukit. Ketika keempat orang itu berhenti, maka seorang anak muda telah berkata lantang, “He, kenapa kalian berhenti? Apakah kalian mengira bahwa kami sekelompok penyamun yang menghadang perjalanan kalian?” Rara Wulan-lah yang berdesis, “Nah, kau dengar itu? Mereka agaknya justru telah tersinggung karena kita berhenti di sini.” Kanthi masih saja termangu-mangu. Namun suara yang lain berkata, “Apakah kami harus menjemput kalian dan kemudian mengantar kalian sampai ke bukit?” Rara Wulan pun berdesis pula, “Marilah, jangan takut.” Kanthi masih saja ragu-ragu. Namun Ki Jayaraga pun berkata pula, “Marilah. Kita berjalan terus.” Keempat orang itu kembali melangkah melanjutkan perjalanan. Kanthi berjalan di belakang Rara Wulan sambil berpegangan erat-erat. Namun Rara Wulan seperti berjalan saja tanpa ragu-ragu sama sekali. Namun sebenarnyalah Rara Wulan memang menjadi curiga. Ia justru condong untuk mempercayai kata-kata Kanthi. Ketika keempat orang itu semakin mendekat, maka orang-orang yang berkerumun di sekita oncor itu sama sekali tidak mau menyibak. Dalam pada itu, Glagah Putih yang kemudian berjalan di depan berdesis, “Maaf Ki Sanak. Kami akan lewat.” Orang-orang yang berkerumun di sekitar obor itu semuanya berpaling ke arah Glagah Putih. Mereka semua adalah anak-anak muda sebaya dengan Glagah Putih itu. Di sebelah mereka berserakan bumbung-bumbung kecil yang berbau tuak. Mulut-mulut anak-anak muda itu pun berbau tuak pula. Seorang di antara mereka melangkah mendekati Glagah Putih. Namun ia berhenti beberapa langkah daripadanya. Dari keseimbangannya yang gontai nampak bahwa anak muda itu sedikit mabuk oleh tuak. Sambil memandang Glagah Putih dengan tajamnya anak muda itu bertanya, “He, kau akan membawa perempuan-perempuan itu ke mana?” “Mereka adalah saudara-saudaraku,” jawab Glarah Putih, “aku sedang dalarn perjalanan pulang.” Anak muda itu tertawa. Katanya, “Jangan berbohong. Perempuan itu tentu kau ambil dari rumah Nyi Sunthi. He, akan kau bawa ke mana mereka itu?” “Ki Sanak,“ berkata Glagah Putih kemudian, “aku bukan orang kademangan ini. Aku tidak mengenal Nyi Sunthi. Kedua perempuan ini adalah adikku yang akan aku ajak pulang. Kami baru saja berkunjung ke rumah saudaraku pula.” Beberapa orang anak muda itu justru tertawa serentak. Seorang di antara mereka berkata, “Kebetulan sekali jika perempuan-perempuan itu tidak kau ambil dari rumah Nyi Sunthi. Tinggalkan mereka di sini. Kami memerlukan keduanya. Jika kau masih mempunyai adik perempuan lagi, ambillah dan bawa pula kemari. Dua atau tiga atau empat. Kami semua di sini berjumlah sebelas orang.” Kanthi berpegangan Rara Wulan semakin erat. Tubuhnya menggigil dan keringatnya mengalir membasahi seluruh tubuhnya. Ada penyesalan tumbuh di hatinya. Jika ia tidak pergi dari rumahnya, maka ia tidak akan bertemu dengan anak-anak muda yang sedang mabuk itu. Anak-anak muda yang akan dapat semakin menghancurkan hidup dan masa depannya. Tetapi nampaknya Rara Wulan sama sekali tidak menjadi ketakutan. Ia masih saja berdiri dengan tegar memandang anak-anak muda itu dengan wajah tengadah. Yang kemudian menjawab adalah Glagah Putih, “Ki Sanak. Jangan merendahkan martabat saudara-saudaraku. Itu akan dapat berakibat kurang baik.” “Persetan kau,” geram seorang anak muda yang sejak semula duduk berdiam diri. Seorang anak muda yang bertubuh tinggi besar. Wajahnya nampak keras seperti batu padas. Namun dari mulutnya juga menghambur bau tuak, “Pergi kau anak iblis. Bawa orang tua itu. Apakah ia ayahmu?” “Ya,” jawab Glagah Putih, “kami memang sekeluarga.” “Nah, sebelum kami kehilangan kesabaran, maka pergilah. Tinggal kedua perempuan itu di sini. Nanti lewat tengah malam, ambil keduanya. Aku akan membiarkan mereka pergi.” Kanthi menjadi semakin ketakutan. Tetapi Rara Wulan menjadi sangat marah. Apalagi ketika anak muda yang bertubuh raksasa itu mendekatinya sambil berkata, “Bawa oncor itu kemari.” Seorang anak muda telah mengambil oncor dan membawanya mendekati Rara Wulan dan Kanthi yang berpegangan erat-erat. “Aku ingin melihat wajah mereka dengan jelas,“ berkata anak muda yang bertubuh raksasa itu. Namun Kanthi berusaha menyembunyikan wajahnya di belakang kepala Rara Wulan. Ia merasa bahwa di antara anak-anak muda itu tentu sudah ada yang mengenalnya, dan bahkan mungkin mengetahui apa yang telah terjadi atasnya. Jika demikian, maka persoalannya mungkin akan menjadi semakin rumit baginya. Anak-anak muda itu tentu menganggapnya sebagai perempuan yang tidak berharga dan dapat diperlakukan apa saja. Namun anak muda yang membawa oncor itu terhenti ketika Glagah Putih melangkah dan berdiri selangkah di hadapannya. “Jangan ganggu adik-adikku,“ berkata Glagah Putih. “Gila kau,“ anak muda yang bertubuh raksasa itu mengumpat, “apakah kau ingin mengalami nasib paling buruk?” Tetapi Glagah Putih tidak bergeser. Katanya, “Setiap orang berhak membela diri dari serangan orang lain. Apakah serangan itu dalam ujud kewadagan kami atau serangan yang menyakiti hati kami.” “He, kau mau apa kelinci kecil? Kau tentu dapat menghitung jumlah kami. Sebelas orang, kami dapat membunuhmu di sini sekarang juga bersama ayahmu. Baru kemudian besok pagi kami bunuh kedua perempuan itu. Atau jika tidak, kami simpan perempuan-perempuan itu barang tiga atau lima hari. Baru kemudian kami lemparkan ke dalam jurang.” “Penghinaan itu sudah cukup,“ berkata Glagah Putih, “pergilah. Beri kami jalan.” Anak muda yang bertubuh raksalsa itu tidak menghiraukan kata-kata Glagah Putih. Iapun kemudian menyambar oncor di tangan kawannya dan melangkah mendekati Rara Wulan dan Kanthi yang ketakutan. Tetapi sekali lagi Glagah Putih menghalangi langkahnya. Dengan marah anak muda bertubuh raksasa itu mendorong Glagah Putih ke samping. Namun anak muda itu terkejut. Ia sendiri justru terdorong selangkah dan hampir saja jatuh terguling. Sementara itu Glagah Putih masih berdiri tegak di tempatnya. Anak muda bertubuh raksasa itu kemudian berdiri termangu-mangu sambil memandang Glagah Putih, yang tegak dengan kedua kakinya yang bagaikan menghunjam sampai ke pusat bumi. Anak muda bertubuh raksasa itu agaknya tidak mau melihat kenyataan yang baru saja terjadi. Ia menganggapnya sebagai satu kebetulan, atau bahkan sesuatu yang tidak pernah terjadi. Beberapa orang kawannya pun sempat mengerutkan dahi mereka. Tetapi di bawah pengaruh tuak yang mengeruhkan otak mereka, maka mereka pun tidak mau tahu kenyataan itu. Bahkan mereka yang masih belum dicengkam oleh pengaruh tuak pun menganggap bahwa yang terjadi itu adalah satu kebetulan, bahkan satu kecelakaan kecil. Karena itu, maka anak muda yang bertubuh raksasa itu kemudian menggeram sambil berkata, “Iblis kecil. Sekali lagi aku peringatkan, jangan membantah. Aku tidak mau mendengar seseorang menentang kehendakku. Karena itu, minggirlah. Ajak setan tua itu pergi. Nanti setelah lewat tengah malam, atau besok pagi-pagi, datanglah kemari. Kedua perempuan itu sudah menunggumu di sini.” Glagah Putih yang sudah kehabisan kesabaran itu tidak menjawab. Namun tiba-tiba saja tangannya telah melayang menampar mulut anak muda itu. Tamparan yang cukup keras, sehingga bibir anak muda itu terasa menjadi pedih. Darah yang merah telah mengalir dari bibirnya yang pecah. Anak muda itu menyeringai. Bukan saja menahan sakit, tetapi juga karena kemarahan yang membakar ubun-ubunnya. Karena itu, maka tanpa berbicara lagi tiba-tiba saja anak itu menyerang Glagah Putih. Dengan derasnya tangannya terayun mengarah ke kening Glagah Putih. Glagah Putih sama sekali tidak menghindar. Tetapi ia menangkis serangan itu dengan tangannya pula. Ketika benturan terjadi, maka tulang anak muda bertubuh raksasa itu terasa seakan-akan menjadi retak. Kemudian, belum lagi ia sempat mengatasi perasaan sakit, maka tangan Glagah Putih telah memukul perutnya. Meskipun Glagah Putih tidak menghentakkan seluruh tenaganya, namun pukulan itu membuat perutnya menjadi sangat sakit dan mual. Anak muda bertubuh raksasa itu terbungkuk sejenak. Namun kemudian lutut Glagah Putih menghantam dahinya, sehingga anak muda itu terdorong dengan derasnya beberapa langkah surut, dan terbanting jatuh terlentang di tanah. Peristiwa itu terjadi demikian cepatnya, sehingga tidak seorangpun di antara anak-anak muda itu yang sempat membantu. Baru kemudian anak-anak muda itu menyadari, apa yang telah terjadi di hadapan hidung mereka. Dengan susah payah anak muda bertubiuh raksasa itu berusaha bangkit. Ketika seorang kawannya berusaha membantunya, maka tangannya segera dikibaskannya sambil menggeram, “Lepaskan. Aku tidak apa-apa. Aku dapat bangkit sendiri.” Kawannya memang segera melepaskannya. Tetapi anak muda itu justru hampir terjatuh lagi. Namun kemudian ia mampu untuk berdiri di atas kedua kakinya meskipun masih goyah. Perasaan sakit menjalar di seluruh tubuhnya. Bibirnya yang pecah, tangannya yang terasa retak, perutnya yang mual dan nafasnya yang menjadi sesak. Tetapi juga dahinya yang membentur lutut lawannya itu. Dengan wajah yang merah padam anak muda itu melangkah maju. Kemudian dengan lantang ia berkata, “Tangkap mereka. Kita akan menunjukkan kepada kedua laki-laki itu, apa yang akan kita lakukan terhadap perempuan-perempuan mereka.” Perintah itu memang tidak perlu diulangi. Anak-anak muda itu benar-benar merasa terhina oleh perlakuan Glagah Putih terhadap kawannya yang bertubuh raksasa itu. Karena itu, beberapa orang anak muda segera berloncatan maju menghadapi Glagah Putih. Seorang di antara anak-anak muda itu telah memungut oncor yang terlempar, namun yang masih tetap menyala. Ia berniat mempergunakan oncor itu sebagai senjata. Karena itu, demikian anak muda bertubuh raksasa itu memerintahkan kawan-kawannya untuk menyerang, anak muda yang membawa oncor telah menjulurkan apinya ke arah tubuh Glagah Putih. Tetapi ia terkejut sekali ketika tanpa diketahui apa yang telah terjadi, oncor itu telah berpindah di tangan Glagah Putih. Bahkan Glagah Putih-lah yang kemudian menjulurkan oncor itu ke arah beberapa orang anak muda yang siap menyerangnya. Tetapi tidak semua anak muda itu menyerang Glagah Putih. Dua orang di antaranya berusaha untuk menangkap Ki Jayaraga yang berdiri saja mematung. Ketika keduanya mendekati Ki Jayaraga, maka Ki Jayaraga pun berkata, “Anak-anak muda. Bukankah aku tidak melibatkan diri sama sekali? Kenapa kalian juga akan menyerang aku?” “Aku ingin menangkapmu kakek tua. Kemudian mengikatmu, agar kau sempat menyaksikan apa yang akan terjadi kemudian.” Ki Jayaraga tidak menjawab. Namun demikian kedua anak muda itu mendekat dan berusaha menangkapnya, maka keduanya telah terlempar dan terbanting jatuh. Karena keduanya sama sekali tidak menduga bahwa hal itu akan terjadi, maka keduanya telah berteriak karena terkejut dan kesakitan. Tetapi dengan cepat keduanya pun bangkit berdiri, meskipun punggung mereka masih terasa nyeri. Dalam pada itu, Glagah Putih masih berkelahi melawan beberapa orang anak muda yang kemudian mengepungnya. Tetapi tidak seorangpun yang segera berani mendekatinya, karena Glagah Putih memegang oncor yang masih menyala. Tetapi karena itu, maka beberapa orang anak muda justru mempunyai perhitungan lain. Termasuk anak muda yang bertubuh raksasa itu. Anak muda yang bertubuh raksasa itu justru tidak lagi berusaha untuk menyerang Glagah Putih bersama beberapa orang kawannya. Selain tulang-tulangnya dan bahkan bibirnya dan dahinya masih terasa sakit, maka iapurr memperhitungkan, jika ia menguasai kedua orang perempuan itu, maka mereka akan dengan mudah dapat menghentikan perlawanan kedua orang laki-laki yang menyertai kedua orang perempuan itu, dan yang mengaku keluarganya. Kanthi yang ketakutan menjadi semakin ketakutan. Namun Rara Wulan itu pun berkata, “Kanthi, jangan berpegangan aku. Minggirlah, biar aku mencegah mereka menyentuhmu.” Kanthi sudah mengetahui bahwa Rara Wulan memiliki kemampuan untuk berkelahi. Tetapi saat itu lawannya tidak hanya seorang. “Minggirlah Kanthi. Jangan berpegangan lagi. Tenanglah,“ berkata Rara Wulan. Tetapi Kanthi tidak segera melepaskannya. Karena itu, Rara Wulan itu berkata lagi, “Jika kau tidak melepaskan aku, maka aku tidak akan sempat melawan mereka.” Meskipun dengan ketakutan, akhirnya Kanthi melepaskan Rara Wulan. Tiga orang anak muda telah mendekatinya, termasuk anak muda yang bertubuh raksasa itu. Namun ketiganya terkejut ketika Rara Wulan menyingsingkan kain panjangnya. Ketika ketiganya sedang termangu-mangu, maka Rara Wulanpun telah bersiap untuk melawan mereka. Tetapi seorang di antara anak-anak muda itu justru bertanya, “He, apa yang sedang kau lakukan?” “Nah, sekarang apa yang kau maui?” bertanya Rara Wulan. Ketika anak muda itu menjadi terheran-heran. Mereka tidak terbiasa melihat pakaian yang dikenakan di bawah kain panjang Rara Wulan. Sementara itu Rara Wulan berkata, “Ayo, apa yang kalian inginkan dari aku?” Laki-laki yang bertubuh raksasa itu-lah yang kemudian menjawab, “Aku inginkan kau. Menyerahlah.” Rara Wulan telah bersiap sepenuhnya ketika anak muda yang bertubuh raksasa itu mendekatinya. “Anak muda yang mengaku kakakmu itu akan mati. Orang tua itu pun akan mati pula. Tetapi jika kalian berdua menuruti keinginan kami, maka keduanya akan selamat.” Rara Wulan tidak menjawab. Tetapi yang terdengar adalah anak muda yang bertubuh raksasa itu berteriak kesakitan, “Iblis betina. Kau akan menyesal dengan tingkah lakumu.” Rara Wulan tidak menjawab. Dipandanginya anak muda yang mengusap bibirnya. Bibirnya yang pecah itu masih terasa pedih. Namun ternyata Rara Wulan tetap menamparnya sekali lagi, sehingga darah yang mulai berhenti mengalir itu telah mengembun lagi. Kepada kedua kawannya, maka anak muda yang bertubuh raksasa itu memberi isyarat untuk menangkap Rara Wulan. Karena itu, bertiga mereka maju bersama-sama. Tetapi Rara Wulan tidak membiarkan dirinya ditangkap. Dengan cepat iapun meloncat menyerang. Mula-mula kakinya menyambar seorang anak muda yang kekurus-kurusan, yang menjulurkan tangannya untuk menangkap Rara Wulan. Demikian kaki itu menyambar dada, maka anak muda itu pun telah terlempar dan jatuh terlentang. Demikian ia berusaha untuk bangkit, maka kawannya yang seorang lagi telah mengaduh kesakitan. Tangan Rara Wulan melayang menampar keningnya, sehingga matanya menjadi berkunang-kunang. Sebelum ia sempat berbuat sesuatu, maka tangan Rara Wulan yang lain telah menghantam lambungnya. Sementara itu, anak muda yang bertubuh raksasa itu-lah yang kemudian menyerangnya. Ia tidak lagi menahan dirinya. Kakinya terjulur ke arah perut Rara Wulan. Tetapi Rara Wulan cukup tangkas. Ditebaskannya kaki lawannya ke samping. Demikian anak muda bertubuh raksasa itu terputar oleh kakinya sendiri yang terdorong menyamping, maka Rara Wulan pun melenting dengan satu putaran. Kakinya melayang mendatar menghantam dadanya. Anak muda yang bertubuh raksasa itu berusaha untuk mempertahankan keseimbangannya agar ia tidak jatuh terlentang. Sementara itu, sebelas orang anak muda itu pun telah bergerak seluruhnya. Yang terjatuh telah berusaha bangkit. Yang kesakitan berusaha menyembunyikan perasaan sakitnya. “Kepung mereka!“ teriak anak muda yang bertubuh raksasa, yang agaknya mempunyai pengaruh terbesar di antara kawan-kawannya. Sebelas anak muda itu pun segera membuat lingkaran untuk mengepung mereka. Beberapa orang terpaksa berdiri di atas tanggul di seberang parit di pinggir jalan itu. Anak muda yang bertubuh raksasa itu pun kemudian menggeram, “Kami akan bersungguh-sungguh. Tidak seorangpun dari kalian yang akan dapat lolos. Kami akan memperlakukan kalian lebih buruk dari yang kami inginkan semula. Tetapi itu adalah akibat dari kesombongan kalian sendiri.“ Glagah Putih masih berdiri membawa oncor di tangannya. Rara Wulan bersiap di sisi yang lain, membelakangi Kanthi yang gemetar. Sedangkan Ki Jayaraga termangu-mangu memandangi anak-anak muda yang sedang marah itu. Ketika anak-anak itu mulai bergeser mendekat sehingga kepungan mereka menjadi menyempit, Ki Jayaraga masih sempat berkata, “Anak-Anak Muda. Sebaiknya kalian berpikir sekali lagi sebelum mengambil langkah berikutnya. Bertanyalah kepada diri kalian sendiri, apakah sebenarnya yang sedang kalian lakukan ini? Apakah sudah sesuai dengan nilai-nilai tatanan hidup di padukuhan kalian? Atau hal ini kalian lakukan tanpa menghiraukan paugeran yang berlaku? Atau dengan tindakan seperti ini kalian merasa menjadi laki-laki jantan yang berani menentang nilai-nilai yang berlaku di dalam pergaulan sesama?” Pertanyaan itu memang sempat singgah di benak anak-anak muda itu. Ada di antara mereka yang memang bertanya kepada diri sendiri, apakah sebenarnya yang sedang mereka lakukan itu. Bahkan jika mendapat kesempatan, mereka masing-masing akan dapat menilai, apakah yang mereka lakukan itu baik atau buruk. Tetapi dalam kelompok yang terhitung besar itu, mereka seakan-akan telah kehilangan pribadi mereka masing-masing. Mereka dikendalikan oleh sikap kebersamaan yang gelap. Yang kemudian menjawab adalah anak muda yang bertubuh raksasa, “Aku tidak peduli apakah yang kau katakan. Aku juga tidak peduli anggapan orang lain. Tetapi kami tidak mau dihinakan dengan cara apapun juga.” “Apakah kami telah menghinakan kalian?” bertanya Ki Jayaraga, “Bukankah kami tidak berbuat apa-apa?” “Iblis tua,” geram anak muda bertubuh raksasa itu, “kalian telah menghina kami karena kalian tidak mau tunduk kepada kami. Kalian berani menentang keinginan kami. Selanjutnya kalian telah mencoba untuk melawan kami dengan kekerasan.” “Tetapi apakah jawab kalian? Siapakah yang memaksa kami untuk berbuat demikian?” bertanya Ki Jayaraga. “Aku tidak peduli. Tetapi kalian harus mendapat hukuman yang paling berat yang pernah kami berikan kepada orang-orang yang bersalah terhadap kami.” “Apakah kalian berhak memberikan hukuman?” bertanya Glagah Putih. “Kenapa tidak? Jika kami kuasa melakukannya, maka adalah hak kami untuk melakukannya,” jawab anak muda yang bertubuh raksasa itu. “Itukah landasan jalan pikiranmu? Siapa yang kuat, ia dapat memperlakukan apa saja terhadap yang lemah?” bertanya Glagah Putih pula. “Ya,” jawab anak muda itu. “Bagus,” desis Glagah Putih, “aku akan melakukan menurut jalan pikiranmu.” “Apa yang akan kau lakukan?” bertanya anak muda bertubuh raksasa itu. “Menghukum kalian, karena di antara kelompokku dan kelompokmu, kelompokku-lah yang terkuat,” jawab Glagah Putih. Wajah anak muda itu menjadi merah. Karena itu, maka iapun segera meneriakkan perintah, “Tangkap semuanya! Aku tidak berkeberatan kalian terpaksa membuat mereka tidak berdaya sama sekali. Bukankah kita berhak menghukum mereka?” Sebelas orang itu bergerak bersama-sama. Namun demikian mereka melangkah, maka mereka terkejut. Glagah Putih justru telah memadamkan oncor itu dengan menyurukkannya ke tanah. Malam pun menjadi gelap. Sesaat mereka tidak melihat sesuatu. Kanthi menjerit. Namun Rara Wulan segera mendekapnya sambil berdesis, “Aku di sini. Tidak apa-apa.” Dalam waktu yang singkat, Glagah Putih, Ki Jayaraga dan kemudian Rara Wulan segera dapat menyesuaikan diri. Penglihatan mereka yang terlatih tidak banyak mengalami kesulitan meskipun malam menjadi gelap. Kepada Kanthi, Rara Wulan berkata, “Kau berdiri saja di situ Kanthi. Jangan bergeser kemana-mana. Kami bertiga melindungimu.” “Jangan takut. Mereka tidak berbahaya bagi kita,” Glagah Putih juga berdesis. Kanthi mengangguk. Tetapi tubuhnya masih gemetar. Sejenak kemudian, maka Glagah Putih mulai berloncatan. Demikian pula Rara Wulan, dan bahkan juga Ki Jayaraga. Perkelahian pun segera terjadi. Anak-anak muda itu berkelahi sambil berteriak-teriak. Tetapi gelap malam memang terasa mengganggu bagi mereka, karena ketajaman penglihatan mereka tidak dapat menyamai ketajaman penglihatan Glagah Putih, Rara Wulan dan apalagi Ki Jayaraga. Tetapi perkelahian itu tidak berlangsung terlalu lama. Setiap kali terdengar seorang berteriak kesakitan. Kemudian yang lain memekik tinggi. Tetapi kemudian mengumpat-umpat kasar. Ternyata keributan itu telah didengar oleh orang-orang padukuhan itu. Orang yang mendengar teriakan-teriakan dan pekik tinggi mula-mula berusaha untuk tidak menghiraukan. Mungkin anak-anak muda yang sering berkumpul di sudut padukuhan itu sedang bergurau. Tetapi kemudian karena teriakan-teriakan itu semakin keras, mereka mengira bahwa anak-anak itu telah mencegat orang dan memperlakukannya tidak sewajarnya, sebagaimana sering mereka lakukan tanpa dapat dihalangi. Namun kemudian orang itu tidak tahan lagi. Ia bangkit, dan dengan hati-hati pergi keluar meskipun istrinya melarangnya. “Kau tidak akan dapat menghalangi kemauan anak-anak itu,“ berkata istrinya. Tetapi laki-laki itu tetap saja keluar sambil berkata, “Aku akan mengajak beberapa orang untuk melihat apa yang terjadi.” Sebenarnyalah bahwa beberapa orang yang tidak dapat menahan hati telah pergi ke sudut desa. Peristiwa yang sering terjadi di padukuhan mereka telah membuat nama padukuhan mereka semakin lama menjadi semakin buruk. Dalam keadaan yang semakin memuncak, orang-orang tua mereka perlu untuk mencampuri persoalan anak-anak muda itu, karena mereka yakin bahwa yang sering mengganggu orang-orang lewat tidak setiap anak muda di padukuhan itu. Dalam pada itu, beberapa orang dan bahkan juga beberapa orang anak muda telah bergerak ke sudut padukuhan. Dua orang di antara mereka telah memanggil Ki Bekel dan Ki Jagabaya. Mereka terpanggil untuk melindungi nama padukuhan mereka, setelah untuk waktu yang cukup lama dicaci orang. Beberapa saat kemudian, orang-orang itu telah sampai ke sudut padukuhan. Mereka tertegun melihat apa yang terjadi. Dua orang laki-laki dan dua orang perempuan berdiri tegak, sementara beberapa orang anak muda duduk di tanah di hadapan mereka sambil menunduk. Melihat beberapa orang datang, maka Glagah Putih, Ki Jayaraga dan Rara Wulan telah bersiap pula. Sementara Kanthi telah berpegangan Rara Wulan lagi dengan eratnya. Beberapa saat orang-orang yang datang itu berdiri termangu-mangu. Seorang yang tertua di antara mereka pun melangkah maju dengan ragu-ragu. Kemudian orang itu pun bertanya, “Apa yang telah terjadi di sini?” Glagah Putih yang curiga bahwa orang-orang itu datang untuk membantu anak-anak muda yang telah mereka tundukkan itu menjawab, “Ki Sanak, bertanyalah kepada mereka. Aku harap mereka tidak berbohong.” Orang tertua di antara mereka itu termangu-mangu. Namun kemudian orang-orang itu menyibak ketika Ki Bekel dan Ki Jagabaya datang. “Ki Bekel,” desis seseorang. Dari geremang orang-orang padukuhan itu, Glagah Putih mengetahui bahwa yang datang itu adalah Ki Bekel dan Ki Jagabaya. Ketika Ki Bekel bertanya, maka Glagah Putih telah mengulangi jawabannya, ”Bertanyalah kepada mereka.” Ki Bekel mengerutkan dahinya. Namun kemudian ia memang bertanya, “Apa yang telah terjadi?” Anak-anak muda itu tidak segera menjawab. Sehingga Ki Bekel telah mengulanginya lagi, “Apa yang telah terjadi, he?” Anak-anak muda itu masih berdiam diri. Sehingga Ki Bekel mulai menjadi jengkel, “He, apa yang terjadi?” Karena anak-anak muda itu masih berdiam diri sambil duduk menunduk, maka Ki Bekel telah melangkah mendekati anak muda yang bertubuh raksasa itu sambil berkata, “Nah, kau lagi. Apa yang terjadi?” Ki Bekel telah mencengkam tengkuk orang itu dan mengguncangnya, “Apa yang terjadi? He, apakah kau mulai menjadi bisu?“ Anak muda yang bertubuh raksasa itu tidak dapat ingkar lagi. Meskipun demikian ia mencoba untuk mengurangi beban kesalahannya, “Ki Bekel. Kami hanya menanyakan keempat orang yang berjalan malam hari lewat padukuhan ini, dari mana dan ke mana. Tetapi terjadi salah paham.” Ki Bekel tiba-tiba mengangkat wajah anak muda ini sambil bertanya, “Kau mabuk lagi?” Anak itu tidak menjawab. Tetapi ketika Ki Bekel melepaskan tangannya dan mendorong dahi anak itu sehingga wajah anak itu menengadah, ia berkata, “Kau mabuk lagi. Dan kau tentu berbohong. Di antara keempat orang lewat itu terdapat dua orang perempuan. Nah, apa yang terjadi?” Anak muda itu menunduk saja. Sehingga Ki Bekel pun kemudian menghadap ke arah Glagah Putih sambil bertanya, “Apa yang terjadi? Katakan, agar segera jelas bagiku.” Sebelum Glagah Putih menjawab, Ki Jayaraga-lah yang mendahuluinya, karena ia masih saja cemas bahwa jawaban Glagah Putih tidak memuaskan Ki Bekel, sehingga akan benar-benar dapat terjadi salah paham. “Ki Bekel,“ berkata Ki Jayaraga, “sebenarnyalah bahwa kami berempat akan pulang ke Tanah Perdikan Menoreh lewat jalan ini. Tetapi anak-anak muda itu mengganggu kami. Mereka agaknya sebagian sedang mabuk tuak. Mereka merendahkan martabat perempuan, bukan saja yang berjalan bersama kami. Karena itu, kami terpaksa membela diri dan memaksa mereka untuk menghentikan perlawanan mereka.” Ki Bekel menarik nafas dalam-dalam. Berempat mereka telah mengalahkan sebelas orang anak muda yang termasuk disegani di padukuhan itu. Tetapi karena Ki Jayaraga menyebut dirinya akan menempuh perjalanan ke Tanah Perdikan Menoreh, maka Ki Bekel itu pun bertanya, “Apakah Ki Sanak termasuk keluarga dari Tanah Perdikan Menoreh?” “Ya Ki Bekel. Anak muda ini adalah Glagah Putih, saudara sepupu Agung Sedayu.” “Saudara sepupu Ki Lurah Agung Sedayu?“ ulang Ki Bekel. “Ki Bekel mengenal Agung Sedayu?” bertanya Ki Jayaraga. Ki Bekel itu memandang Ki Jayaraga dengan bimbang. Namun kemudian iapun menjawab, “Secara pribadi aku memang belum mengenal, Ki Sanak. Tetapi aku tahu bahwa Ki Lurah Agung Sedayu, pemimpin prajurit dari Pasukan Khusus Mataram yang berada di Tanah Perdikan Menoreh, adalah seorang yang memiliki kelebihan dari orang lain.” “Ya. Ia memang pemimpin prajurit dari Pasukan Khusus Mataram yang berada di Tanah Perdikan Menoreh,” jawab Ki Jayaraga. “Jika demikian, kami harus mohon maaf jika terjadi salah paham di padukuhan ini,“ berkata Ki Bekel. “Sama sekali bukan salah paham Ki Bekel,“ berkata Glagah Putih. “Maksud Angger?” bertanya Ki Bekel. “Kami memang tidak salah paham. Kami tahu pasti bahwa anak-anak muda ini ingin mengganggu kedua orang adik kami. Mereka minta kami meninggalkan adik perempuan kami di sini dan mengambil besok pagi. Jika kami tidak mau memenuhi perintahnya, mereka akan memperlakukan kami dengan cara yang sangat buruk. Ki Jayaraga diancam akan diikat untuk menyesali keberaniannya menentang perintah anak-anak muda ini. Nah, jika karena itu kami mempertahankan kehormatan dan harga diri kami, apakah itu salah paham?” “O,“ wajah Ki Bekel menjadi merah. Tiba-tiba saja ia menarik rambut anak muda yang bertubuh raksasa itu sehingga wajahnya menengadah, “Katakan, apakah itu sekedar salah paham? He?” Ketika Ki Bekel menghentakkan rambat anak muda itu, maka anak muda itu menyeringai kesakitan. Sementara Ki Jagabaya berdiri di sebelahnya sambil menggeram, ”Jawab. Apakah itu salah paham?” “Tidak, Bukan salah paham,” jawab anak muda itu. “Berapa kali aku memperingatkanmu, tetapi kau masih saja melakukannya. Setiap kali aku bertindak lebih keras, maka kau, kawan-kawanmu dan bahkan orang yang tidak tahu menahu selalu menyalahkan aku. Mereka selalu menganggap bahwa aku telah berbuat sewenang-wenang. Tetapi apa yang terjadi sekarang? Lihat, Angger sepupu Ki Lurah Agung Sedayu itu juga masih muda. Semuda kalian semuanya. Tetapi aku tidak yakin bahwa anak muda itu berbuat sebagaimana yang kau lakukan itu!” bentak Ki Jagabaya. Anak muda yang bertubuh raksasa yang mulutnya berbau tuak itu masih harus menengadahkan wajahnya karena Ki Bekel belum melepaskan rambutnya. Sementara itu, beberapa orang anak muda padukuhan itu pun mengerumuni anak-anak muda yang masih duduk bersila di atas tanah atas perintah Glagah Putih itu. Sementara itu Ki Jagabaya masih juga berkata lantang, “Lihat. Anak-anak muda yang berkerumun itu adalah kawan-kawanmu. Mereka juga sebaya dengan kalian. Tetapi mereka tidak berbuat sebagaimana kalian. Dengar baik-baik. Padukuhan ini pada hari-hari terakhir sudah dijauhi orang. Di padukuhan ini terkenal ada sekelompok anak-anak muda bengal yang sering bermabuk-mabukan dan mengganggu orang. Nah, malam ini kalian telah terbentur pada satu kenyataan lain dari yang pernah terjadi. Untung saja bahwa Angger sepupu Ki Lurah Agung Sedayu ini tidak meremukkan kalian semuanya.” Tiba-tiba saja Glagah Putih menyahut, “Aku memang sudah berpikir untuk melakukannya Ki Bekel. Aku akan membuat mereka menjadi cacat agar mereka tidak lagi dapat mengganggu orang.” Ki Jagabaya mengerutkan dahinya. Bagaimanapun juga ancaman itu membuatnya berdebar-debar. Tetapi Glagah Putih berkata selanjutnya, “Tetapi tidak kali ini. Jika sekali lagi aku melihat peristiwa seperti ini, maka aku tidak akan ragu-ragu lagi. Jika Ki Bekel dan Ki Jagabaya tidak bertindak lebih tegas terhadap mereka, biarlah kami yang melakukannya. Tetapi sudah tentu tidak semestinya kami berbuat demikian, karena kami justru orang dari luar kademangan ini.” “Baik Ngger,“ sahut Ki Bekel, “kami akan berbuat lebih baik. Mereka harus menjadi jera.” “Mabuk dan kejahatan jaraknya hanya sejengkal Ki Bekel,“ berkata Glagah Putih, “sementara anak-anak muda yang lain bekerja keras untuk menyiapkan setidak-tidaknya masa depannya sendiri, anak-anak muda ini hanya sekedar bermabuk-mabukan dan mengganggu orang lain. Kenapa hal seperti ini terjadi atas anak-anak muda padukuhan Cerma ini?” “Kami akan mempelajarinya Ngger,” jawab Ki Bekel. “Terserahlah kepada Ki Bekel. Tetapi kenakalan anak-anak muda harus mendapat perhatian terbesar di antara tugas-tugas Ki Bekel yang lain. Tingkah lakunya tidak hanya merusak citra anak-anak muda itu sendiri, sementara yang melakukan itu hanya beberapa orang saja. Tetapi apa yang akan terjadi di masa mendatang, jika angkatan yang akan mewarisi jaman itu seperti mereka?“ “Ya, ya Ngger. Kami mengerti,” jawab Ki Bekel. Namun Ki Jayaraga pun kemudian berkata sareh, “Tetapi bagaimanapun juga mereka adalah anak-anak kita Ki Bekel. Kita tidak dapat mengibaskan tanggung jawab. Tetapi mereka tidak boleh menjadi anak yang manja, yang tidak mau tahu tatanan pergaulan dan tidak mau mempedulikan lingkungannya.” Ki Bekel menarik nafas dalam-dalam. Sambil mengangguk-angguk ia berdesis, “Alangkah sulitnya mencari keseimbangan. Tetapi itu harus dapat dipecahkan.” Ki Jayaraga kemudian menjawab, “Beban itu tidak dapat kita singkirkan dari pundak kita. Bahkan kadang-kadang orang tua akan dapat menjadi keranjang sampah kegagalan anak-anak muda menatap masa depannya. Seakan-akan kegagalan itu sepenuhnya disebabkan oleh kesalahan orang tua. Tetapi memang terjadi bahwa sepasang orang tua tidak sempat memikirkan anak-anaknya karena berbagai macam sebab. Tetapi kegagalan itu dapat juga terjadi karena kesalahan anak-anak muda itu sendiri. Di rumah ia seorang anak muda bersikap baik. Tetapi ketika ia berada di sudut padukuhan berkumpul bersama-sama kawan-kawannya, maka kepribadiannya akan larut, tenggelam dalam sikap kepribadian bersama. Nah, jika yang terjadi seperti ini, maka kita semuanya hanya dapat menyesalinya.” Ki Bekel dan Ki Jagabaya mengangguk-angguk. Dengan nada dalam Ki Bekel bertanya, “Kami, orang-orang tua di padukuhan ini, akan memikirkannya dengan sungguh-sungguh Ki Sanak.” “Bukan hanya orang-orang tua. Ajak anak-anak muda berbicara. Anak-anak muda yang berjalan di sepanjang jalan yang lurus, namun juga anak-anak muda yang sering melakukan perbuatan seperti ini. Perbincangan di antara kedua sisi sifat anak muda itu mudah-mudahan akan berarti, di bawah pengawasan orang-orang tua.” “Baik, baik Ki Sanak,” jawab Ki Bekel, “kami akan berusaha. Sementara jika kami perlukan, kami akan dapat berhubungan dengan orang-orang yang memiliki pengetahuan lebih banyak dari kami. Baik dari Kademangan Kleringan maupun dari Tanah Perdikan Menoreh. Karena kami tahu, bahwa di Tanah Perdikan Menoreh terdapat orang-orang yang bukan saja berilmu tinggi, tetapi juga yang berwawasan luas dan berpengetahuan dalam.“ “Ki Gede tentu akan dengan senang hati menerimanya,” jawab Ki Jayaraga. Demikianlah, sejenak kemudian Ki Jayaraga pun telah minta diri. Demikian pula Glagah Putih dan Rara Wulan, yang sudah membenahi pakaiannya. Sementara Kanthi masih saja gemetar dan berdebar-debar. Beberapa saat kemudian, maka keempat orang itu telah meneruskan perjalanan. Dalam pembicaraan mereka sepanjang jalan, Rara Wulan dan Glagah Putih masih saja dibayangi oleh kemarahan mereka atas sikap anak-anak muda itu. Namun Ki Jayaraga-lah yang kemudian berkata, “Banyak sebab kenapa mereka menjadi anak muda yang cacat. Bukan cacat tubuhnya, tetapi cacat jiwanya. Namun bukan berarti bahwa mereka tidak berguna sama sekali. Sifat dan watak mereka dapat berkembang, dan banyak di antara mereka yang menyadari kesalahan mereka di masa muda sehingga kemudian menjadi orang yang berarti bagi lingkungannya. Setidak-tidaknya bagi dirinya sendiri.” Glagah Putih mengerutkan dahinya. Tetapi ia mencoba untuk mengerti jalan pikiran Ki Jayaraga itu. Seterusnya mereka lebih banyak berdiam diri. Mereka harus memperhatikan jalan yang akan mereka injak. Lebih-lebih mereka berjalan di lereng pegunungan. Mereka memanjat naik sampai ke punggung, kemudian turun kembali di seberang. Kanthi memang mengalami kesulitan di perjalanan. Tetapi ia sama sekali tidak mengeluh. Ia sendiri-lah yang memutuskan untuk pergi mengikuti Rara Wulan. karena itu ia tidak dapat menyalahkan orang lain. Rara Wulan yang membimbing Kanthi cukup mengerti keadaannya. Dengan sabar ia berusaha menunjukkan bidang yang paling baik untuk meletakkan kakinya. Jika Kanthi nampak letih, maka Rara Wulan pun mengajaknya beristirahat. Sementara Ki Jayaraga dan Glagah Putih harus dengan sabar menunggunya. Sementara itu di Tanah Perdikan Menoreh, Sekar Mirah menjadi gelisah. Ketika senja turun, Sekar Mirah sudah beberapa kali berbicara dengan Agung Sedayu. Mereka memperhitungkan bahwa sebelum senja, Ki Jayaraga, Glagah Putih dan Rara Wulan tentu sudah kembali. “Apakah kita akan menyusulnya?” bertanya Agung Sedayu. “Apakah mungkin mereka akan bermalam?” Sekar Mirah justru bertanya. Agung Sedayu tidak segera menjawab. Sementara itu Sekar Mirah berkata pula, “Seharusnya mereka tidak bermalam. Untunglah bahwa mereka pergi bersama Ki Jayaraga.” “Ya. Sebaiknya mereka memang tidak bermalam. Entahlan, mungkin ada suatu yang memaksa mereka bermalam. Jika tidak demikian, maka Ki Jayaraga tentu tidak akan sependapat,“ berkata Agung Sedayu. Sekar Mirah mengangguk-angguk. Tetapi di wajahnya nampak membayang kegelisahan. “Kita tunggu sampai esok pagi. Jika sampai esok pagi mereka tidak pulang, maka kita akan pergi ke Kleringan,” berkata Sekar Mirah. “Baiklah,” jawab Agung Sedayu, “besok pagi-pagi aku akan pergi ke barak sebentar. Aku akan segera kembali. Dan jika mereka belum pulang, maka kita akan pergi. Sebaiknya kita pergi berkuda saja.” “Tetapi bukankah Kakang tidak terlalu lama berada di barak?” bertanya Sekar Mirah. “Tidak. Aku hanya akan memberikan beberapa pesan saja. Aku akan segera kembali,” jawab Agung Sedayu. Sekar Mirah mengangguk-angguk. Namun ia masih saja merasa gelisah. Karena itu, malam itu Sekar Mirah tidak segera dapat tidur. Setiap kali ia masih saja berbicara tentang Rara Wulan yang belum pulang. “Ki Jayaraga ada di antara mereka,“ berkata Agung Sedayu, “kita dapat mempercayainya. Bukan saja karena kemampuannya yang sangat tinggi, tetapi penalarannya kebanyakan sejalan dengan penalaran kita.” Sekar Mirah memang selalu mengangguk. Ia dapat mengerti. Tetapi perasaannya-lah yang agak sulit dikendalikan oleh penalarannya, meskipun ia berusaha. Namun ketika malam menjadi larut, Sekar Mirah akhirnya tertidur juga. Yang ikut memikirkan kepergian Rara Wulan, Glagah Putih dan Ki Jayaraga adalah Wacana. Yang dipikirkan justru keadaan Kanthi. Jika Rara Wulan tidak segera kembali, apakah telah terjadi sesuatu di Kademangan Kleringan? “Apakah sesuatu terjadi lagi atas Kanthi ?“ pertanyaan itu selalu mengganggu Wacana. Ia tidak mencemaskan Ki Jayaraga, Glagah Putih dan Rara Wulan, karena mereka berilmu tinggi. Tetapi justru keadaan Kanthi-lah yang dipikirkannya. Meskipun Wacana sama sekali belum mengenal Kanthi, bahkan melihat pun belum pernah, namun Wacana itu selalu membayangkan. Seorang gadis cantik yang menderita dan hampir kehilangan masa depannya. Kadang-kadang Wacana sempat membandingkan dengan dirinya sendiri. Wacana pernah merasakan betapa dahsyatnya goncangan perasaan yang hampir saja membuatnya gila. Wacana dapat mengerti bahwa dalam keadaan seperti itu, seseorang akan dapat terjerumus ke dalam satu keadaan di luar kendali nalar budinya. Ketika fajar membayang di langit, maka Agung Sedayu sudah sibuk mengisi jambangan di pakiwan. Karena Glagah Putih tidak ada di rumah, maka Agung Sedayu-lah yang harus melakukannya. Sementara itu Wacana menyapu halaman depan dan samping. Adapun halaman dan kebun belakang, anak yang tinggal dirumah itu-lah yang membersihkannya. Sedangkan di dapur Sekar Mirahpun sibuk sendiri pula. Demikian matahari terbit, maka Agung Sedayu-pun telah minum minuman hangat dan makan pagi. Baru sejenak kemudian iapun telah berangkat ke barak Pasukan Khusus. Sementara itu Sekar Mirah benar-benar menjadi gelisah. Karena itu ketika Agung Sedayu berangkat, sekali lagi ia bertanya, “Bukankah Kakang tidak terlalu lama?” Agung Sedayu tersenyum. Katanya, “Kau telah dijangkiti penyakit Rara Wulan.” Sekar Mirah mengerutkan keningnya. Namun kemudian iapun tersenyum sambil berkata, “Aku memang gelisah Kakang.” “Baiklah. Aku tentu akan cepat kembali. Kita akan menyusul Rara Wulan ke Kademangan Kleringan.” Demikianlah, sejenak kemudian Agung Sedayu pun telah melarikan kudanya menuju ke barak. Sebenarnyalah bahwa Agung Sedayu sendiri juga menjadi gelisah, karena Rara Wulan masih belum kembali. Sepeninggal Agung Sedayu, Wacana telah menyusul Sekar Mirah yang sedang sibuk di dapur. “Kenapa Rara Wulan bermalam?” bertanya Wacana. “Entahlah. Aku juga gelisah memikirkannya,” jawab Sekar Mirah. “Tetapi bukankah tidak terjadi sesuatu dengan mereka? Juga dengan Kanthi?” bertanya Wacana yang nampak menjadi sangat cemas pula. “Mudah-mudahan tidak terjadi sesuatu,“ sahut Sekar Mirah. Namun Wacana masih saja gelisah. Dari dapur, Wacana itu telah duduk di serambi gandok. Dipandanginya regol halaman seakan tanpa berkedip. Tetapi akhirnya Wacana menjadi letih. Karena itu, ia justru pergi ke kebun belakang untuk mengisi waktunya dengan melakukan salah satu kesenangannya. Wacana telah mencoba mencangkok beberapa jenis tanaman buah-buahan. Beberapa batang telah berhasil, dan dicobanya ditanam di kebun belakang rumah Agung Sedayu yang cukup longgar. Dengan teliti Wacana memelihara bibit-bibit hasil cangkokannya yang sudah ditanam. Disiraminya, disiangi, dan setiap kali didangirnya dan diberinya pupuk kandang. Dalam pada itu, Sekar Mirah yang sedang ada di dapur terkejut ketika ia mendengar seseorang memanggilnya. Suara seorang perempuan. Dan Sekar Mirah dengan cepat mengenal. Suara itu adalah suara Rara Wulan. Karena itu, maka Sekar Mirah pun segera berlari ke longkangan dan langsung masuk ke rumah bagian belakang. Di pintu ia justru hampir saja bertabrakan dengan Rara Wulan. Sekar Mirah yang gelisah semalam-malaman itu memeluk Rara Wulan sambil bertanya, “Bukankah kau tidak apa-apa?” “Tidak Mbokayu. Aku tidak apa-apa.” “Dimana Glagah Putih dan Ki Jayaraga?” bertanya Sekar Mirah setelah melepaskan Rara Wulan. “Mereka ada di pendapa, Mbokayu. Kita mempunyai seorang tamu.” Sekar Mirah termangu-mangu sejenak. Dengan kerut di kening Sekar Mirah bertanya, “Siapakah tamu kita?” “Marilah.“ Rara Wulan menarik tangan Sekar Mirah ke pendapa sambil berkata, “Mbokayu sudah mengenalnya.” Sekar Mirah tidak menolak, lapun kemudian pergi ke pendapa. Demikian mereka keluar dari pintu pringgitan, maka Sekar Mirah pun terkejut. Ia melihat Kanthi yang nampak sangat letih, duduk di pendapa bersama Ki Jayaraga. “Kanthi,” desis Sekar Mirah. Kanthi yang menunduk itu pun terkejut. Demikian ia mengangkat wajahnya, maka yang dilihatnya adalah Sekar Mirah dan Rara Wulan berdiri di depan pintu pringgitan. Kanthi itu pun cepat bangkit, dan dengan sisa tenaganya yang letih berlari ke arah Sekar Mirah. Namun iapun kemudian segera berjongkok di hadapan Sekar Mirah sambil memegang kakinya, “Ampun. Aku memberanikan diri untuk mohon perlindungan di sini.” Sekar Mirah menjadi berdebar-debar. Diangkatnya Kanthi untuk berdiri sambil berkata lembut, “Bangkitlah.” Kanthi pun bangkit berdiri. Tetapi ia mulai menangis. “Jangan menangis Kanthi. Kau berada di rumah kami sekarang. Tidak ada lagi yang perlu dicemaskan.” Kanthi tidak menjawab. Tetapi justru karena ia menahan tangisnya, maka iapun menjadi terisak. Sekar Mirah membimbingnya dan membawanya duduk kembali bersama Ki Jayaraga. “Dimana Glagah Putih?” bertanya Sekar Mirah. “Tadi ia di sini,” jawab Rara Wulan. Namun Ki Jayaraga menyahut, “Glagah Putih pergi ke belakang.” Sekar Mirah mengangguk-angguk. Namun kemudian iapun bertanya kepada Rara Wulan, “Apa yang telah terjadi?” Rara Wulan menarik nafas dalam-dalam. Sementara Kanthi menundukkan kepalanya sambil mengusap air matanya. “Angger Kanthi ingin mendapatkan suasana baru. Karena itu, ia ingin untuk sementara tinggal bersama Rara Wulan,” jawab Ki Jayaraga. “O,” Sekar Mirah mengangguk-angguk. Sambil mengusap rambut Kanthi yang kusut ia berkata, “Tentu kami tidak berkeberatan. Tinggallah di sini untuk sementara.” “Terima kasih,“ desis Kanthi, “bahwa masih ada tempat bagiku. Semula aku mengira bahwa dunia ini sudah tidak dapat menerima aku sama sekali.” “Tentu tidak, Kanthi. Masih banyak tempat bagimu. Baiklah. Kau dapat menenangkan hatimu di sini. Kau memang memerlukan satu suasana yang baru,“ berkata Sekar Mirah. Kanthi tidak menjawab. Tetapi isaknya justru terdengar semakin keras. Rara Wulan yang kemudian duduk di belakangnya, memegang kedua pundaknya sambil berkata, “Sudahlah. Jangan menangis. Bukankah kau perlu beristirahat? Semalaman kau berjalan. Satu hal yang belum pernah kau lakukan sebelumnya.” Kanthi mengangguk-angguk. “Baiklah. Duduklah sebentar. Aku baru meletakkan periuk di atas perapian untuk menanak nasi.” “Sudahlah. Biar Mbokayu duduk di sini. Aku akan ke dapur,” berkata Rara Wulan. Tetapi sambil tersenyum Sekar Mirah berkata, “Duduklah. Temani Kanthi di sini. Kau tentu juga letih. Nanti, aku ingin kalian berdua bercerita tentang perjalanan kalian.” Rara Wulan menarik nafas dalam-dalam, sementara Sekar Mirah bangkit berdiri. Tetapi Ki Jayaraga pun bangkit pula sambil berkata, ”Aku akan ke pakiwan dahulu.” Demikianlah, maka yang kemudian duduk di pendapa tinggal Rara Wulan menemani Kanthi. Sementara Sekar Mirah pergi ke dapur. Dijerangnya air untuk membuat minuman. Sementara Glagah Putih ternyata sudah berada di dapur. “He, kau sudah ada di sini?” bertanya Sekar Mirah. “Aku haus sekali Mbokayu,” jawab Glagah Putih. “Tamu kita tentu juga haus,” desis Sekar Mirah. “Ya. Tetapi aku cukup minum air dari kendi itu,“ jawab Glagah Putih. Sekar Mirah tertawa. Bahkan ia bertanya, “Apakah kita juga akan menyuguhi tamu kita itu dengan air kendi?” Glagah Putih tersenyum pula. Tetapi iapun kemudian duduk di sisi Sekar Mirah yang menyalakan api di perapian yang satu lagi untuk menjerang air, di sebelah perapian yang dipergunakannya untuk menanak nasi. “Mbokayu,” desis Glagah Putih, “apakah Kakang Agung Sedayu menunggu kedatangan kami?” “Seisi rumah ini menjadi gelisah. Kakangmu Agung Sedayu, aku, dan bahkan juga Wacana,” jawab Sekar Mirah. “Dimana Wacana sekarang?” “Ia berada di kebun sekarang,” jawab Sekar Mirah. “Sesuatu telah terjadi di Kleringan,” desis Glagah Putih, yang kemudian dengan singkat menceritakan apa yang telah terjadi atas Kanthi, yang kemudian berniat untuk ikut bersama Rara Wulan yang dianggapnya akan dapat melindunginya. Sekar Mirah menarik nafas dalam-dalam. Dengan nada rendah ia berdesis, “Jadi Kanthi itu sudah berniat untuk membunuh diri?” bersambung
BeliApi di bukit menoreh II di T.B sule. Promo khusus pengguna baru di aplikasi Tokopedia! Download Tokopedia App. Tentang Tokopedia Mitra Tokopedia Mulai Berjualan Promo Tokopedia Care. Kategori. Masuk Daftar. iphone 6 samsung a52 tangga lipat gantungan kunci mesin
♦ 15 Juli 2010 “Jadi maksudmu aku harus memberontak kepada Mataram?” “Apa boleh buat.” “Seberapa kekuatan Sangkal Putung dan Tanah Perdikan Menoreh, seandainya Ki Gede dan Kakang Agung Sedayu bersedia? Namun aku tidak akan pernah dapat membayangkan bahwa aku harus melawan Mataram. Apalagi Kakang Agung Sedayu.” “Kakang Swandaru dapat memanfaatkan adik perempuan Kakang itu. Sekar Mirah harus dapat mempengaruhi suaminya. Sementara itu, Kakang dapat berhubungan dengan orang-orang yang memang sedang kecewa terhadap Mataram. Mereka dapat Kakang manfaatkan. Selanjutnya mereka akan dapat digulung dan dihancurkan di kemudian hari.” “Wiyati, dari manakah kau mendapat gagasan itu?” Wiyati tertawa. Katanya, “Kakang tidak usah memikirkan dari mana datangnya gagasan itu.” “Ki Ambara?” Wiyati tersenyum. Katanya, “Kakek Ambara adalah salah seorang sahabat Ki Gede Pemanahan dan Ki Panjawi yang tersia-sia. Ki Juru Martani-lah yang telah mengkhianatinya. Kakek mempunyai hubungan dengan orang-orang yang kecewa itu, meskipun sebenarnya sikap dan pendirian Kakek berbeda dengan mereka. Tetapi seperti yang aku katakan, mereka dapat diperalat dan dimanfaatkan untuk kepentingan Kakang.” “Seberapa banyak orang yang kecewa itu? Sementara yang akan dihadapi adalah Mataram.” “Mataram yang sedang terluka parah.” Swandaru termangu-mangu sejenak. Sedangkan Wiyati itu pun berkata selanjutnya, “Kakang, sebenarnya Mataram bukan merupakan kekuatan yang tidak terlawan, tanpa kekuatan pendukung dari kadipaten-kadipaten yang takluk kepada Panembahan Senapati. Jika dengan tiba-tiba saja Mataram menghadapi kekuatan yang cukup besar, maka Mataram tidak akan banyak memberikan perlawanan. Sementara itu, jika Mataram sudah terlanjur kehilangan kesempatan, maka kadipaten-kadipaten itu akan segera mengingkari kuasanya.” “Ternyata banyak juga yang kau ketahui, Wiyati.” “Kakang,” berkata Wiyati, “karena itu aku mohon Kakang jangan terlalu percaya kepada Ki Lurah Agung Sedayu. Mungkin Ki Lurah memang tidak mempunyai pamrih. Tidak pula iri hati. Tetapi ia terlalu menjilat para pemimpin Mataram. Karena itu, Kakang harus pandai mengemudikan Sekar Mirah dan Pandan Wangi, agar Tanah Perdikan Menoreh, jika diperlukan, akan dapat membantu Kakang Swandaru. Bukan malah sebaliknya.” Swandaru menarik nafas dalam-dalam. Ia benar-benar merasa terombang-ambing oleh sikap yang berlawanan. Swandaru itu pun kemudian duduk merenungi dirinya sendiri. Ia merasa dirinya menjadi orang yang paling bodoh di dunia. Ia tidak tahu apa yang seharusnya dilakukannya. “Sudahlah, Kakang. Jangan kau pikirkan. Biarlah surat permohonan itu tetap berada di Mataram. Dalam beberapa hari lagi, kau akan dapat pergi menemui Ki Tumenggung Wirayuda untuk menanyakannya. Berdasarkan jawabannya itulah nanti Kakang mengambil sikap.” Swandaru tidak sempat menjawab. Wiyati-pun telah menyeretnya masuk ke ruang dalam. Katanya, “Kakang tentu belum makan.” Dalam pada itu, di Tanah Perdikan Menoreh, Ki Jayaraga yang berada di sawah, duduk di gubug kecil bersama Empu Wisanata yang juga sedang beristirahat. Keduanya telah membuka bajunya yang basah oleh keringat. “Apakah Nyi Pandan Wangi masih di sini?” bertanya Empu Wisanata. “Ya. Nampaknya memang ada sesuatu yang tidak sewajarnya terjadi pada suaminya. Aku tidak pernah ikut dalam pembicaraan. Tetapi kadang-kadang Ki Lurah mengajak aku berbicara.” “Apakah Ki Lurah belum pulang?” “Seharusnya Ki Lurah tidak bermalam. Tetapi ternyata sampai pagi tadi, Ki Lurah masih belum pulang. Agaknya ia terpaksa bermalam, karena pembicaraannya menjadi berbelit-belit” “Nampaknya Ki Swandaru memang seorang yang mempunyai cita-cita yang tinggi.” “Sangat tinggi. Bahkan kadang-kadang kurang terkendali,” berkata Ki Jayaraga. Empu Wisanata mengangguk-angguk. Dengan nada berat ia pun berdesis, “Aku pernah mendengar sepintas bahwa Ki Swandaru itu pernah menyebut nama Ki Ambara. Aku tidak ingat lagi, apakah nama itu disebut oleh Ki Swandaru sendiri, atau oleh Ki Lurah Agung Sedayu atau oleh Ki Jayaraga.” “Ya. Ki Swandaru memang pernah menyebut nama seorang pedagang kuda. Ki Ambara.” Empu Wisanata mengerutkan dahinya. Seolah-olah kepada diri sendiri ia pun berkata, “Aku pernah mendengar nama itu. Ki Ambara.” “Dimana?” “Aku tidak pasti. Tetapi di lingkungan keluarga Ki Saba Lintang. Salah seorang yang berilmu tinggi. Ia tentu mempunyai pengaruh yang sangat besar pada Ki Saba Lintang.” “Jadi ia termasuk salah seorang dari lingkungan orang-orang yang mengaku akan membangun kembali perguruan Kedung Jati?” “Aku kurang pasti, Ki Jayaraga. Tetapi satu kemungkinan.” “Jika demikian, teka-teki itu akan terjawab.” “Teka-teki yang mana?” “Kami menduga bahwa seseorang telah menanamkan pengaruhnya pada Ki Swandaru untuk tujuan tertentu. Termasuk usaha Ki Swandaru mengusulkan kepada Mataram, agar Sangkal Putung ditetapkan menjadi sebuah tanah perdikan.” “Tetapi jangan tergesa-gesa mengambil kesimpulan, Ki Jayaraga.” “Tentu tidak. Aku tentu menunggu Ki Lurah dan berbicara dengan sangat berhati-hati.” Namun keterangan Empu Wisanata itu sangat berarti bagi Ki Jayaraga. Meskipun ia belum pasti, apakah keterangan itu akan dapat memecahkan persoalan yang dihadapi oleh Sangkal Putung. Dalam pada itu, Agung Sedayu dengan dua orang prajuritnya berpacu semakin cepat. Keduanya pun telah menyeberangi Kali Praga. Namun bertiga mereka langsung pergi ke barak. Baru kemudian Agung Sedayu pulang ke rumahnya Sebenarnyalah bahwa Sekar Mirah dan Pandan Wangi merasa cemas, bahwa Agung Sedayu tidak pulang di hari sebelumnya. Karena itu, demikian Agung Sedayu pulang, maka Sekar Mirah pun dengan serta-merta menyongsongnya. “Kau baik-baik saja, Kakang?” “Ya, Sekar Mirah. Tidak ada hambatan apapun di perjalanan. Bukankah tidak ada persoalan di rumah?” “Tidak, Kakang. Semuanya baik-baik saja.” Pandan Wangi yang juga menyongsongnya berdesis, “Kami merasa cemas, bahwa kemarin Kakang Agung Sedayu tidak pulang.” Sekar Mirah pun kemudian mempersilahkan Agung Sedayu itu langsung masuk ke ruang dalam. Rara Wulan pun kemudian telah menghidangkan minuman hangat. Nampaknya Agung Sedayu memang kehausan. “Kakang jadi pergi bersama beberapa orang prajurit?” “Ya. Aku pergi ke Mataram bersama dua orang prajurit,” jawab Agung Sedayu. “Agaknya Kakang terpaksa bermalam di Mataram.” “Aku tidak bermalam di Mataram.” “Dimana?” bertanya Sekar Mirah. “Di Sangkal Putung.” “Jadi Kakang langsung pergi ke Sangkal Putung?” bertanya Pandan Wangi. “Ya. Aku bersama kedua orang prajurit itu langsung pergi ke Sangkal Putung. Nanti setelah aku mandi, aku akan bercerita tentang perjalananku ke Mataram dan Sangkal Putung.” Sekar Mirah dan Pandan Wangi yang ingin segera mengetahui hasil perjalanan Agung Sedayu, tidak memaksanya untuk bercerita. Tetapi dibiarkannya Agung Sedayu menikmati minuman yang hangat serta beberapa potong makanan. Setelah keringat Agung Sedayu agak kering, maka ia pun berkata, “Aku akan pergi ke pakiwan dahulu.” Sekar Mirah mengikuti suaminya sampai ke pintu dapur. Sementara itu Agung Sedayu berdesis, “Sejak kemarin Pandan Wangi tidak pulang ke rumah Ki Gede?” Sekar Mirah mengangguk. Katanya, “Ia lebih senang di sini sambil menunggu Kakang pulang.” Agung Sedayu tidak bertanya lagi. Ia pun segera pergi ke pakiwan, sementara Rara Wulan mempersiapkan makan bagi Agung Sedayu itu. Di dekat kandang, Glagah Putih menunggui Sukra memandikan kuda yang baru saja dipakai oleh Agung Sedayu. Sambil menyirami tubuh kuda itu, Sukra pun berdesis, “Alangkah segarnya. Kau tentu letih. Ki Lurah tentu memaksamu berlari kencang. Bahkan mungkin tanpa beristirahat di jalan.” Kuda yang diusap kepalanya itu seakan-akan mengerti kata-kata Sukra. Dikibas-kibaskannya ekornya. Namun yang menjawab adalah Glagah Putih, “Kakang tentu memperhitungkan ketahanan tubuh kudanya. Jika kau yang harus mendukung Kakang berlari dari Sangkal Putung, mungkin kau tidak akan diberi kesempatan beristirahat di jalan.” Sukra justru bersungut-sungut. Katanya, “Memangnya aku kuda beban?” “Bukan begitu. Aku ingin mengatakan bahwa kau mempunyai daya tahan melampaui seekor kuda.” Sukra berpaling. Dipandanginya Glagah Putih dengan tajamnya. Namun ia tidak berkata apa-apa. Glagah Putih tertawa. Katanya, “Jangan marah. Kau akan cepat menjadi tua jika kau terlalu sering marah.” Sukra masih tetap diam saja. Namun ketika Glagah Putih melangkah meninggalkannya, maka Sukra itu pun telah memercikkan air ke pakaian Glagah Putih. Glagah Putih dengan serta-merta berhenti dan berbalik. Namun Sukra itu pun berkata, “Jangan marah. Kau akan cepat menjadi tua jika kau terlalu sering marah.” Glagah Putih termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia pun kembali berbalik dan meninggalkan Sukra, sambil berkata, “Awas kau, Sukra. Aku putar telingamu nanti. Tunggu saja.” Sukra tertawa. Katanya, “Bukannya aku yang marah. Tetapi kau.” Glagah Putih tidak menghiraukannya lagi. Ia pun melangkah semakin jauh. Setelah mandi, Agung Sedayu duduk di ruang dalam. Sekar Mirah dan Pandan Wangi duduk pula bersamanya, sementara Rara Wulan telah selesai menyediakan makan bagi Agung Sedayu yang baru pulang dari perjalanan. “Makanlah, Kakang,” Sekar Mirah mempersilahkan, “mungkin Kakang sempat berhenti di kedai. Tetapi Kakang tentu sudah menjadi lapar lagi.” “Agaknya aku terlalu banyak minum. Rasa-rasanya perutku masih saja kenyang.” “Tetapi sebaiknya Kakang makan.” Agung Sedayu pun kemudian menyenduk nasi, sayur dan lauk-pauknya. Sambil menyuapi mulutnya, Agung Sedayu mulai bercerita tentang perjalanannya Namun baru setelah ia selesai makan, ia mulai bercerita tentang pertemuannya dengan Ki Tumenggung Wirayuda dan Ki Patih Mandaraka. Juga tentang perjalanannya ke Sangkal Putung untuk menemui dan berbicara dengan Swandaru. “Jadi besok Kakang Swandaru akan pergi ke Mataram, menghadap Ki Patih untuk menarik kembali surat permohonannya itu?” “Ya. Nampaknya Swandaru telah diombang-ambingkan oleh ketidak-tetapan sikapnya.” Pandan Wangi menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Sebenarnya itu bukan sifat dan watak Kakang Swandaru. Biasanya ia mempunyai pendirian yang teguh. Keputusannya sulit untuk berubah, jika keputusan itu diambilnya atas satu keyakinan.” “Aku setuju, Pandan Wangi. Gagasan untuk mengajukan permohonan agar Sangkal Putung dapat ditetapkan menjadi sebuah tanah perdikan, tentu bukan gagasan yang diyakininya.” Dengan demikian, maka dugaan bahwa Swandaru telah terpengaruh oleh gagasan seseorang, menjadi semakin kuat. Bahkan Agung Sedayu hampir memastikan, bahwa ada seseorang yang masih harus dicari, di belakang Swandaru. Orang itu tentu mempunyai pamrih. Pamrih itulah yang harus dipelajari dengan sungguh-sungguh. “Baiklah,” berkata Agung Sedayu kemudian, “kita akan mencari bersama-sama dengan cara yang mungkin berbeda. Ki Demang Sangkal Putung juga masih terus berupaya. Tetapi jika Adi Swandaru besok mencabut surat permohonannya untuk menetapkan Sangkal Putung menjadi sebuah tanah perdikan, maka persoalannya tidak lagi sangat mendesak. Meskipun usaha itu masih harus tetap dilakukan, agar pengaruh itu tidak menusuk lagi ke jantung Adi Swandaru.” Sekar Mirah dan Pandan Wangi pun mengangguk-angguk. Namun kesediaan Swandaru untuk pergi ke Mataram dan mencabut surat permohonannya itu, telah membuat Agung Sedayu, Sekar Mirah dan Pandan Wangi menjadi sedikit tenang. Namun pada saat yang bersamaan, di Kajoran, Swandaru ternyata sudah mengambil sikap yang lain. Swandaru telah memutuskan bukan membatalkan permohonannya, tetapi justru membatalkan kepergiannya ke Mataram. Ki Ambara sendiri agaknya telah ikut memberikan pertimbangan-pertimbangan yang ikut menentukan sikap Swandaru itu. “Besok aku tidak akan pergi,” berkata Swandaru. “Permohonan Angger Swandaru akan menjadi ujian bagi orang-orang Mataram, apakah mereka dapat menghargai orang lain atau mereka hanya dapat mengagumi diri mereka sendiri. Jika Mataram memang tidak dapat menghargai orang lain, buat apa kita tetap berkiblat ke Mataram? Angger Swandaru, mungkin lewat Angger Sekar Mirah akan dapat meyakinkan Angger Agung Sedayu, bahwa tidak ada gunanya untuk tetap setia kepada Mataram. Jika Ki Lurah itu menyadari akan dirinya, maka ia tentu akan sependapat dengan Ki Swandaru. Bukankah kemampuan baik dalam ilmu kanuragan maupun olah kajiwan, Ki Lurah itu melampaui kemampuan seorang tumenggung? Coba, tunjuk, Tumenggung siapakah yang dapat melampaui kemampuan ilmu kanuragan Angger Agung Sedayu.” “Mungkin, Ki Ambara. Meskipun sebenarnya aku masih sangat menyayangkan Kakang Agung Sedayu yang malas. Anggapan semacam itulah yang telah menyesatkan sikapnya. Ia merasa benar-benar telah mumpuni.” “Apakah ia tidak benar-benar mempunyai kelebihan yang pantas untuk mendapat penghargaan tertinggi di Mataram?” “Kesetiaan Kakang Agung Sedayu dan pengabdiannya memang dapat dibanggakan. Tetapi aku meragukan kemampuannya. Ia adalah seorang yang mudah menjadi puas, ragu-ragu, malas dan kadang-kadang acuh tak acuh terhadap ilmunya.” Ki Ambara mengerutkan dahinya. Sementara Swandaru pun berkata, “Kakang Agung Sedayu adalah saudara tua seperguruanku. Ia mempunyai kesempatan jauh lebih baik dari kesempatan yang diberikan Guru kepadaku. Pada mulanya aku sangat mengagumi Kakang Agung Sedayu itu. Tetapi pada tataran tertentu, Kakang Agung Sedayu itu berhenti. Aku mengira bahwa Kakang Agung Sedayu sedang mempersiapkan diri untuk melangkah lebih lanjut. Mungkin ia merasa terlalu letih, sehingga perlu beristirahat. Mungkin tugas-tugasnya tidak memberikan waktu kepadanya. Tetapi ternyata tidak. Kakang Agung Sedayu benar-benar telah berhenti sampai di situ.” Ki Ambara mengangguk-angguk. Namun kemudian ia pun berkata, “Mungkin ilmunya tidak setinggi ilmu Angger Swandaru, tetapi ia mempunyai pasukan. Jika Agung Sedayu berhasil mempengaruhi prajurit-prajuritnya, maka ia merupakan kekuatan yang akan ikut menentukan keberhasilan Angger Swandaru. Jika Mataram menolak permohonan Angger Swandaru, maka Angger Swandaru tidak hanya akan memaksa menetapkan Sangkal Putung menjadi tanah perdikan, tetapi Angger Swandaru dan Angger Pandan Wangi, dengan bantuan Agung Sedayu dan Angger Sekar Mirah, akan mengambil alih Mataram itu sendiri. Sementara itu, para pendukung tentu akan mengalir dengan sendirinya, karena kesetiaan kebanyakan orang-orang yang agak jauh dari Kotaraja adalah kesetiaan yang lamis. Jika mereka melihat sosok yang lebih baik, maka mereka akan berpaling. Sedangkan tentang darah keturunan, Panembahan Senapati juga dilahirkan dari darah keturunan pidak pedarakan.” Swandaru termangu-mangu sejenak. Sementara itu Wiyati menghidangkan minuman hangat dan beberapa potong makanan. Demikian ia meletakkan mangkuk-mangkuk minuman dan makanan, ia pun langsung duduk sambil menyandarkan tubuhnya pada Swandaru sambil berkata, “Alangkah bahagianya pada suatu saat aku sempat melihat Kakang Swandaru menjadi seorang Kepala Tanah Perdikan.” Sebelum Swandaru menjawab, Ki Ambara pun bangkit berdiri sambil berkata, “Maaf, Ngger. Aku akan pergi ke kandang.” “Pembicaraan kita belum selesai, Ki Ambara.” “Wiyati akan menemani Angger Swandaru, berbicara tentang Mataram yang menjadi semakin suram. Sepeninggal Panembahan Senapati, Mataram sudah bukan apa-apa lagi. Segalanya akan tergantung sekali kepada Ki Patih Mandaraka yang sudah mulai pikun, karena umurnya memang sudah terlalu banyak. Dahulu, dengan otaknya yang cerah tetapi lebih condong ke licik, ia mampu mengendalikan Ki Gede Pemanahan dan Ki Panjawi. Selanjutnya Panembahan Senapati itu pun berada di bawah pengaruhnya. Tetapi sekarang, Ki Patih itu sudah semakin tua dan tidak berdaya.” Ki Ambara tidak menunggu lagi. Sambil tersenyum Ki Ambara pun telah meninggalkan Swandaru duduk bersama Wiyati, sementara Wiyati masih saja menyadarkan tubuhnya. “Minumlah, Kakang,” desah Wiyati. “Bagaimana aku dapat minum?” sahut Swandaru. Wiyati tertawa manja sekali. Tetapi ia justru bangkit dan menarik tangan Swandaru masuk ke ruang dalam. “Wiyati, aku belum jadi minum.” Wiyati tidak menghiraukannya, la masih saja menarik tangan Swandaru. Hari itu Swandaru telah mendapat satu kepastian baru. Ia tidak akan pergi ke Mataram. Ia tidak akan mencabut surat permohonannya. Hari itu Swandaru pulang sampai larut malam. Ki Demang memang menunggunya. Namun akhirnya Ki Demang itu pun tertidur pula Pagi-pagi sekali Ki Demang sudah bangun. Ketika ia menyentuh pintu bilik Swandaru, pintu itu diselarak dari dalam, sehingga Ki Demang pun tahu bahwa Swandaru ada di dalam bilik itu. “Kapan ia pulang?” desis Ki Demang. Namun Ki Demang itu pun segera mengetuk pintu bilik Swandaru itu. “Swandaru, bangun. Langit sudah menjadi terang.” Tidak terdengar jawaban. Ki Demang itu pun mengulanginya lagi, “Swandaru? Swandaru?” Akhirnya Swandaru itu terbangun juga. Bahkan ia merasa sangat terganggu. “Bangun,” berkata Ki Demang kemudian. “Aku baru saja dapat tidur, Ayah,” sahut Swandaru dari dalam biliknya. “Langit sudah menjadi terang. Bukankah kau akan pergi ke Mataram?” Tetapi jawab Swandaru sangat mengejutkan ayahnya, “Tidak. Aku tidak jadi pergi, Ayah.” “Kenapa?” bertanya Ki Demang dengan serta-merta. “Tidak apa-apa. Aku memang tidak ingin pergi ke Mataram.” “Tetapi kau kemarin mengatakan bahwa hari ini kau akan pergi ke Mataram.” “Tidak, Ayah. Sudahlah. Aku akan tidur.” “Kenapa kau tidak jadi pergi?” “Aku memang tidak ingin pergi. Sudahlah. Aku akan tidur.” Tetapi Swandaru-lah yang terkejut. Tiba-tiba saja Ki Demang itu memukul pintu bilik Swandaru beberapa kali sambil membentak, “Swandaru! Bangun! Pergi atau tidak pergi, bangun! Aku akan berbicara sekarang.” Swandaru bangkit dari pembaringannya. Sementara itu Ki Demang masih memukul pintu Swandaru, “Buka pintunya! Aku akan berbicara.” Swandaru menjadi berdebar-debar. Ia pun kemudian melangkah membuka pintu biliknya. “Swandaru,” geram ayahnya, “bukankah kemarin kau berjanji akan pergi ke Mataram untuk menarik surat permohonanmu?” “Kemarin memang begitu, Ayah.” “Kenapa kau tidak pergi sekarang?” “Aku berubah pendirian, Ayah. Aku tidak akan pergi ke Mataram untuk menarik surat permohonan itu.” “Siapa yang telah mempengaruhimu?” sahut Ki Demang. “Tidak ada, Ayah.” “Siapa?” “Tidak ada.” “Kau sekarang selalu berbohong kepadaku. Berbohong kepada istrimu, dan berbohong kepada rakyat Sangkal Putung.” “Tidak, Ayah, aku tidak berbohong.” “Jika tidak, kenapa kau tidak pergi ke Mataram? Jika kau ingin berkata jujur, kenapa kau tidak mengaku, siapakah yang telah mempengaruhimu? Aku yakin bahwa bukan kau sendiri yang berniat untuk mengajukan permohonan agar Sangkal Putung menjadi sebuah tanah perdikan.” “Kenapa bukan aku, Ayah?” “Sikapmu tidak pasti. Hari ini dan kemarin sikapmu sudah berbeda. Itu bukan kebiasaanmu. Aku tahu bahwa kau adalah seorang yang teguh pada satu keyakinan. Tetapi tentang tanah perdikan itu, sikapmu seperti batang ilalang. Setiap ada angin yang berubah arah, maka arah merunduk batang ilalang pun berubah pula. Karena itu, katakan, siapa yang telah mempengaruhimu?” desak Ki Demang. “Tidak ada, Ayah. Sungguh, tidak ada.” “Kau dapat menipuku, tetapi tidak untuk selama-lamanya.” “Aku tidak menipu Ayah.” “Kau menipu aku!” suara Ki Demang meninggi. “Ayah, kenapa Ayah sekarang tidak lagi percaya kepadaku?” “Jika kau tidak berubah, aku akan selalu percaya kepadamu. Tetapi kau sudah berubah, Swandaru.” “Menurut Ayah, apa yang berubah?” “Keyakinanmu atas dirimu sendiri.” Wajah Swandaru menjadi merah. Namun ia masih juga berkata, “Ayah, yakinlah bahwa kita akan berhasil. Karena itu, aku tidak akan pergi ke Mataram.” “Kau harus pergi ke Mataram. Kau harus mencabut kembali suratmu itu.” Swandaru termangu-mangu sejenak. Nampaknya ayahnya tidak lagi mau mendengarkan alasan-alasannya. Apapun yang dikatakannya, tidak lagi didengarnya. Namun tiba-tiba saja Ki Demang itu menjadi terengah-engah. Sambil menekan dadanya ia berdesis, “Dadaku sakit. Sakit sekali.” “Ayah,” Swandaru pun kemudian telah memapah ayahnya pergi ke biliknya dan dibaringkannya. “Kenapa, Ayah?” “Swandaru,” berkata ayahnya, “dadaku sakit. Aku merasa dadaku terhimpit oleh sikapmu itu.” “Ayah.” “Pergilah ke Mataram. Aku akan sembuh.” Swandaru termangu-mangu sejenak. Ternyata ayahnya yang menahan gejolak perasaannya itu, telah sampai ke puncak kesabarannya. Karena itu, Swandaru tidak dapat berbuat lain. Ia harus pergi ke Mataram, atau dada ayahnya akan meledak oleh kemarahan yang tidak tertahankan. “Baiklah,” berkata Swandaru, “aku akan pergi ke Mataram.” Sejenak kemudian, Swandaru pun segera pergi ke pakiwan untuk mandi dan berkemas. Ketika Swandaru sudah siap, Ki Demang duduk di pringgitan sambil menghirup minuman hangat. Namun wajah Ki Demang itu masih sangat pucat. “Bukan dibuat-buat,” berkata Swandaru di dalam hatinya. Apalagi ketika ia menyentuh tubuh ayahnya yang gemetar. “Kau harus langsung pergi ke Tanah Perdikan Menoreh. Bawa istrimu pulang, dan Sekar Mirah serta Ki Lurah Agung Sedayu.” “Tetapi Ayah tidak apa-apa?” bertanya Swandaru. “Tidak. Aku tidak apa-apa. Jika kau bersedia berangkat, maka sakit di dadaku akan hilang.” “Baiklah, Ayah. Aku akan pergi.” Setelah menyerahkan ayahnya untuk mendapat perawatan, maka Swandaru pun segera melarikan kudanya. Tetapi Swandaru tidak langsung pergi ke Mataram. Swandaru telah singgah lebih dahulu di Kajoran. Wiyati tertawa mendengar cerita Swandaru. Katanya, “Ki Demang ternyata pandai juga berpura-pura.” “Ayah tidak berpura-pura. Aku dapat mengenalinya, dan aku mempercayainya bahwa Ayah bersungguh-sungguh.” “Baiklah. Seandainya Ki Demang bersungguh-sungguh, bukankah Kakang Swandaru juga sudah benar-benar berangkat?” “Ya. Aku benar-benar berangkat ke Mataram.” “Apakah Ki Demang dapat mengetahui, seandainya kakang Swandaru tidak pergi ke Mataram?” “Tentu. Ayah tentu akan menanyakan surat yang aku tarik dari Mataram itu. Selain itu, aku harus pergi ke Tanah Perdikan Menoreh untuk memanggil Pandan Wangi. Jika mungkin, bersama Sekar Mirah dan Kakang Agung Sedayu.” Wiyati mengangguk-angguk. Katanya, “Segala-galanya memang harus segera pasti. Kakang tidak perlu mengulur-ulur waktu terlalu lama lagi. Sebaiknya Kakang pergi ke Tanah Perdikan Menoreh. Kemudian ajak mereka ke Mataram untuk mendapat kepastian, apakah Mataram bersedia menetapkan Sangkal Putung untuk menjadi tanah perdikan atau tidak. Jika tidak, maka sudah waktunya Sangkal Putung dan Tanah Perdikan Menoreh menunjukkan diri sebagai satu landasan kekuatan yang tidak dapat direndahkan oleh Mataram. Sangkal Putung dan Tanah Perdikan Menoreh harus dengan cepat menghimpun kekuatan. Menjepit Mataram dari dua arah.” Swandaru termangu-mangu. Sementara Wiyati berkata selanjutnya, “Kakang. Kakek tidak hanya sekedar mampu berbicara tentang menjepit Mataram dari dua arah. Tetapi jika Kakang Swandaru memerlukan, kakek tentu akan dapat membantu. Ada beberapa perguruan yang pemimpinnya dikenal baik oleh kakek. Ada beberapa kelompok orang yang tidak dapat menerima kebijaksanaan Mataram yang sekarang, yang selama ini terpendam. Jika yang terpendam itu sempat disulut, maka nyalanya tentu akan sampai menyentuh bibir awan di langit.” Wajah Swandaru menjadi tegang. Tiba-tiba saja ia berdesis, “Aku akan berbicara dengan Ki Ambara.” Wiyati pun kemudian telah menemui Ki Ambara. Dengan senyum yang tersungging di bibirnya, Wiyati itu pun berkata, “Kakek, tinggal selangkah lagi. Kakang Swandaru sudah mulai terbakar.” “Tetapi sayang sekali, bahwa Tanah Perdikan Menoreh masih belum jelas.” “Kakang Swandaru harus menekan Pandan Wangi. Katakan kepadanya, jika Pandan Wangi berkeberatan, maka ia bukan seorang istri yang setia kepada suaminya.” “Tetapi bagaimana dengan Sekar Mirah dan Agung Sedayu?” bertanya Ki Ambara. “Jika perlu, Agung Sedayu harus dipaksa.” “Dipaksa? Maksudmu?” “Kakang Swandaru harus berani bertaruh. Jika Agung Sedayu menang, Kakang Swandaru akan tunduk kepadanya. Tetapi jika Agung Sedayu kalah, maka Agung Sedayu harus tunduk kepada Kakang Swandaru.” Ki Ambara mengangguk-angguk, sementara Wiyati berkata selanjutnya, “Bukankah menurut Kakang Swandaru, meskipun Agung Sedayu itu saudara tua seperguruannya, tetapi ilmunya tidak dapat menyamai ilmu Kakang Swandaru?” Ki Ambara menarik nafas dalam-dalam. Namun dengan ragu ia pun berkata, “Wiyati. Selama ini aku mendengar cerita tentang Agung Sedayu yang memiliki ilmu yang sangat tinggi. Orang-orang Ki Saba Lintang meyakini itu.” “Tetapi mereka belum mengetahui seberapa tinggi ilmu Kakang Swandaru. Menurut Kakang Swandaru, Agung Sedayu yang malas itu telah terhenti pada satu tataran sebelum tataran tertinggi, sebagaimana telah dicapai oleh Kakang Swandaru. Mereka bergantian memegang kitab yang memuat ilmu dari perguruan Orang Bercambuk itu. Namun pada saat terakhir, ketika Kakang Swandaru telah mencapai puncak, kitab itu telah direlakan untuk disimpan oleh Agung Sedayu. Namun ternyata ilmu Agung Sedayu juga tidak meningkat pula. Beberapa kali Kakang Swandaru memberinya petunjuk dan nasehat-nasehat. Namun Agung Sedayu masih saja tetap pada tatarannya.” “Kau yakin akan hal itu?” “Aku yakin, Kek.” “Baiklah. Jika demikian, biarlah aku berbicara dengan Swandaru.” Sejenak kemudian, maka Ki Ambara pun telah menemui Swandaru di pringitan. Sambil tersenyum seperti biasanya, Ki Ambara pun bertanya, “Ada apa Ngger?” “Aku mengalami kesulitan, Ki Ambara. Ayah memaksa aku untuk pergi ke Mataram. Jika aku tidak pergi, dada ayahku akan dapat pecah karenanya. Ia telah menahan kemarahan yang bergejolak di dalam dadanya.” Ki Ambara mengangguk-angguk. Katanya, “Pergilah, Ngger, tetapi tidak ke Mataram. Pergilah ke Tanah Perdikan. Ajak orang-orang Tanah Perdikan, termasuk Ki Gede dan Agung Sedayu, ke Mataram. Kalian memang harus menekan Ki Patih Mandaraka untuk menetapkan Sangkal Putung menjadi tanah perdikan. Justru sekarang adalah waktunya yang tepat, pada saat Panembahan Senapati yang serakah itu sakit keras. Jika Mataram menolak, maka kalian memang tidak mempunyai pilihan lain. Meskipun aku tidak lebih dari seorang pedagang kuda, namun aku mempunyai banyak kawan. Antara lain yang telah disakiti hatinya oleh Ki Patih Mandaraka, sehingga mereka tentu akan bersedia membantu, menghancurkan Mataram yang sedang kebingungan sekarang ini.” “Apakah Kakang Agung Sedayu akan begitu mudahnya bersedia membantuku? Ia adalah seorang yang setia kepada Panembahan Senapati.” “Kau harus menggelitik harga dirinya. Kau tantang ia berkelahi. Meskipun Agung Sedayu harus mengakui kelebihanmu, tetapi sebagai laki-laki ia akan sulit menolak. Taruhannya adalah apabila kau kalah, kau akan menarik permohonanmu itu. Tetapi jika kau menang, maka Agung Sedayu harus tunduk kepada perintahmu, meskipun ia saudara tuamu.” Wajah Swandaru menjadi tegang. Terasa darah di dalam tubuhnya bagaikan mendidih. Dengan nada tinggi ia pun berkata, “Baik, Ki Ambara. Aku akan menantang Agung Sedayu untuk berperang tanding. Ia memang harus dipaksa. Aku memang tidak mempunyai pilihan lain.” “Nah, jangan hiraukan ayahmu. Jika kau pulang sambil membawa hasil persetujuan Mataram untuk menetapkan Sangkal Putung menjadi sebuah tanah perdikan, maka Ki Demang akan menganggapmu sebagai pahlawan. Ia tidak akan merasa sakit lagi dadanya.” “Jika kami tidak berhasil menekan Mataram?” “Kau dapat mengatakan apa saja kepada ayahmu. Katakan bahwa pada saat kau akan menarik surat permohonanmu, orang-orang Mataram berusaha menangkapmu, atau apapun yang dapat membenarkan sikapmu untuk menyusun kekuatan di Sangkal Putung. Sementara kau perintahkan Agung Sedayu yang sudah kau kalahkan dalam taruhan itu, harus mempersiapkan Tanah Perdikan Menoreh. Pada saat yang sama, aku akan mempersiapkan orang-orangku untuk membantu kalian menghancurkan Mataram. Kau akan dapat merebut kekuasaan Mataram dari tangan Sutawijaya, anak Pemanahan, gembala kerbau itu.” Darah Swandaru serasa menjadi semakin menggelegak. Karena itu, maka katanya, “Baiklah Ki Ambara. Sekarang aku akan pergi ke Tanah Perdikan.” Swandaru pun kemudian telah minta diri pula kepada Wiyati, yang dengan nada berat berkata, “Hati-hatilah, Kakang. Kau sudah sampai ke puncak perjuanganmu. Jangan pernah mundur lagi meskipun hanya setapak.” “Aku akan merebut Mataram, Wiyati,” geram Swandaru. “Kakang akan menghancurkan lebih dahulu kekuatan Untara di Jati Anom. Tidak terlalu sulit. Kekuatan pengawal Sangkal Putung akan dibantu oleh beberapa perguruan yang dikenal baik oleh Kakek, akan dapat melumatkan kekuatan Untara dalam satu atau dua hari saja. Setelah itu, maka kekuatan itu akan mengalir ke barat, menyeberang Kali Opak. Kali Opak adalah salah satu garis pertahanan Mataram di sisi timur. Jika Kakang berhasil menyeberang Kali Opak, maka Mataram akan kehilangan benteng terdepannya. Kakang akan segera menyeberangi Kali Kuning, melintasi hutan Tambak Baya, dan memasuki Mataram dari arah timur, bersama-sama dengan kekuatan yang akan dihimpun oleh Kakek.” Swandaru menggeretakkan giginya. Katanya, “Akan datang saatnya aku menggenggam Mataram.” Demikianlah, maka Swandaru pun segera meninggalkan Kajoran menuju ke Tanah Perdikan Menoreh. Sepeninggal Swandaru, Ki Ambara pun telah menghubungi Ki Saba Lintang. Sambil tersenyum Ki Ambara berkata, “Nampaknya kesabaran kita akan berhasil.” “Apa yang sudah dilakukan oleh Swandaru sekarang?” Ki Ambara pun kemudian menceritakan, bahwa Wiyati telah berhasil membakar jantung Swandaru, sehingga Swandaru telah pergi ke Tanah Perdikan Menoreh. “Dalam waktu dekat, Swandaru akan mengangkat senjata. Permohonannya untuk menetapkan Sangkal Putung menjadi sebuah tanah perdikan tentu akan ditolak oleh Mataram. Sementara itu Swandaru sudah bertekad untuk memaksa Mataram menetapkan Sangkal Putung menjadi sebuah Tanah Perdikan, atau justru membelah Mataram sama sekali dan kemudian menguasainya.” Ki Saba Lintang tertawa berkepanjangan. Katanya, “Anak Sangkal Putung itu bermimpi untuk menguasai Mataram dan menggantikan Panembahan Senapati memerintah Tanah ini?” “Wiyati mengatakan kepadanya, bahwa Panembahan Senapati adalah anak Pemanahan. Seorang penggembala kerbau.” “Beritahukan pula kepadanya, bahwa Pajang pernah diperintah oleh seorang gembala dari Tingkir yang bernama Karebet. Bedanya, Karebet adalah menantu Sultan Demak, sedangkan Sutawijaya pernah diangkat menjadi anak Sultan Pajang itu. Sedangkan Swandaru sampai hari tuanya tetap saja anak Demang Sangkal Putung.” Ki Ambara pun tertawa pula. Katanya, “Bersiaplah Ki Saba Lintang. Mungkin dalam waktu dekat, kita harus membantu Swandaru menghancurkan pasukan Untara, sebelum merayap ke barat” “Bagaimana dengan Tanah Perdikan Menoreh?” “Swandaru akan memaksanya.” “Bagaimana ia dapat memaksa Agung Sedayu?” “Agung Sedayu akan ditantangnya berperang tanding. Jika Swandaru kalah, ia akan menarik permohonannya untuk menjadikan kademangan Sangkal Putung sebuah tanah perdikan. Tapi jika Agung Sedayu kalah, maka ia harus tunduk kepada semua perintah Swandaru.” Ki Saba Lintang terkejut. Katanya, “Apakah Ki Ambara tidak pernah mendengar bahwa Agung Sedayu mempunyai ilmu yang sangat tinggi?” “Aku pernah mendengarnya. Tetapi dari Swandaru sendiri aku mendengar, bahwa tataran kemampuan Agung Sedayu masih berada di bawah tataran kemampuan Swandaru, karena pada tataran tertentu sebelum sampai ke puncak, Agung Sedayu sudah berhenti. Pujian dan anggapan bahwa Agung Sedayu berilmu sangat tinggi, membuatnya menjadi sombong dan malas untuk menyempurnakan ilmunya. Beberapa kali Swandaru memperingatkannya. Bahkan ketika Swandaru sudah berada di puncak, kitab yang harus mereka miliki bersama, telah diserahkannya kepada Agung Sedayu, untuk mendorong agar Agung Sedayu mau menyempurnakan ilmunya. Tetapi ternyata kemajuan yang dicapai oleh Agung Sedayu itu lambat sekali.” Ki Saba Lintang termangu-mangu sejenak. Sementara Ki Ambara berkata, “Swandaru, saudara seperguruan Agung Sedayu, tentu mengenalnya lebih baik daripada kita. Sementara itu karena kedudukannya, Agung Sedayu mempunyai banyak kesempatan untuk menunjukkan kelebihannya. Sedangkan Swandaru yang berada di Sangkal Putung, hampir tidak pernah mendapat perhatian. Juga tataran ilmunya.” “Jadi Ki Ambara yakin bahwa Swandaru akan dapat memaksa Agung Sedayu tunduk kepada perintahnya?” “Aku yakin. Aku pun yakin bahwa Agung Sedayu akan bersikap sebagai seorang laki-laki. Baik menghadapi tantangan Swandaru, meskipun ia menyadari tataran kemampuannya, maupun pertanggung-jawabannya atas akibatnya.” “Tetapi Agung Sedayu hanya menguasai sekelompok prajurit dari Pasukan Khusus yang ada di Tanah Perdikan Menoreh. Seandainya Agung Sedayu berhasil menguasai mereka sehingga Pasukan Khusus itu bersedia berdiri di pihaknya, bagaimana dengan pengawal Tanah Perdikan Menoreh?” “Pandan Wangi adalah istri yang setia. Jika ayah Pandan Wangi itu tidak berpihak pada Swandaru, Swandaru dapat mengancam untuk menceraikan Pandan Wangi. Tentu Ki Gede tidak mau mengalami aib, bahwa anak perempuannya diusir oleh suaminya karena tidak setia.” Ki Saba Lintang menarik nafas dalam-dalam. Nampaknya memang ada harapan untuk memanfaatkan Kademangan Sangkal Putung dan Tanah Perdikan Menoreh. Kemudian pasukannya sendiri yang terhitung kuat akan bergabung dengan mereka. “Mataram akan dihimpit dari beberapa arah,” desis Ki Saba Lintang. “Ya. Mataram tidak akan dapat mengharapkan bantuan dari para Adipati yang sementara ini tunduk kepadanya. Jika Mataram pecah, maka mereka pun akan membebaskan diri mereka. Baru kemudian kita akan membicarakan mereka.” Ki Saba Lintang mengangguk-angguk. Katanya, “Baiklah. Aku akan mempersiapkan pasukan. Aku akan mengajari mereka untuk tidak menyebut-nyebut lagi perguruan Kedung Jati. Karena nama perguruan itu akan mengingatkan Tanah Perdikan Menoreh kepada pasukan yang pernah menyerang Tanah Perdikan itu.” Ki Ambara mengangguk-angguk. Katanya, “Bersama Sangkal Putung dan Tanah Perdikan Menoreh, maka kita akan dapat menguasai Mataram. Agung Sedayu dan Swandaru tidak akan menjadi masalah di kemudian hari.” “Jangan menganggap mereka seperti pemimpin-pemimpin kelompok yang lain,” berkata Ki Saba Lintang, “tetapi tentu ada jalan untuk menyingkirkan mereka kelak. Jangan membuat kita menjadi pusing sekarang.” Ki Ambara tertawa. Namun dalam pada itu. yang jarang sekali nampak di Kajoran adalah seorang penjual dawet cendol. Dengan pikulannya yang khusus, penjual dawet cendol itu menyusuri jalan-jalan di Kajoran. Menawarkan dawet cendolnya dengan pemanis legen kelapa serta santan air matang. Wiyati ternyata tertarik untuk membeli dawet cendol itu. Namun ia sempat bertanya, “Agaknya baru kali ini kau berjualan di sini, Kek?” “Tidak, Mas Rara,” jawab penjual dawet itu, “aku sudah beberapa kali menyusuri jalan-jalan di Kajoran. Tetapi memang jarang. Biasanya di padukuhan Pengklik itu aku berhenti di bawah pohon beringin di mulut padukuhan. Dawetku jarang sekali tersisa. Namun agaknya hari ini rejekiku kurang baik. Sampai matahari turun, dawetku masih lebih dari separo.” “Kau tinggal di mana, Kek?” Wiyati mengerutkan dahinya. “Di Rawasana, Mas Rara.” “Rawasana?” “Ya, Rawasana. Apakah Mas Rara belum pernah pergi ke Rawasana?” Wiyati menggeleng. Sementara itu mangkuknya telah diisi dawet cendol dengan pemanis legen kelapa. Penjual dawet itu pun kemudian minta diri untuk melanjutkan menjajakan dawetnya yang masih banyak. Namun pada saat matahari turun, dua orang berkuda telah melarikan kudanya menuju ke Tanah Perdikan Menoreh. Ki Jayaraga dan Empu Wisanata. Tetapi Swandaru telah sampai di Tanah Perdikan lebih dahulu. Swandaru itu pun langsung menuju ke rumah Ki Gede Menoreh, sementara itu Pandan Wangi masih berada di rumah Agung Sedayu. “Aku perlu berbicara dengan Pandan Wangi, Ayah,” berkata Swandaru. “Baiklah. Biarlah Prastawa menjemputnya.” “Ayah, aku minta biarlah Prastawa menjemput Pandan Wangi saja. Jika Kakang Agung Sedayu ada di rumah, biarlah ia tidak kemari bersama-sama Pandan Wangi. Demikian pula Sekar Mirah.” Jantung Ki Gede menjadi berdebar-debar. Meskipun demikian, dengan sareh Ki Gede itu pun bertanya, “Apakah ada yang penting dibicarakan?” “Ya, Ayah.” “Aku dengar hari ini kau pergi ke Mataram untuk mencabut surat permohonanmu itu?” “Jadi Ki Gede juga sudah mendengar rencana itu?” “Ya.” “Nanti aku akan membicarakannya dengan Pandan Wangi dan Ayah.” Ki Gede mengangguk-angguk. Katanya, “Baiklah. Biarlah Prastawa memanggilnya. Tetapi bukankah tidak tergesa-gesa? Biarlah Angger Swandaru minum minuman hangat dan makan beberapa potong makanan,” “Aku dapat minum dan makan sambil menunggu, Ayah.” Ki Gede menarik nafas panjang. Ia pun kemudian bangkit berdiri mencari Prastawa yang kebetulan berada di rumah itu pula. “Panggil Mbokayumu Pandan Wangi, Prastawa. Kakangmu Swandaru datang kemari.” “Kakang Swandaru nampak begitu gelisah, Paman.” “Mungkin ada sesuatu yang sangat penting yang menggelisahkannya.” “Baik, Paman. Aku pergi ke rumah Kakang Agung Sedayu.” “Tetapi Mbokayumu sendiri. Jangan ada yang ikut bersamanya. Kau mengerti maksudku?” Prastawa mengangguk-angguk. Katanya, “Nampaknya ada yang gawat.” Ki Gede mengangguk pula. Sejenak kemudian, Prastawa itu pun sudah melangkah ke rumah Agung Sedayu. Ketika ia sampai ke rumah itu. ternyata Agung Sedayu memang belum kembali dari baraknya. “Apakah Kakang Swandaru sudah dari Mataram?” bertanya Pandan Wangi. “Entahlah, Mbokayu, aku tidak tahu. Nampaknya Kakang Swandaru belum mengatakan apa-apa. Ia ingin berbicara dengan Mbokayu dan dengan Paman. Tetapi setelah Mbokayu datang.” Pandan Wangi menjadi berdebar-debar. Sekar Mirah dan Rara Wulan pun ikut pula menjadi berdebar-debar. “Aku minta diri, Sekar Mirah, Rara Wulan,” suara Pandan Wangi bergetar. “Berhati-hatilah menanggapi sikap Kakang Swandaru yang sedang bergejolak. Jika perlu, jangan kau sanggah, agar tidak terjadi salah paham. Nanti, bersama Kakang Agung Sedayu, semuanya dapat dibicarakan dengan baik,” jawab Sekar Mirah. Pandan Wangi mengangguk kecil. Sementara itu Prastawa pun telah minta diri pula. Bersama Prastawa, Pandan Wangi berjalan menyusuri jalan padukuhan induk. Dengan nada dalam Pandan Wangi pun bertanya—, “Kau bertemu sendiri dengan Kakangmu Swandaru?” “Tidak, Mbokayu. Paman-lah yang memerintahkan agar aku menjemput Mbokayu.” “Kau lihat Kakangmu?” “Ya.” “Apakah ia nampak gelisah, tenang atau bahkan gembira?” “Kakang Swandaru nampak gelisah, Mbokayu.” Pandan Wangi menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Seharusnya hari ini Kakangmu Swandaru pergi menghadap ke Mataram. Mungkin ia mengalami perlakuan yang telah menyinggung perasaannya.” “Kakang Swandaru memang mudah tersinggung, Mbokayu.” “Ya. Kakangmu memang mudah tersinggung.” Dengan jantung yang berdebar-debar Pandan Wangi memasuki regol rumahnya. Demikian ia melintasi halaman, dilihatnya Swandaru masih duduk di pringgitan bersama Ki Gede. “Sudah lama Kakang datang?” bertanya Pandan Wangi setelah ia duduk bersama dengan suami dan ayahnya. “Kenapa kau berada di rumah Kakang Agung Sedayu? Kenapa kau tidak berada di sini?” “Di sana aku mempunyai kawan berbincang. Di sana ada Sekar Mirah dan Rara Wulan. Sedangkan di sini aku sendiri.” “Bukankah ada Ayah?” “Tetapi lain. Aku dapat berbicara lebih terbuka dengan Sekar Mirah daripada dengan Ayah. Apalagi yang menyangkut persoalan-persoalan kami sebagai perempuan.” “Baiklah. Yang penting, sekarang kita akan berbicara.” “Kakang sudah pergi ke Mataram?” “Belum,” jawab Swandaru tegas. Wajah Pandan Wangi berkerut. Namun ia masih menahan diri. Sementara itu, Ki Gede pun berkata, “Sebaiknya kau beristirahat dahulu, Swandaru. Mungkin kau letih. Jika kau sempat beristirahat, maka kau akan menjadi lebih tenang, sehingga persoalan-persoalan yang akan kita bicarakan pun akan nampak menjadi lebih terang.” Swandaru menggelengkan kepalanya sambil berkata, “Sebaiknya sekarang saja, Ayah. Nanti aku tinggal beristirahat. Malam nanti aku akan bertemu dan berbicara dengan Kakang Agung Sedayu” Pandan Wangi menarik nafas dalam-dalam. Ia pun mencoba membujuk suaminya untuk beristirahat lebih dahulu. “Tidak, Pandan Wangi. Aku ingin semuanya serba cepat.” “Untuk apa Kakang tergesa-gesa? Bukankah waktunya masih panjang? Apapun yang ingin kita lakukan, kita tidak dibatasi oleh waktu.” “Tidak, Pandan Wangi. Kita harus menyelesaikan secepatnya. Aku sudah terlalu banyak kehilangan waktu. Selama ini kita memang berpikir bahwa kita tidak tergesa-gesa. Tetapi pikiran itu telah membuat persoalannya menjadi berlarut-larut tidak menentu.” Pandan Wangi menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Baiklah, jika Kakang menghendakinya.” “Aku akan berbicara langsung pada persoalannya.” Pandan Wangi tidak memotongnya. Demikian pula Ki Gede. Dibiarkannya saja Swandaru berbicara. “Aku hari ini memang tidak pergi ke Mataram.” Pandan Wangi mengerutkan dahinya. “Aku telah berubah pendirian. Kemarin aku memang berkata kepada Kakang Agung Sedayu bahwa aku akan pergi ke Mataram, untuk mencabut surat permohonanku. Tetapi niat itu aku batalkan.” “Kakang tentu punya alasan, kenapa Kakang merubah keputusan Kakang yang kemarin.” “Semisal orang menyeberangi sungai, aku sudah kepalang basah. Buat apa aku harus kembali? Biarlah sungai itu aku seberangi, berhasil atau tenggelam di tengah-tengahnya. Namun segala sesuatunya menjadi jelas.” “Maksud Kakang?” bertanya Pandan Wangi. “Aku akan pergi ke Mataram bersama Kakang Agung Sedayu dan Ayah. Ki Gede Menoreh.” “Untuk apa?” bertanya Pandan Wangi. “Aku ingin mendapat dukungan langsung dari Kakang Agung Sedayu dan Ki Gede Menoreh, di hadapan Ki Patih Mandaraka.” “Kakang…” suara Pandan Wangi pun merendah. “Ngger Swandaru,” berkata Ki Gede, “apa artinya kehadiranku di Mataram? Aku tidak mempunyai pengaruh apa-apa. Ada atau tidak ada aku, keputusan Ki Patih tidak akan berbeda.” “Tentu lain, Ayah. Aku tahu bahwa Ayah mempunyai hubungan yang baik dengan Ki Patih. Demikian pula Kakang Agung Sedayu.” “Seharusnya Kakang tidak melakukannya,” berkata Pandan Wangi. “Pandan Wangi,” berkata Swandaru dengan nada yang berat menekan, “kau adalah istriku. Adalah sepantasnya bahwa seorang istri membantu perjuangan suaminya. Sesuai atau tidak sesuai dengan pendapatnya sendiri.” “Bukan begitu, Kakang. Seorang istri tidak harus membenarkan kata-kata suaminya. Tetapi ia dapat saja memberikan pertimbangan-pertimbangan berdasarkan nuraninya.” Dahi Swandaru nampak berkerut. Dengan nada tinggi ia pun bertanya, “Jika sikap kita berbeda?” “Aku dapat menyatakan pendapatku, Kakang. Jika pedapat kita berbeda, itulah perbedaan di antara kita. Bukankah pendapat kita tidak harus selalu sama?” “Jika aku berkeras dengan pendapatku, dan kau berkeras dengan pendapatmu, apa yang akan terjadi?” “Bukankah kita dapat berbicara?” “Jika kita tahu bahwa pembicaraan kita tidak akan sampai pada satu titik pertemuan, buat apa kita membuang-buang waktu untuk berbicara?” Wajah Pandan Wangi menjadi tegang. Namun Ki Gede-lah yang kemudian berkata, “Jangan terjebak ke dalam prasangka yang tidak menguntungkan seperti itu, Ngger. Semuanya tentu dapat dicari jalan untuk mempertemukan pendapat yang berbeda.” “Belum tentu, Ayah. Kita sekarang akan menghadapi perbedaan pendapat yang sulit untuk dipertemukan. Titik temu itu hanya akan dapat terjadi jika salah satu di antaranya menyingkirkan pendapatnya.” “Nah, sebaiknya kita tidak usah berandai-andai. Sekarang, persoalan apakah yang sedang kau hadapi. Kita akan membicarakannya dengan hati yang dingin.” “Persoalannya sudah kita ketahui bersama, Ayah. Aku berniat untuk memohon kepada Mataram agar Sangkal Putung ditetapkan menjadi sebuah tanah perdikan.” Ki Gede menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Jika kita berbeda pendapat, marilah kita lihat untung ruginya dari pendapat kita masing-masing. Berdasarkan pertimbangan nalar yang bening, kita cari titik temu yang paling baik.” “Tidak ada tawar-menawar lagi, Ayah.” “Bukan tawar-menawar. Tetapi landasan-landasan dari jalan pikiran kita masing-masing. Jika kita dapat memahami landasan jalan pikiran kita masing-masing, maka kita tentu akan menemukan jalan terbaik untuk keluar dari perbedaan pendapat itu.” “Aku sudah beberapa kali mengutarakan landasan jalan pikiranku, kenapa aku harus sampai pada satu langkah yang menentukan, untuk menjadikan Sangkal Putung sebuah tanah perdikan.” Pandan Wangi pun kemudian menyela, “Tetapi pada pelaksanaannya, kita tidak dapat sekedar berpegang pada landasan berpikir kita sendiri. Tetapi kita juga harus mencoba mengerti landasan berpikir orang-orang Mataram.” “Kita tidak perlu menduga-duga. Biarlah orang Mataram berpikir menurut landasan pikiran orang Mataram. Kemudian dengan landasan pikiran itu, mereka akan menjawab surat permohonanku.” Pandan Wangi masih akan menjawab. Tetapi ia pun kemudian teringat pesan Sekar Mirah, bahwa sebaiknya ia tidak usah menyanggah, agar tidak terjadi salah paham. Karena itu, maka Pandan Wangi pun memilih untuk diam. Sementara itu, Swandaru pun berkata selanjutnya, “Jika besok aku pergi ke Mataram, maka aku akan mohon Ayah dan Kakang Agung Sedayu untuk menyertaiku. Tidak untuk menarik surat permohonan itu, tetapi untuk menekan orang-orang Mataram agar permohonanku itu dipenuhi. Tidak perlu menunggu Panembahan Senapati itu sembuh. Jika harus dikeluarkan surat kekancingan, maka surat kekancingan itu dapat ditandatangani oleh Ki Patih Mandaraka.” “Seharusnya kau tahu kelemahan-kelemahan dari keinginanmu itu, Swandaru. Aku tidak mengerti, kenapa kau tidak mau melihatnya. Kau desak kami dalam satu pembicaraan yang tergesa-gesa, agar kau sendiri tidak sempat melihat apa yang sebenarnya dapat kau lihat.” Jantung Swandaru rasa-rasanya tersentuh oleh kata-kata Ki Gede. Tetapi ia tidak ingin sempat merenungi kata-kata itu. Karena itu, maka katanya, “Sudahlah, Ayah. Tidak ada pertimbangan apapun lagi. Besok kita pergi ke Mataram. Sementara itu, aku minta Pandan Wangi mempersiapkan diri menghadapi kemungkinan buruk karena sikap orang-orang Mataram.” “Maksudmu?” “Ayah. Permohonanku itu dapat diterima dan dapat ditolak. Apa yang akan kita lakukan jika permohonan kita ditolak? Kita tidak mempunyai pilihan lain. Jika permohonan kita ditolak, maka kita akan memaksakan kehendak kita itu. Jika perlu dengan kekerasan.” “Kakang?” suara Pandan Wangi meninggi. “Kita tidak mempunyai pilihan lain, Pandan Wangi. Kau juga tidak mempunyai pilihan lain selain mendukung perjuanganku.” “Apa yang sebenarnya telah terjadi dengan kau, Kakang?” “Apa? Apa yang terjadi atas diriku? Aku mewakili satu batasan waktu bagi Kademangan Sangkal Putung. Jika aku tidak berhasil membuat Sangkal Putung menjadi sebuah tanah perdikan, maka aku akan merasa bersalah bagi anak cucu yang akan hidup di Sangkal Putung kemudian. Apa yang dapat kita tinggalkan bagi anak cucu? Apakah masa hidup kita tidak meninggalkan arti apa-apa bagi anak cucu?” “Banyak yang dapat kita tinggalkan bagi anak cucu kita, selain ketetapan bahwa Sangkal Putung menjadi sebuah tanah perdikan, Kakang,” berkata Pandan Wangi. “Kita tidak akan membicarakannya. Aku sudah menetapkan bahwa Sangkal Putung harus menjadi tanah perdikan.” Wajah Pandan Wangi terasa menjadi panas. Demikian pula telinga Ki Gede Menoreh. Sementara itu, Swandaru pun berkata selanjutnya, “Pandan Wangi, jika kita harus menekan Mataram dengan kekerasan, maka kita harus menyusun rencana dengan sebaik-baiknya. Kita tidak akan dapat begitu saja melakukannya. ” “Siapakah yang kau maksud dengan kita, Ngger?” bertanya Ki Gede, “Kau dengan Pandan Wangi, atau Sangkal Putung dan Tanah Perdikan Menoreh?” “Aku dan Pandan Wangi. Juga Sangkal Putung dan Tanah Perdikan Menoreh.” “Jika yang kau maksud kau dan Pandan Wangi, maka silahkan kalian membicarakannya. Tetapi jika itu menyangkut Tanah Perdikan Menoreh, maka aku adalah Kepala Tanah Perdikan ini.” “Aku tahu, Ayah. Tetapi Pandan Wangi adalah anak Kepala Tanah Perdikan Menoreh, la satu-satunya anaknya.” “Meskipun Pandan Wangi adalah satu-satunya anakku, tetapi segala keputusan yang menyangkut Tanah Perdikan Menoreh adalah wewenangku.” “Jadi apa artinya Pandan Wangi bagiku, jika ia tidak dapat mendukung perjuanganku? Apa artinya aku mempunyai seorang mertua yang menjadi Kepala Tanah Perdikan, jika ia tidak dapat mendukung satu pencapaian cita-cita yang tinggi? Bukankah lebih baik aku tidak mempunyai keluarga di Tanah Perdikan Menoreh?” Dada Ki Gede bagaikan diketuk dengan landean tombak. Tetapi sebagai orang tua ia tidak segera mengambil sikap menuruti gejolak perasaannya. Ia masih mengingat kepentingan Pandan Wangi, yang pada saat itu mengatupkan giginya rapat rapat. Ki Gede-lah yang kemudian berbicara, “Kita menunggu Angger Agung Sedayu. Mungkin Ki Lurah itu mempunyai pikiran yang lebih jernih dari kita semuanya.” “Baik,” berkata Swandaru, yang sudah benar benar menjadi seperti orang yang sedang mabuk, “aku akan menunggu Kakang Agung Sedayu. Tetapi jangan berharap bahwa pendirianku akan berubah.” “Sekarang, biarlah Angger Swandaru beristirahat saja dahulu. Mungkin Angger Swandaru akan pergi ke pakiwan. Nanti badannya akan segera menjadi segar kembali.” Dalam pada itu, Sekar Mirah dan Rara Wulan menjadi gelisah di rumah. Dipanggilnya Glagah Putih untuk menemani mereka berbincang. “Apa yang sebenarnya telah terjadi dengan Kakang Swandaru?” bertanya Sekar Mirah. Glagah Putih dengan ragu-ragu bertanya, “Apakah aku diijinkan pergi ke rumah Ki Gede?” “Jangan. Kau di sini saja. Kita menunggu Ki Jayaraga dan Empu Wisanata.” Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Namun ia pun kemudian berkata, “Jika kita di sini saja, kita tidak tahu perkembangan pembicaraan mereka.” “Biarlah nanti Kakangmu Agung Sedayu saja-lah yang datang ke sana. Itupun harus menunggu jika ia dipanggil. Jika tidak, maka kita tidak berhak mencampuri persoalan Kakang Swandaru dengan Mbokayu Pandan Wangi.” “Tetapi bukankah Mbokayu Sekar Mirah pernah mencampurinya?” “Tetapi dalam suatu keadaan yang khusus.” “Jika keadaan seperti itu terulang kembali?” Sekar Mirah memandang Glagah Putih dengan tajamnya. Namun kemudian iapun berdesis, “Mudah-mudahan tidak.” Glagah Putih terdiam. Baru beberapa saat kemudian, Agung Sedayu datang dari baraknya. Demikian ia melihat Sekar Mirah, Rara Wulan dan Glagah Putih menyongsongnya dengan wajah gelisah, maka Agung Sedayu itu pun berkata, “Ada apa?” “Silahkan naik dahulu, Kakang,” jawab Sekar Mirah. Glagah Putih-lah yang menerima kuda Agung Sedayu itu dan membawanya ke kandang. “Minumlah, Kakang,” Sekar Mirah pun mempersilahkan, setelah menghidangkan semangkuk minuman hangat. “Apa yang telah terjadi?” bertanya Agung Sedayu. “Kakang Swandaru telah datang di rumah Ki Gede. Ia memanggil Pandan Wangi untuk menemuinya, tetapi sendiri. Aku, Kakang dan yang lain tidak boleh pergi bersama Pandan Wangi.” “Ada apa lagi dengan Adi Swandaru itu? Apakah kedatangannya di Mataram mendapat sambutan yang sangat buruk?” “Kita akan pergi ke sana, Kakang?” “Ya.” “Tetapi kita harus menunggu dipanggil. Tanpa dipanggil kita, tidak dapat datang ke rumah Ki Gede.” “Jika perlu, apa salahnya kita pergi menemui Swandaru?” Sekar Mirah menarik nafas dalam-dalam. “Apakah Ki Jayaraga sudah pulang?” bertanya Agung Sedayu pula. “Belum.” “Kita menunggu keterangannya. Mudah mudahan orang-orang tua itu tidak kelelahan di jalan dan tertidur di bawah pohon yang rindang.” “Ah. Tentu tidak. Mereka tahu, tugas yang mereka emban terhitung tugas yang penting.” “Baiklah. Kita menunggu keduanya, sambil menunggu dipanggil oleh Ki Gede.” Beberapa saat mereka masih berbicara. Glagah Putih yang ikut pula duduk bersama merek,a juga menunjukkan kecemasannya. Mereka tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi dengan Swandaru. Tetapi sikap Swandaru itu benar-benar mendebarkan. Sampai saatnya senja turun, belum ada utusan dari Ki Gede untuk memanggil Agung Sedayu dan Sekar Mirah. Karena itu. maka keduanya pun menjadi semakin gelisah. Apakah Swandaru berselisih dengan Pandan Wangi sehingga sampai pada puncaknya, atau bahkan dengan Ki Gede Menoreh, atau apapun mungkin saja dapat terjadi. Dalam pada itu, ketika hari menjadi gelap, maka dua ekor kuda berderap di sepanjang jalan di muka rumah Agung Sedayu. Keduanya berhenti di depan regol. “Agaknya Ki Jayaraga dan Empu Wisanata,” desis Agung Sedayu. Glagah Putih-lah yang membuka pintu pringgitan. Sebenarnyalah yang datang adalah Ki Jayaraga dan Empu Wisanata. “Marilah, Ki Jayaraga, marilah Empu,” Glagah Putih mempersilahkan. Keduanya pun mengikat kuda mereka di patok-patok yang tersedia di sebelah pendapa. Rasa-rasanya mereka tidak sempat membawa kuda-kuda mereka ke kandang. Demikian mereka masuk, Sukra-lah yang kemudian menuntun kuda-kuda itu ke belakang, sambil bergeremang, “Orang-orang seisi rumah ini menjadi semakin malas. Biasanya mereka langsung membawa kuda-kuda ke kandang, sekarang mereka biarkan saja kuda-kuda itu di halaman. Lebih-lebih lagi Empu Wisanata. Ia meminjam kuda dan tidak mau mengembalikan ke kandang.” Namun dalam pada itu, Ki Jayaraga dan Empu Wisanata sudah duduk di ruang dalam bersama Agung Sedayu, Sekar Mirah, Glagah Putih dan Rara Wulan. “Apa yang Ki Jayaraga dan Empu Wisanata lihat?” Ki Jayaraga berpaling kepada Empu Wisanata, sementara itu Empu Wisanata pun berkata, “Silahkan Ki Jayaraga saja-lah yang menyampaikannya.” Ki Jayaraga menarik nafas dalam-dalam. Sementara itu Agung Sedayu dan yang lain-lain menunggu dengan jantung yang berdebar-debar. “Ki Lurah,” berkata Ki Jayaraga, “apakah aku sebaiknya mengatakan apa adanya?” “Ya. Sudah tentu, Ki Jayaraga.” “Yang diduga Empu Wisanata ternyata benar,” berkata Ki Jayaraga, “yang disebut Ki Ambara itu pernah dikenalnya berada di dalam lingkungan kelompok Ki Saba Lintang. la seorang yang sangat berpengaruh dan berilmu tinggi ” “Apakah Ki Ambara itu ikut menyerang Tanah Perdikan Menoreh beberapa saat yang lalu?” Ki Jayaraga menggeleng. Katanya, “Tidak. Ki Ambara tidak ada di antara mereka yang datang menyerang Perdikan Menoreh.” “Bagaimana Empu Wisanata yakin, bahwa Ki Ambara itu termasuk salah seorang yang berada di dalam lingkungan kelompok Ki Saba Lintang?” “Aku dapat mengenalinya, Ki Lurah,” sahut Empu Wisanata, “aku berada di depan rumahnya sebagaimana dikatakan oleh Nyi Pandan Wangi. Aku melihat orang itu. Sementara Ki Jayaraga sempat masuk ke dalam halaman rumahnya.” “Bagaimana Ki Jayaraga dapat masuk?” “Ki Jayaraga telah membeli sepikul dawet cendol, sekaligus dengan pikulannya.” Yang mendengar jawaban itu sempat juga tersenyum, betapapun jantung mereka dicengkam oleh persoalan yang sedang mereka hadapi. “Ki Lurah,” berkata Ki Jayaraga, “aku minta Nyi Lurah juga tidak terkejut. Jika hal ini aku sampaikan juga, niatku semata-mata agar Ki Lurah dan Nyi Lurah mendapat gambaran yang utuh tentang Angger Swandaru.” “Katakan, Ki Jayaraga,” justru Sekar Mirah-lah yang menyahut. Ki Jayaraga menarik nafas dalam-dalam. Dengan nada dalam ia pun kemudian berkata, “Di rumah itu terdapat seorang perempuan muda yang cantik. Agaknya perempuan itu tidak pernah dilihat oleh Nyi Pandan Wangi.” “Perempuan cantik?” ulang Sekar Mirah yang terkejut, sehingga ia beringsut setapak maju. “Ya, Nyi Lurah. Perempuan cantik itu keluar dari rumah Ki Ambara membeli dawet cendolku. Ia pun mengatakan bahwa jarang sekali ada orang berjualan dawet cendol lewat jalan itu. Aku mengambil kesimpulan, bahwa perempuan itu tinggal di rumah itu pula. Karena waktu kami yang sempit, maka kami tidak sempat mengetahui apakah perempuan itu mempunyai hubungan dengan Angger Swandaru atau tidak. Tetapi Empu Wisanata sempat melihat Angger Swandaru keluar dari regol halaman rumah itu.” Keringat dingin mengalir di punggung Sekar Mirah. Dugaan-dugaan, perhitungan dan firasat itu ternyata mengandung kebenaran. Memang ada orang lain yang mempunyai pengaruh yang sangat kuat terhadap Swandaru. Hubungannya dengan pedagang kuda yang namanya dapat diingat oleh Empu Wisanata, telah sedikit membuka kabut yang menyelimuti sikap dan tindakan-tindakan yang diambil oleh Swandaru. Keyakinannya yang terasa rapuh, serta kebingungannya menghadapi alasan-alasan yang mendasar dalam setiap pembicaraan tentang tanah perdikan, menunjukkan bahwa gagasan itu memang bukan gagasan Swandaru sendiri. Tiba-tiba saja Sekar Mirah itu pun berkata, “Kita pergi ke rumah Ki Gede. Aku akan berbicara dengan Kakang Swandaru.” “Sabarlah, Mirah,” cegah Agung Sedayu, “darah kita tidak boleh terlalu cepat menggelegak. Kita masih belum mengetahui apa yang dikatakan oleh Adi Swandaru itu kepada Pandan Wangi. Kita harus bersabar. Mengamati persoalannya dengan hati yang terang. Jika sebelumnya hati kita sendiri sudah keruh, maka persoalannya akan menjadi semakin kusut.” Sekar Mirah menarik nafas dalam-dalam. Sambil mengangguk kecil ia pun berkata, “Ya, Kakang, rasa-rasanya hatiku seperti tersentuh api.” “Itulah yang aku cemaskan,” berkata Ki Jayaraga, “tetapi aku harus mengatakannya, jika kita ingin mendapat gambaran yang utuh, apa yang sebenarnya telah terjadi dengan Angger Swandaru.” “Bukankah kita harus menunggu seseorang datang memanggil kita?” bertanya Agung Sedayu. Sekar Mirah mengangguk-angguk. “Di rumah Ki Gede pun kita tidak boleh kehilangan penalaran kita, Mirah. Jika kehadiran seorang perempuan di rumah Ki Ambara itu didengar oleh Pandan Wangi, jantungnya akan terluka parah. Lukanya yang lama akan kambuh kembali, ditambah dengan luka barunya yang lebih dalam. Karena itu, maka kita pun harus mengingatnya. Jika tidak perlu, kita tidak akan berbicara tentang perempuan itu di hadapan Pandan Wangi.” Sekar Mirah masih mengangguk-angguk. “Nah, sekarang kita tinggal menunggu. Kapan kita dipanggil oleh Ki Gede,” berkata Agung Sedayu kemudian. Tetapi ternyata yang datang kemudian bukan Prastawa atau seorang pengawal yang bertugas di rumah Ki Gede. Yang datang kemudian justru Swandaru dan Pandan Wangi, diiringi oleh Prastawa yang nampak tegang. “Marilah, silahkan Adi Swandaru, Pandan Wangi dan Prastawa. Marilah duduk di pringgitan,” Agung Sedayu yang menyongsong mereka sampai di halaman mempersilahkan. “Terima kasih, Kakang,” sahut Swandaru. Namun nada suaranya terdengar mengambang. Sejenak kemudian, Swandaru, Pandan Wangi dan Prastawa itu sudah duduk di pringgitan, ditemui oleh Agung Sedayu dan Sekar Mirah. Sedangkan yang lain masih tetap duduk di ruang dalam. “Kenapa mereka tidak dipersilahkan duduk di sini pula, Kakang?” berkata Swandaru. “Biarlah mereka di dalam bersama Ki Jayaraga, Adi,” jawab Agung Sedayu. Swandaru menarik nafas dalam-dalam. Dipandanginya lampu minyak yang sudah menyala di atas Angin berhembus semilir. Namun punggung baju Swandaru telah menjadi basah oleh keringat, “Aku sudah bersiap-siap untuk pergi ke rumah Ki Gede jika aku dipanggil. Demikian pula Sekar Mirah yang sudah tidak sabar lagi. Ternyata malah kau yang datang kemari, Adi.” “Aku-lah yang mempunyai keperluan. Karena itu, aku-lah yang datang kemari.” “Aku merasa gelisah sejak Pandan Wangi kau panggil tadi, Kakang. Tetapi aku masih harus menunggu Kakang Agung Sedayu.” “Aku memang hanya ingin berbicara dengan Pandan Wangi lebih dahulu, Sekar Mirah. Setelah pembicaraanku dengan Pandan Wangi mendapat kesepakatan, maka aku baru akan berbicara dengan Kakang Agung Sedayu dan Sekar Mirah. ” “Nampaknya ada yang sangat penting, Adi Swandaru.” “Jangan berpura-pura tidak tahu, Kakang,” sahut Swandaru. Agung Sedayu mengerutkan dahinya. Tetapi ia masih juga tersenyum sambil berdesis, “Aku tidak berpura-pura, Adi. Aku memang tidak tahu, apakah masih ada yang penting yang harus dibicarakan. Menurut dugaanku, setelah kau tadi pergi ke Mataram dan mencabut surat permohonanmu, maka tidak ada lagi masalah yang membuatmu gelisah.” “Aku tidak pergi ke Mataram.” “He? Kenapa?” “Aku mengambil keputusan lain, Kakang. Aku telah membatalkan niatku untuk menarik kembali surat permohonan itu.” Agung Sedayu menarik nafas panjang, sementara Sekar Mirah nampak menjadi gelisah sekali. Rasa-rasanya Sekar Mirah ingin membiarkan gejolak perasaannya meloncat keluar. Tetapi ia berusaha untuk tidak mendahului suaminya. “Kenapa pendirianmu berubah lagi, Adi Swandaru?” “Aku sudah kepalang basah, Kakang. Rasa-rasanya aku bukan laki-laki, jika aku datang menghadap para pemimpin di Mataram untuk menarik surat permohonan itu.” “Adi Swandaru. Kenapa kau berpikir bahwa menarik surat permohonan itu dapat dianggap bukan laki-laki?” “Aku sudah memutuskan untuk tidak menarik surat permohonanku itu.” “Adi. Kita dapat menilai ulang, apakah untung ruginya jika kau mengajukan permohonan untuk menetapkan Sangkal Putung menjadi sebuah tanah perdikan.” “Tidak, Kakang. Aku sudah memutuskan untuk tidak membicarakannya lagi. Aku datang ke Tanah Perdikan untuk mengajak Kakang Agung Sedayu dan Ki Gede untuk pergi ke Mataram. Aku minta Kakang Agung Sedayu dan Ki Gede memperkuat tuntutanku, agar Sangkal Putung dijadikan sebuah tanah p.” Sekar Mirah yang mendengar jawaban Swandaru itu beringsut sejengkal, namun Agung Sedayu dengan cepat mendahuluinya, “Adi Swandaru. Jika kau ingin mengajak aku dan Ki Gede Menoreh pergi ke Mataram, apakah kau kira kedatangan kami itu akan berpengaruh terhadap para pemimpin di Mataram?” “Tentu, Kakang. Aku tahu bahwa Kakang Agung Sedayu dan Ki Gede mempunyai pengaruh yang besar terhadap para pemimpin di Mataram.” “Seandainya kami mempunyai pengaruh yang besar, apakah kau kira para pemimpin itu berani mengambil keputusan?” “Tentu, kenapa tidak? Jangan berbicara lagi tentang Panembahan Senapati yang sakit. Yang sakit biarlah sakit. Persoalan Sangkal Putung harus berjalan terus.” “Adi Swandaru. Apakah Ki Gede sudah mengambil keputusan untuk pergi ke Mataram?” “Tergantung kepadamu, Kakang. Jika kau bersedia, maka Ki Gede pun akan bersedia.” “Tetapi bukankah kita sudah sepakat, bahwa kau akan menarik surat permohonanmu?” “Jangan melingkar-lingkar begitu, Kakang. Sudah aku katakan, aku tidak mau berbicara lagi tentang surat itu. Niatku sudah bulat. Pergi ke Mataram bersama Ki Gede dan Kakang Agung Sedayu.” Tiba-tiba saja Sekar Mirah, yang tidak tahan lagi, bertanya, “Siapakah yang mendorongmu untuk berbuat seperti itu, Kakang?” Swandaru terkejut sekali mendengar pertanyaan Sekar Mirah. Namun kemudian dengan tegas ia pun berkata, “Yang mendorongku adalah rakyat Sangkal Putung. Terutama bagi masa depan. Mereka harus mendapat tempat yang lebih baik dari sekarang.” “Apakah dengan meningkatkan Sangkal Putung menjadi sebuah tanah perdikan itu satu-satunya cara untuk memberikan peninggalan yang berarti bagi masa depan?” “Sudah, sudah. Aku tidak akan berbicara apa-apa. Besok kita pergi ke Mataram.” Sekar Mirah masih ingin menjawab. Tetapi Agung Sedayu pun mendahuluinya, “Adi Swandaru. Seandainya, sekali lagi seandainya, aku dan Ki Gede bersedia berangkat, tetapi jawaban Mataram justru tidak, apa yang akan kita lakukan?” “Itu tidak adil. Mataram harus mengakui pengabdian dan bahkan pengorbanan yang pernah kami berikan. Korban harta, benda dan jiwa.” “Apapun pendapat kita, tetapi jika Mataram tetap tidak mau? Meskipun mereka kita sebut tidak adil, tidak tahu diri dan segala macam sifat dengki, mereka tetap pada sikap mereka?” Wajah Swandaru menjadi merah. Sambil menggeretakkan giginya ia pun berkata, “Kakang. Aku sudah kepalang basah. Aku sudah menetapkan bahwa Sangkal Putung harus menjadi tanah perdikan. Jika Mataram tidak mau menetapkan Sangkal Putung menjadi tanah perdikan, maka biarlah aku sendiri yang menetapkan Sangkal Putung menjadi tanah perdikan.” “Kalau Mataram tidak mau mengakuinya?” “Aku-lah yang akan menentukan, apakah Mataram akan mengakuinya atau tidak.” “Kakang,” suara Sekar Mirah meninggi, “apa maksudmu?” “Jika Mataram menolak, aku tidak mempunyai pilihan lain. Aku akan datang ke Mataram dan memaksa para pemimpin Mataram mengakui, atau mengusir mereka, sehingga aku-lah yang berhak untuk menentukan, mengakui atau tidak mengakui.” “Kakang!” Sekar Mirah bahkan hampir berteriak, “Apakah kau berkata sebenarnya?” “Aku berkata sebenarnya, Sekar Mirah. Aku datang untuk membuat satu pembicaraan. Juga jika Mataram menolak.” “Kakang akan memberontak?” “Apa boleh buat.” “Kakang akan menyeret Ki Gede, Kakang Agung Sedayu dan Ayah, Demang Sangkal Putung?” “Ya. Aku sudah menghimpun kekuatan yang cukup. Jika Tanah Perdikan Menoreh dan Ki Lurah Agung Sedayu bersama pasukannya mendukung aku, maka Mataram tidak lebih dari sebuah ranti kecil yang tinggal memijatnya.” “Kakang, apakah Kakang masih waras?” Sekar Mirah berteriak lebih keras. Swandaru menjadi sangat tegang. Dipandanginya Sekar Mirah dengan sorot mata yang memancarkan kemarahan. Katanya, “Kau tahu siapa aku, Mirah?” “Ya. Kau anak Demang Sangkal Putung.” “Siapa yang dilahirkan lebih tua di antara kita? Dan siapakah yang dilahirkan menjadi laki-laki?” “Persoalannya bukan siapa yang lebih tua dan siapakah yang laki-laki. Tetapi siapakah yang masih waras dan siapakah yang sudah tidak waras lagi.” “Sekar Mirah!” bentak Swandaru, “Kau jangan membuat aku marah.” Sekar Mirah masih akan menjawab, tetapi Agung Sedayu telah memotongnya, “Kita masih mempunyai kesempatan untuk berbicara. Bukankah kita bukan kanak-kanak yang berebut kemiri dalam permainan jirak yang kacau?” Sekar Mirah mengatupkan giginya rapat-rapat. Tetapi ia mencoba menahan dirinya, meskipun dadanya justru terasa sakit. Sementara itu, Pandan Wangi tidak mengucapkan sepatah kata pun. Namun perempuan yang perkasa, yang selalu membawa pedang rangkap di lambung kiri dan kanannya jika ia berada di punggung kuda yang berlari kencang di bulak-bulak persawahan itu, mengusap matanya yang basah. “Adi Swandaru,” berkata Agung Sedayu kemudian. la masih tetap dapat menguasai dirinya, sehingga kata-katanya pun tidak terasa melonjak-lonjak, “marilah kita berbicara dengan baik. Apapun yang bergejolak di dalam jantung kita, tetapi kita bukan anak-anak lagi. Kita adalah orang-orang yang sudah mendekati masa surut menjelang senja. Apakah pantas jika kita berbicara dengan wajah yang merah dan dengan darah yang mendidih di dalam dada kita masing-masing?” “Kau selalu berkata begitu,” potong Swandaru, “sekarang sudah bukan waktunya lagi, Kakang. Jangan mencoba menghembuskan tembang-tembang merdu seperti seorang perempuan sedang menidurkan anaknya. Jika jantung kita bergejolak, biarlah bergejolak. Kita harus bersikap jujur terhadap diri kita sendiri. ” “Adi Swandaru. Apakah kau juga jujur terhadap dirimu sendiri? Tidak biasanya pendirianmu rapuh seperti sekarang ini. Kau adalah seorang yang berpegang pada keyakinan yang teguh. Tetapi tidak sekarang ini. Hatimu nampak begitu lemah, dan tidak berpijak pada alas pendirian yang kuat. Setiap kali pendirianmu berpaling. Berapa kali kau berubah pendirian. Itu satu pertanda, bahwa gagasan tentang tanah perdikan itu tidak datang dari dirimu sendiri.” “Jangan terlalu banyak berbicara, Kakang, suaramu membuat telingaku sakit. Kau tidak mempunyai pilihan lain kecuali mendukung permohonanku kepada para pemimpin di Mataram.” Tetapi Agung Sedayu justru tertawa. Katanya, “Kau jangan memaksa dirimu sendiri. Aku tahu, bahwa kau tidak mau mendengar pendapat orang lain, karena nuranimu sendiri sependapat dengan pendapat Ki Gede, pendapatku, pendapat Sekar Mirah, dan pendapat Pandan Wangi.” “Cukup! Cukup, Kakang Agung Sedayu! Sekarang jawab pertanyaanku. Besok kau mau pergi ke Mataram atau tidak?” Jawab Agung Sedayu menggetarkan jantung Swandaru. Biasanya Agung Sedayu tidak pernah berkata setegas itu. Namun saat itu, Agung Sedayu menjawab singkat, “Tidak. Aku tidak mau pergi ke Mataram bersamamu untuk kepentingan yang tidak masuk akal itu.” Sejenak Swandaru tercenung. Dipandanginya Agung Sedayu dengan sorot mata yang menyala. Ia tidak mempunyai pilihan lain, kecuali jalan terakhir yang harus ditempuhnya. Menantang Agung Sedayu untuk mengadu kemampuan ilmu. “Kakang Agung Sedayu,” berkata Swandaru, “kau adalah saudara tuaku. Tetapi kau tidak pantas untuk dihormati. Kau tidak mendukung perjuangan adik seperguruanmu, tetapi kau justru menghalanginya. Jika demikian, buat apa aku mempunyai saudara seperguruan kau, Kakang.” “Terserah kepadamu, Adi. Bagiku, kau adalah adik seperguruanku. Aku tidak akan pernah memutuskan hubungan itu. Meskipun kau tidak menganggap lagi aku sebagai saudara tua seperguruanmu, namun aku tidak akan dapat ingkar dari kenyataan, bahwa kita bersama-sama telah berguru kepada Kiai Gringsing, yang telah dipanggil kembali menghadap yang Maha Agung.” “Jika kau saudara tua seperguruanku, kau tentu mempunyai kelebihan dari aku.” “Tidak selalu, Adi Swandaru. Tidak selalu yang tua mempunyai kelebihan. Yang muda pun dapat saja mempunyai kelebihan.” “Kakang. Marilah kita tentukan, siapakah yang pantas menjadi saudara tua di antara kita. Jika kau menikah dengan adikku, maka setiap orang akan mengatakan bahwa kau adalah adik iparku. Tetapi karena kau mengaku bahwa kau saudara tua seperguruanku, maka aku pun menganggapmu sebagai saudara tua. Tetapi sekarang, marilah kita lihat, siapakah yang ilmunya lebih tinggi di antara kita. Yang ilmunya lebih tinggi itulah yang pantas disebut saudara tua.” “Maksudmu?” “Aku tantang kau, Kakang. Siapa yang kalah, harus tunduk kepada yang menang. Jika aku kalah, apapun yang kau perintahkan, akan aku lakukan. Tetapi jika kau yang kalah, maka kau harus tunduk Kau harus melakukan semua perintahku.” Pendapa rumah Agung Sedayu yang tidak begitu besar itu bagaikan bergetar. Agung Sedayu yang sudah menduga arah kata-kata dan sikap Swandaru, masih juga terkejut mendengar tantangan itu. Namun sebelum Agung Sedayu menjawab, tiba-tiba seorang anak muda muncul di halaman rumah itu. Sambil bertolak pinggang anak muda itu berkata, “Jangan kau tantang Kakang Agung Sedayu. Tantanglah aku, Glagah Putih. Jika aku kalah, aku akan terkapar mati di halaman ini. Tetapi jika kau kalah, maka kau akan aku ampuni.” Dengan serta-merta orang-orang yang duduk di pringgitan itu bangkit berdiri. Sementara itu, Ki Jayaraga telah berlari-lari mendekati Glagah Putih. Namun sebelum Ki Jayaraga mencapainya, Glagah Putih itu telah menghentakkan kekuatan ilmunya yang diwarisinya dari Ki Jayaraga. Kaki kanannya telah menghentak di atas tanah di halaman rumah Agung Sedayu itu. Glagah Putih telah menghentakkan segala kekuatan dan kemampuan ilmunya. Hentakan itu benar-benar-benar mengejutkan. Gejolak di dada Glagah Putih telah tertumpah tersalur menghentak bumi, sehingga rasa-rasanya bumi di seputar rumah Agung Sedayu itu pun bergetar. Ternyata Swandaru terkejut juga melihat dan merasakan betapa besarnya kekuatan anak muda itu dan betapa tinggi ilmunya. Namun Swandaru yang sangat yakin akan kemampuan diri itu pun berteriak pula, “Kau anak yang masih ingusan. Tarik kembali kata-katamu, atau aku benar-benar akan membunuhmu!” “Aku tidak akan menarik kata-kataku. Aku tantang kau, Swandaru Geni yang sombong, yang tidak tahu diri.” “Bagus! Aku akan membunuhmu malam ini. Besok aku akan menantang Kakang Agung Sedayu.” Ki Jayaraga yang sudah berdiri di samping Glagah Putih memegangi pundak anak muda itu, sambil berkata, “Kau tidak boleh berbuat seperti itu, Glagah Putih.” “Aku muak mendengar kata-katanya yang penuh dengan kesombongan, yang selalu menganggap Kakang Agung Sedayu bodoh, malas, lambat, dan apa lagi. Sekarang biarlah dibuktikan, siapakah yang bodoh, yang malas dan yang lambat itu.” “Tetapi kau tidak boleh mencampuri persoalan antara Kakangmu Agung Sedayu dan Ki Swandaru. Mereka adalah saudara seperguruan, sehingga biarlah mereka menyelesaikan persoalan mereka sendiri.” “Terakhir, aku dan Ayah Widura juga sudah diakui sebagai murid utama Kiai Gringsing. Itu berarti bahwa aku juga saudara seperguruan Kakang Agung Sedayu dan Kakang Swandaru. Karena itu pula, maka aku dapat ikut campur dalam persoalan yang timbul di antara murid-murid utama dari perguruan Orang Bercambuk.” “Jangan dicegah,” berkata Swandaru, “anak itu tidak pantas untuk tetap menjadi murid dari perguruan Orang Bercambuk. Karena itu, aku harus menyingkirkannya. Aku akan menerima tantangannya itu sekarang.” Pendapa dan halaman rumah Agung Sedayu itu menjadi tegang, Agung Sedayu pun menjadi bingung. Ia tidak dapat membiarkan Swandaru berperang tanding dengan Glagah Putih. Meskipun belum pasti, karena masih ada kemungkinan-kemungkinan lain yang dapat terjadi di dalam dunia olah kanuragan, namun menurut perhitungan Agung Sedayu, sulit bagi Swandaru untuk dapat mengalahkan Glagah Putih. Sementara itu, kemudaan Glagah Putih akan sangat berbahaya bagi Swandaru, sebagaimana gejolak di dalam dada Swandaru pun akan sangat berbahaya bagi Glagah Putih. Karena itu, maka Agung Sedayu itu tidak mempunyai pilihan lain. Ia harus mencegah agar Swandaru dan Glagah Putih tidak berbenturan di dalam perang tanding. Sekar Mirah dan Pandan Wangi pun menjadi sangat cemas. Hentakan kaki Glagah Putih yang marah itu telah memberikan isyarat kepada mereka, bahwa ilmu anak muda itu cukup tinggi. Anak muda yang sering bermain-main dengan Raden Rangga, yang diakui sebagai salah satu murid utama Kiai Gringsing, dengan penempaan diri serta mesu raga tanpa ada jemu-jemunya itu, telah menyimpan kekuatan serta tenaga dalam yang sangat besar. Dengan cemas Sekar Mirah pun berkisar mendekati Agung Sedayu sambil berdesis, “Kakang, tolong, Kakang. Jangan biarkan benturan ini terjadi.” Agung Sedayu tidak sempat berpikir panjang. Ia sendiri sama sekali tidak bermimpi untuk membenturkan ilmunya dengan Swandaru. Tetapi untuk mencegah benturan ilmu antara Swandaru dan Glagah Putih, maka Agung Sedayu itu pun kemudian berkata lantang, “Adi Swandaru. Kau masih terikat dengan tantanganmu kepadaku. Aku belum menjawab tantangan itu, kau tidak boleh menerima tantangan orang lain.” Wajah Swandaru menjadi tegang. Sementara itu, Glagah Putih pun berkata lantang, “Tidak, Kakang. Aku akan mewakili Kakang dalam perang tanding ini.” “Glagah Putih,” potong Ki Jayaraga, “kau harus mendengarkan kata-katanya. Ia adalah kakak sepupumu. Ia juga gurumu. Kau pun harus mendengar kata-kataku, jika kau masih menganggap bahwa aku adalah seorang dari gurumu.” “Anak itu tidak patut menjilat ludahnya kembali. Ia sudah menantang aku. Karena itu, ia pun harus menghadapi aku dalam perang tanding!” “Adi Swandaru,” sahut Agung Sedayu, “kau pun sudah menantang aku lebih dahulu. Karena itu, kau harus menghadapi aku lebih dahulu. Glagah Putih mungkin saja dapat menyebut dirinya mewakili aku. Tetapi ia bukan Lurah Prajurit dari Pasukan Khusus Mataram di Tanah Perdikan Menoreh. Bukankah yang kau perlukan antara lain kekuatan prajurit dari Pasukan Khusus itu, di samping pengawal Tanah Perdikan ini?” “Ya.” “Karena itu, kau harus melawan aku lebih dahulu. Aku terima syaratmu. Jika aku kalah, maka aku akan tunduk kepadamu, termasuk pasukan yang berada di bawah kekuasaanku. Sementara itu, menurut katamu, jika aku bersedia membantumu, Ki Gede Menoreh pun akan bersedia pula melakukannya. Tetapi jika aku menang, maka kau-lah yang harus tunduk kepadaku.” Swandaru memandang Agung Sedayu dengan tajamnya. Matanya pun kemudian menyala. Sambil tersenyum ia pun berkata, “Bagus, bagus Kakang. Kita akan memperbandingkan ilmu kita. Yang kalah akan tunduk kepada yang menang. Aku setuju bahwa kita akan melakukannya lebih dahulu. Baru kemudian aku akan membungkam mulut anak itu, agar ia tahu dimana ia harus berdiri.” “Tidak!” Glagah Putih menyahut, “Kita akan melakukannya lebih dahulu!” “Tidak, Glagah Putih! Bukan kau.” “Aku tahu, Kakang Agung Sedayu hanya ingin mencegah agar tidak terjadi benturan kekuatan antara aku dan Kakang Swandaru.” Ki Jayaraga-lah yang kemudian menyela, “Dengarkan kata-kata kakakmu, Glagah Putih.” “Kakang tidak akan pernah menerima tantangan seperti ini. Selama ini Kakang Agung Sedayu selalu mengekang diri. Jika Kakang Agung Sedayu harus berkelahi melawan Kakang Swandaru, ia tentu akan mengalah.” “Sekarang tidak!” bentak Ki Jayaraga, “Taruhannya terlalu besar untuk mengalah, Glagah Putih.” “Sebelumnya, biarlah Kakang Swandaru menakar kemampuan dirinya untuk menghadapi kemampuan Kakang Agung Sedayu,” Glagah Putih masih berkeras. “Ternyata apa yang dikatakan oleh kakangmu Agung Sedayu benar,” desis Ki Jayaraga. “Apa, Guru?” “Kau masih terlalu muda untuk mewarisi ilmu puncak Sigar Bumi. Secara wadag kau memang mampu menampung beban yang timbul karena ilmu itu. Tetapi secara jiwani, kau memang belum masak untuk memilikinya.” “Guru,” desis Glagah Putih. “Kau tidak dapat berbuat lain kecuali mendengarkan perintah kakangmu Agung Sedayu, yang juga gurumu.” Glagah Putih terdiam. Tetapi terdengar dadanya berdentangan semakin cepat. Namun dalam pada itu, Swandaru pun berkata, “Aku akan tetap menjajagi kemampuanmu. Tetapi setelah aku selesai dengan Kakang Agung Sedayu. Meskipun dunia ini mencegahmu, tidak sepatutnya kau urungkan tantanganmu.” “Guru,” berkata Glagah Putih, “Guru dengar kata-katanya?” “Tetapi kau harus menunggu.” Glagah Putih menggeretakkan giginya. Sementara itu, Swandaru pun berkata, “Sekarang aku akan pulang ke rumah Ki Gede. Besok pagi, kita akan bertemu, Kakang. Aku menunggumu di Pancuran Watu Item. Kau boleh membawa saksi siapapun juga. Aku juga boleh membawa saksi seberapa aku inginkan.” Agung Sedayu tidak menjawab, sementara Swandaru tidak menunggu lebih lama lagi. Sambil melangkah ia pun berkata, “Marilah Pandan Wangi, kita pulang.” Pandan Wangi seakan-akan telah kehilangan pribadinya. Ia berpaling memandang Sekar Mirah dengan mata yang berkaca-kaca. Namun Pandan Wangi itu pun kemudian melangkah mengikuti suaminya. Sejenak kemudian, Swandaru dan Pandan Wangi telah hilang di balik regol halaman rumah Agung Sedayu. Sementara itu beberapa orang yang berada di pendapa dan di halaman masih juga berdiri dengan tegang. Namun kemudian Agung Sedayu pun berdesis, “Marilah, kita kembali ke ruang dalam.” Glagah Putih masih berdiri dengan tegang di halaman. Ki Jayaraga-lah yang kemudian menarik lengannya sambil berkata, “Marilah. Kita duduk di ruang dalam.” Glagah Putih tidak menjawab. Tetapi kakinya melangkah naik ke pendapa, melintasi pringgitan masuk ke ruang dalam. “Aku tidak mempunyai pilihan,” desis Agung Sedayu. “Aku mengerti, Kakang.” “Mudah-mudahan segala sesuatunya dapat terkendali.” Glagah Putih menundukkan kepalanya. Ia harus berusaha untuk menahan diri. “Besok aku akan pergi ke Pancuran Watu Item. Pagi-pagi aku akan pergi ke barak. Pada saat matahari sepenggalah, aku sudah berada di rumah lagi. Kita akan bersama-sama pergi ke Pancuran Watu Item.” Tidak ada yang menjawab. Sementara itu Empu Wisanata yang masih berada di rumah itu pun bertanya, “Apakah kami besok boleh hadir?” “Maksud Empu Wisanata?” “Aku dan Dwani.” “Silahkan, Empu.” Empu Wisanata pun kemudian minta diri meninggalkan rumah Agung Sedayu itu. Sekar Mirah masih saja merasa tegang. Ia tahu apa yang akan terjadi. Meskipun demikian, kemungkinan lain pun dapat juga terjadi. Betapapun sabarnya Agung Sedayu, namun pada suatu saat Agung Sedayu pun dapat menjadi marah. Namun Sekar Mirah merasa bersyukur bahwa Swandaru tidak berbenturan langsung dengan Glagah Putih. Jika hal itu terjadi, maka ia tidak dapat membayangkan, siapakah yang akan terkapar di halaman rumah itu. Kedua-duanya tentu tidak akan mengekang diri lagi. Sementara itu, meskipun Glagah Putih masih muda, namun Sekar Mirah tahu bahwa tataran ilmunya pun sudah sangat tinggi. Demikian Swandaru dan Pandan Wangi sampai di rumah Ki Gede, maka Ki Gede pun menyongsong mereka dan mempersilahkan mereka duduk. Ki Gede menjadi semakin berdebar-debar melihat mata Pandan wangi yang berkaca-kaca. Swandaru-lah yang menceriterakan kepada Ki Gede hasil pembicaraannya dengan Agung Sedayu. “Besok kami akan bertemu di Pancuran Watu Item.” Ki Gede menarik nafas dalam-dalam. “Besok aku minta Ayah pergi ke Pancuran Watu Item, untuk menjadi saksi apa yang akan terjadi, agar Kakang Agung Sedayu tidak mengingkari janjinya. ” Ki Gede menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Kenapa kalian harus membenturkan ilmu kalian? Apakah tidak ada cara lain untuk mencari pemecahan?” “Sudah tidak ada jalan lain, Ayah. Tetapi cara ini cukup adil. Siapakah yang akan menang, ialah yang akan dipatuhi. ” Ki Gede hanya mengangguk-angguk saja. Sementara Swandaru pun berkata selanjutnya, “Sejak besok, Agung Sedayu itu bukan lagi saudara tuaku seperguruan. Ia harus mengakui kelebihanku. Tetapi akan terlambat bagi Agung Sedayu untuk menyesali kemalasannya, sehingga aku dapat melampaui kemampuannya.” Ki Gede meragukan pendapat Swandaru itu. Ia tahu bahwa Agung Sedayu berilmu sangat tinggi. Tetapi kemungkinan lain akan dapat terjadi. Beberapa saat kemudian, maka Swandaru pun berkata kepada Ki Gede, “Aku akan beristirahat, Ayah. Aku harus menjaga kemapanan tubuhku. Besok aku akan menunjukkan kepada Agung Sedayu, bahwa kemalasan dan keseganannya meningkatkan ilmunya, berakibat buruk bagi dirinya.” Ki Gede pun mengangguk sambil menjawab, “Baiklah. Beristirahatlah.” Setelah mencuci kakinya di pakiwan serta berganti pakaian, Swandaru pun membaringkan dirinya. Sambil tersenyum ia pun berkata kepada Pandan Wangi, “Pandan Wangi, kau besok akan menyaksikan, bahwa aku-lah yang pantas menjadi saudara tertua bagi murid-murid utama Kiai Gringsing. Besok pun aku akan menyatakan kuasaku sebagai saudara tua bagi Glagah Putih, yang telah berani menantangku.” “Apa yang akan kau lakukan atas anak itu, Kakang?” bertanya Pandan Wangi dengan suara bergetar. “Anak itu harus mohon maaf kepadaku. Jika ia berkeras kepala, maka aku tidak akan segan-segan menghukumnya dengan hukuman yang paling berat.” “Apakah maksud Kakang dengan hukuman yang paling berat?” “Aku tidak akan segan-segan membunuhnya.” “Kakang. Glagah Putih adalah adik sepupu Kakang Agung Sedayu. Jika kau membunuhnya, hubunganmu dengan Kakang Agung Sedayu akan dapat menjadi patah arang.” “Jangankan sepupu Agung Sedayu. Jika besok Agung Sedayu mengingkari janji, maka aku tidak akan segan-segan membunuhnya.” “Jika Kakang Agung Sedayu juga bersikap demikian?” “Tidak ada salahnya. Bagiku lebih baik tanpa Agung Sedayu, jika ia tidak mau membantuku.” Pandan Wangi terdiam. “Sekarang, aku akan tidur,” berkata Swandaru kemudian. Pandan Wangi masih saja berdiam diri. Ketika ia memandang wajah Swandaru yang telah memejamkan matanya, Pandan Wangi itu melihat seleret senyum di bibir Swandaru. Namun Pandan Wangi itu pun berdoa, agar Agung Sedayu masih tetap sebagaimana Agung Sedayu yang dikenalnya. Jika Agung Sedayu kehilangan kendali, Pandan Wangi tidak dapat membayangkan, apa yang akan terjadi dengan Swandaru. Berbeda dengan Swandaru yang segera tertidur, Agung Sedayu justru menjadi sulit untuk tidur. Bertarung untuk membuat perbandingan ilmu dengan adik seperguruannya yang akan terjadi esok pagi itu, sangat menggelisahkannya. Memang ada beberapa kemungkinan dapal terjadi. Namun Agung Sedayu tidak dapat meremehkan Swandaru, yang memang telah memiliki kemampuan ilmu cambuk sampai ke puncak. Menurut gelarnya, Agung Sedayu memang memiliki beberapa kelebihan. Tetapi dapat saja terjadi hal-hal di luar dugaan. “Tidurlah, Kakang,” desis Sekar Mirah, “Kakang perlu beristirahat. Bukankah Kakang besok harus bangun pagi-pagi, pergi ke barak lebih dahulu, baru pergi ke Pancuran Watu Item?” Agung Sedayu mengangguk. “Kakang,” desis Sekar Mirah, “aku yang memintakan maaf bagi Kakang Swandaru. Jika besok benturan ilmu itu terjadi, aku mohon Kakang masih dapat memaafkannya.” Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Swandaru adalah seorang yang berilmu sangat tinggi, Sekar Mirah. Ia telah mewarisi puncak kemampuan ilmu dari perguruan Orang Bercambuk. ” “Tetapi aku pun tahu, bahwa Kakang juga mempunyai ilmu yang sangat tinggi. Kakang sudah lebih dahulu menguasai puncak ilmu perguruan Orang Bercambuk. Bedanya, Kakang swandaru dengan sengaja menunjukkan bahwa ia telah menguasai puncak ilmu itu. sementara Kakang justru sengaja menyamarkannya. ” Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. “Tidurlah, Kakang,” berkata Sekar Mirah selanjutnya. Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia pun kemudian memejamkan matanya. Agung Sedayu bangun pagi-pagi sekali. Ia pergi ke baraknya lebih pagi dari biasanya. Ia hanya memberitahukan, bahwa hari itu ia mempunyai keperluan yang penting, sehingga ia tidak dapat berada di barak seperti biasanya. “Besok?” bertanya seorang pembantunya. “Mudah-mudahan besok aku dapat datang.” “Kenapa mudah-mudahan, Ki Lurah?” bertanya pembantunya yang lain. Agung Sedayu tersenyum. Katanya, “Tidak apa-apa.” Sementara itu, Glagah Putih menunggu kedatangan Agung Sedayu itu dengan gelisah. Sebenarnyalah bahwa ia ingin sekali dapat bertemu langsung dengan Swandaru yang sangat sombong itu. Sudah cukup lama ia menahan diri. Setiap kali ia mendengar Swandaru menilai Agung Sedayu, darahnya serasa mendidih di dalam dadanya. Ketika matahari naik, maka Agung Sedayu sudah berada di rumahnya lagi. Bersama Sekar Mirah, Agung Sedayu pun pergi ke Pancuran Watu Item. “Kalian dapat segera menyusul. Tetapi jangan menarik perhatian, agar tidak ada orang lain yang juga pergi ke Pancuran Watu Item untuk melihat perbandingan ilmu ini. Sebenarnyalah aku merasa malu.” Berkuda Sekar Mirah dan Agung Sedayu pun pergi ke Pancuran Watu Item di lereng perbukitan. Tempat itu memang sepi. Hampir tidak ada orang yang sampai ke tempat itu. Sebuah dataran yang agak luas membentang di dekat pancuran yang disebut Pancuran Watu Item, karena air yang mengalir dari pancuran itu jatuh di atas sebuah batu hitam yang besar, yang karena sudah berpuluh tahun ditimpa air dari pancuran itu, maka batu itu pun telah menjadi berlekuk agak dalam. Ketika Agung Sedayu sampai ke tempat itu, Swandaru dan Pandan Wangi telah berada di tempat itu pula, bersama Ki Gede Menoreh, Prastawa dan dua orang pemimpin pengawal Tanah Perdikan. “Aku kira kau tidak datang, Ki Lurah,” berkata Swandaru. Agung Sedayu mengerutkan dahinya. Dengan nada rendah Agung Sedayu bertanya, “Sebutan itu terdengar janggal di telingaku, Adi Swandaru.” “Aku sudah memutuskan, bahwa sejak hari ini aku tidak akan memanggilmu Kakang.” “Kenapa?” bertanya Agung Sedayu. “Kau akan memanggilku Kakang. Kau akan tunduk kepadaku, karena aku adalah orang pertama dari murid-murid utama dari perguruan Orang Bercambuk.” Agung Sedayu tidak menjawab. Sementara itu Empu Wisanata dan Nyi Dwani telah datang pula, hampir berbareng dengan Glagah Putih, Rara Wulan dan Ki Jayaraga. “Ki Lurah,” berkata Swandaru kemudian, “apakah kau sudah siap untuk memasuki arena?” “Sudah, Adi Swandaru,” jawab Agung Sedayu. Swandaru tertawa. Katanya, “Kau masih dapat memanggil aku Adi sekarang. Aku tidak berkeberatan, Ki Lurah, Tetapi sebentar lagi semuanya akan berubah.” Agung Sedayu masih saja berdiam diri. “Semua orang yang ada di sini akan menjadi saksi, siapakah di antara kami yang memiliki ilmu lebih tinggi. Seperti yang kita sepakati semalam, jika kau menang Ki Lurah, maka aku akan tunduk kepadamu. Tetapi jika aku yang menang, maka kau akan tunduk kepadaku. Kau harus ikut bersama aku dan Ki Gede ke Mataram untuk menekan para pemimpin di Mataram, agar mereka menyetujui permohonanku menjadikan Sangkal Putung sebuah tanah perdikan. Jika ternyata Mataram tidak mau juga menyetujui permohonanku, maka Mataram akan kita jepit dari dua arah. Dari timur dan dari barat. Di samping kekuatan yang ada di Sangkal Putung dan Tanah Perdikan Menoreh, maka beberapa perguruan yang besar akan bergabung bersama kita.” Agung Sedayu sama sekali tidak menjawab. “Marilah, Ki Lurah. Kita mempersiapkan diri.” Agung Sedayu mengangguk. Katanya, “Aku sudah siap.” Suasana pun menjadi tegang. Agung Sedayu dan Swandaru pun melangkah ke tengah-tengah tanah yang cukup lapang di dekat Pancuran Watu Item itu. “Ki Lurah, kau akan menyesali kemalasanmu. Bahkan sampai sekarang kitab peninggalan Guru kita masih ada padamu. Tetapi kau sama sekali tidak memanfaatkannya. Setiap kali kau bertempur dengan orang-orang berilmu tinggi, maka kau mengalami luka parah. Hanya karena kebetulan saja kau selamat sampai sekarang. Tetapi kali ini, kemalasanmu itu akan membuatmu mengalami perubahan besar dalam susunan keluarga murid utama Kiai Gringsing. Jika saja Guru menyaksikan perbandingan ilmu kali ini, maka Guru akan menjadi sangat kecewa kepadamu, Ki Lurah.” “Aku tidak malas, Adi Swandaru,” jawab Agung Sedayu, “aku sudah berusaha. Tetapi bukankah kemampuan seseorang itu terbatas, sehingga betapapun aku berusaha, tetapi hasilnya seperti yang akan kita lihat sekarang ini.” Swandaru tertawa. Katanya, “Jika Ki Lurah sudah merasa, apakah perbandingan ilmu ini perlu kita lanjutkan atau tidak? Jika Ki Lurah menyatakan kesediaannya tunduk kepadaku, maka aku pun tidak berkeberatan untuk mengurungkan perbandingan ilmu ini.” “Tidak, Adi Swandaru,” berkata Agung Sedayu, “kita tidak akan mengurungkannya. Apapun yang terjadi, kita semuanya akan menjadi saksi.” Swandaru mengerutkan dahinya. Namun kemudian sambil tertawa ia pun berkata, “Baiklah, Ki Lurah. Kau sendiri-lah yang akan mempermalukan dirimu sendiri. Kau akan berlutut di hadapanku, untuk mengaku bahwa aku-lah yang tertua di antara murid utama Kiai Gringsing. Untuk selanjutnya kau akan tunduk kepada perintahku.” Agung Sedayu tidak menjawab. Tetapi Agung Sedayu itu pun telah bersiap sepenuhnya untuk menghadapi Swandaru. Meskipun Agung Sedayu dapat menduga seberapa tinggi kemampuan Swandaru, tetapi Agung Sedayu sama sekali tidak merendahkannya. Agung Sedayu menganggap bahwa segala kemungkinan dapat saja terjadi di arena olah kanuragan. “Ki Lurah!” Swandaru itu pun berkata lantang, “Aku akan menunjuk Ki Gede sebagai saksi utama dan pelerai dalam pertarungan ini. Kau dapat menunjuk seorang di antara para saksimu untuk mendampingi Ki Gede.” “Aku percaya kepada Ki Gede,” berkata Agung Sedayu. “Aku kira Ki Gede sendiri sudah cukup. Yang lain akan menjadi saksi, apa yang akan terjadi nanti.” “Bagus. Jika demikian, bersiaplah.” Ki Gede menarik nafas dalam-dalam. Ia telah ditunjuk untuk menjadi saksi utama dan pelerai dalam pertarungan itu. Dengan hati yang berat, maka Ki Gede pun melangkah maju dan berdiri lebih dekat dengan arena pertarungan antara dua orang saudara seperguruan itu. Sejenak kemudian, maka Agung Sedayu dan Swandaru telah berdiri berhadapan. Beberapa langkah dari mereka berdua, Ki Gede berdiri termangu-mangu. “Ki Lurah,” berkata Swandaru, “aku akan mulai dari tataran yang terhitung rendah. Aku akan meningkatkan ilmuku tataran demi tataran sehingga akhirnya aku tahu, pada tataran manakah batas kemampuan Ki Lurah.” Swandaru telah sering menyinggung perasaan Agung Sedayu. Tetapi kata-katanya itu benar-benar telah menusuk jantungnya seperti ujung duri kemarung. “Baiklah, Adi Swandaru,” berkata Agung Sedayu, “aku tidak akan melakukan sebagaimana kau lakukan. Jika aku langsung sampai pada tataran puncak ilmu Orang Bercambuk, jangan salahkan aku.” Swandaru tertawa. Katanya, “Tentu tidak, Ki Lurah. Kau bebas melepaskan ilmumu pada tingkat yang kau kehendaki dan kau kuasai. Bahkan ilmu yang kau sadap dari siapapun. Juga yang kau warisi dari para pemimpin prajurit dari Pasukan Khusus, jika kau pernah mendapat latihan khusus pada saat kau diangkat untuk menjabat kedudukanmu yang sekarang.” “Baik, Adi Swandaru. Pada saat aku tidak dapat mengelak lagi seperti sekarang ini, maka aku akan mencoba untuk mengerahkan segenap kekuatan, kemampuan, tenaga dalam dan ilmuku untuk mempertahankan namaku, serta menghindarkan diri dari keharusanku tunduk kepada semua perintahmu.” Swandaru tertawa sambil berkata, “Keinginan, niat dan harapan saja tidak cukup, Ki Lurah. Dalam perbandingan ilmu, maka yang terpenting adalah penguasaan ilmu itu sendiri.” “Aku mengerti, Adi Swandaru.” “Bersiaplah.” Lalu Swandaru itu berkata kepada Ki Gede, “Aku akan mulai, Ki Gede.” “Baik,” desis Ki Gede, “mulailah.” Lalu katanya kepada Agung Sedayu, “Bersiaplah Ki Lurah.” Agung Sedayu pun menyahut, “Aku sudah siap, Ki Gede.” Demikianlah, maka kedua orang saudara seperguruan itu mulai bergeser. Mereka mulai mencari kesempatan untuk menyerang. Agung Sedayu yang tidak mau meremehkan lawannya itu benar-benar telah bersiap sejak awal. Diterapkannya ilmu kebalnya untuk melindungi dirinya dari kemungkinan buruk pada awal pertarungan itu. Dalam pada itu. orang-orang yang berada di Pancuran Watu Item itu menjadi tegang. Mereka akan menyaksikan pertarungan ilmu yang sangat tinggi dari dua orang saudara seperguruan. Glagah Putih telah menggeretakkan giginya. Ia menjadi tidak telaten melihat sikap Agung Sedayu. Ia ingin Agung Sedayu itu memberikan pukulan yang menentukan pada awal pertarungan, untuk menunjukkan tatarannya yang sebenarnya di mata Swandaru. Tetapi Agung Sedayu tidak melakukannya. Ia menunggu Swandaru mulai menyerang. Ia ingin melihat, di tataran yang manakah Swandaru itu akan mulai. Sejenak kemudian Swandaru mulai menyerang. Seperti yang dikatakannya, Swandaru mulai dari tataran yang terhitung rendah. Dengan semakin meningkatkan ilmunya, Swandaru akan dapat mengerti, pada tataran yang manakah puncak kemampuan Agung Sedayu itu. Ketika Swandaru itu mulai, maka Agung Sedayu benar-benar merasa tersinggung. Ia tidak pernah merasa direndahkan oleh adik seperguruannya itu sebagaimana saat itu. Swandaru mulai dari tataran awal dari ilmu perguruan Orang Bercambuk. “Kau boleh meremehkan aku,” berkata Agung Sedayu di dalam hatinya, “tetapi tidak serendah itu.” Karena itu. maka Agung Sedayu pun berniat untuk mengajari Swandaru untuk sedikit menghargainya. Demikianlah, maka sejenak kemudian pertarungan itu pun sudah benar-benar mulai, meskipun pada tataran mula sekali. Namun nampaknya Agung Sedayu tidak pernah berusaha untuk mengelakkan serangan-serangan Swandaru. Karena itu, maka serangan-serangan Swandaru itu pun dengan mudah dapat mengenai sasarannya. Beberapa kali serangan Swandaru mengenai Agung Sedayu, justru pada saat Swandaru baru mulai pada tataran awal dari ilmunya. Swandaru sendiri merasa heran. Betapapun rendahnya ilmu Agung Sedayu. tetapi ia tentu sudah berada di atas tataran itu. Swandaru itu pun mulai berpikir, apa yang dilakukan oleh Agung Sedayu itu. Beberapa kali tangan Swandaru sempat mengenai Agung Sedayu, justru di tempat-tempat yang berbahaya. Ketika Swandaru mengayunkan tangannya mendatar, maka tangannya itu langsung menyambar kening. Ayunan tangan Swandaru itu cukup keras membentur kening Agung Sedayu. Namun ternyata Agung Sedayu itu sama sekali tidak terguncang. Ia bahkan masih saja melangkah maju mendekati Swandaru. Dengan tangkasnya Swandaru pun menyerang Agung Sedayu dengan kakinya. Serangan yang keras itu tepat mengenai perut Agung Sedayu. Agung Sedayu itu sama sekali tidak berusaha untuk mengelak atau menangkis serangan itu. Dibiarkannya kaki Swandaru itu mengenai perutnya. Namun benturan kaki Swandaru yang mengenai perutnya itu sama sekali tidak menggoyahkannya. Bahkan ketika Agung Sedayu justru melangkah maju, maka Swandaru itu pun bergeser surut. Sambil mengangguk-angguk Swandaru pun berkata, “Aku tahu, Ki Lurah. Kau ingin menunjukkan betapa besarnya daya tahan tubuhmu, Serangan-seranganku sama sekali tidak menggoyahkanmu.” “Nampaknya kau belum benar-benar mulai, Adi Swandaru. Aku masih menunggu kapan kau akan mulai.” Swandaru mengeretakkan giginya. Katanya dengan nada geram, “Kau jangan mencoba meremehkan aku, Ki Lurah. Aku memang belum mulai.” “Bukankah aku juga mengatakan bahwa kau masih belum mulai? Nah, aku sudah siap jika kau benar-benar ingin mulai. Meskipun barangkali aku malas untuk meningkatkan ilmuku, tetapi tentu aku sudah melewati tataran awal.” Swandaru tiba-tiba saja tertawa. Katanya, “Kau tersinggung, Ki Lurah?” “Tidak. Karena ilmumu pada tataran awal ini sama sekali tidak menyakiti kulitku.” Swandaru memandang Agung Sedayu dengan tajamnya, sementara Agung Sedayu pun berkata, “Agaknya justru kau-lah yang tersinggung, Adi Swandaru.” Swandaru tidak menjawab. Namun ia pun segera mempersiapkan diri. Agung Sedayu melihat sorot mata Swandaru yang menyala itu. Iapun segera mempersiapkan dirinya pula. Swandaru tentu tidak akan sekedar bermain-main lagi. Sejenak kemudian Swandaru pun mulai menyerang. Serangannya terasa lebih mantap dan lebih cepat. Namun Agung Sedayu masih merasakan betapa Swandaru itu merendahkannya. Meskipun Swandaru sudah meningkatkan tataran ilmunya, namun Agung Sedayu masih merasa dirinya sangat diremehkan. Pada pertarungan berikutnya, Agung Sedayu tidak saja mengetrapkan ilmu kebalnya. Tetapi Agung Sedayu benar-benar ingin mengajarinya agar Swandaru tidak terlalu meremehkannya. Karena itu maka ketika Swandaru mulai menyerangnya lagi, Agung Sedayu yang mengetrapkan ilmu yang sama pada tataran yang lebih tinggi, telah mendahuluinya. Seperti angin pusaran Agung Sedayu melanda Swandaru. Swandaru terkejut. Tetapi ia terlambat. Serangan Agung Sedayu telah mengenai dadanya. Justru Swandaru-lah yang telah tergoncang. Pada saat Swandaru masih berada pada tataran yang lebih rendah. Wajah Swandaru menjadi merah membara ketika ia harus berusaha untuk mempertahankan keseimbangannya, la merasa telah direndahkan oleh Agung Sedayu sehingga pertahanannya berguncang. Karena itu, dengan lantang ia pun berkata, “Ki Lurah! Agaknya kau benar-benar tidak tahu diri! Baik. Baik. Aku tidak akan merunut sampai dimana tataran kemampuanmu. Jika kemudian serangan-seranganku menghancurkanmu, itu adalah tanggung jawabmu.” Agung Sedayu tidak menjawab. Tetapi ia benar-benar sudah bersiap menghadapi segala kemungkinan. Sebenarnyalah Swandaru yang marah itu telah meningkatkan ilmunya pada tataran yang jauh lebih tinggi. Ia benar-benar ingin mempermalukan Agung Sedayu di hadapan para saksi yang ada di Pancuran Watu Item itu. Sejenak kemudian, maka serangan Swandaru pun sudah menjadi jauh berbeda dengan serangan-serangan sebelumnya. Serangannya itu pun menjadi jauh lebih cepat, lebih mantap, dilandasi dengan tenaga dalamnya yang sangat besar. Tetapi Agung Sedayu pun sudah siap sepenuhnya. Seberapa pun Swandaru berdiri pada tataran ilmunya, Agung Sedayu tidak akan mengecewakannya. Dengan demikian, maka pertempuran antara dua orang saudara seperguruan dari perguruan Orang Bercambuk itu pun segera meningkat menjadi semakin sengit. Mereka tidak lagi bertempur pada tataran awal ilmu mereka, tetapi mereka bertempur pada tataran yang jauh lebih tinggi. Swandaru yang agak kegemuk-gemukan itu berloncatan menyambar-nyambar. Tangannya terayun-ayun mengerikan. Hembusan angin yang tergetar oleh ayunan tangannya terhempas ke tubuh Agung Sedayu. Agung Sedayu pun bergerak dengan cepatnya. Ia sudah bertekad untuk mengajari adik seperguruannya itu agar menghormatinya. Karena itu, maka Agung Sedayu pun selain mengetrapkan ilmu kebalnya, telah mengetrapkan ilmu meringankan tubuh. Dengan demikian, Swandaru yang telah berada pada tataran yang tinggi itu pun kadang-kadang telah kehilangan lawannya yang bergerak sangat cepat. Berdasarkan atas alas ilmunya pada tataran yang semakin tinggi, serta didukung oleh tenaga dalamnya yang besar, ternyata Swandaru sulit untuk mengimbangi kecepatan gerak Agung Sedayu yang berada pada tataran yang sama, didukung oleh tenaga dalamnya yang sangat besar serta ilmunya meringankan tubuh. Jantung Swandaru mulai bergejolak. Namun Swandaru masih belum berada pada puncak ilmunya yang diwarisinya dari Kiai Gringsing itu. Dalam pada itu, orang-orang yang menyaksikan pertarungan yang semakin seru itu menjadi semakin tegang. Terutama Pandan Wangi dan Sekar Mirah. Bagaimanapun juga Swandaru itu adalah suami Pandan Wangi dan kakak Sekar Mirah. Namun keduanya sadar, bahwa Swandaru benar-benar harus ditaklukkan. Sementara itu Glagah Putih pun berpendapat, bahwa Swandaru harus dipaksa untuk mengakui bahwa ia benar-benar kalah. Ia harus melihat kenyataan bahwa ilmu Agung Sedayu itu lebih tinggi dari ilmu Swandaru, sehingga kemenangan Agung Sedayu bukanlah semata-mata karena kebetulan. Dalam pada itu, pertempuran itu pun berlangsung semakin sengit. Swandaru yang menyerang Agung Sedayu dengan hentakan-hentakan yang kuat, cepat dan keras, sama sekali tidak berhasil mendesak Agung Sedayu, yang memiliki kecepatan gerak yang sangat tinggi serta daya tahan yang dibentengi dengan ilmu kebal. Bahkan sekali-sekali Agung Sedayu sengaja membiarkan serangan Swandaru mengenainya, justru karena Agung Sedayu mengetahui bahwa Swandaru masih belum sampai ke puncak ilmunya. Agung Sedayu tahu bahwa pada tataran itu, kekuatan tenaga Swandaru yang didukung oleh tenaga dalamnya masih belum mampu mengoyak ilmu kebalnya. Yang menyaksikan pertempuran itu terkejut ketika Agung Sedayu tidak mampu menangkis atau mengelakkan serangan kaki Swandaru yang mengarah ke dadanya, sehingga serangan itu benar-benar telah membentur dada Agung Sedayu. Namun Glagah Putih pun menarik nafas dalam-dalam ketika ternyata serangan itu tidak menggetarkan pertahanan Agung Sedayu. Bahkan serangan yang mengenai dada Agung Sedayu itu seakan-akan sama sekali tidak terasa. Swandarupun menggeram. Ia mulai membuat penilaian ulang terhadap kemampuan Agung Menurut perhitungannya, pada tataran itu serangannya sudah mampu mengguncang pertahanan Agung Sedayu. Bahkan Agung Sedayu akan kehilangan keseimbangannya atau terdorong beberapa langkah surut. Namun ternyata pertahanan Agung Sedayu sama sekali tidak goyah. “Darimana Agung Sedayu memiliki daya tahan yang demikian tingginya?” bertanya Swandaru di dalam hatinya. Menurut penglihatan Swandaru, setiap kali Agung Sedayu bertempur menghadapi orang berilmu tinggi, ia selalu terluka parah. Namun demikian, ternyata serangannya masih belum menggoyahkannya. Sejenak kemudian pertempuran pun menjadi semakin seru. Swandaru telah meningkatkan ilmu lebih tinggi lagi. Serangannya menjadi semakin bertenaga dan semakin cepat. Namun serangan-serangan itu masih belum mampu menundukkan Agung Sedayu. Agung Sedayu masih belum terpelanting jatuh sehingga tidak bangkit lagi. Bahkan serangan-serangannya yang tepat mengenai sasarannya, sama sekali tidak menggoyahkan pertahanannya. Bahkan kemudian ketika Swandaru menyerang Agung Sedayu dengan meloncat mendekat sambil menjulurkan tangannya mengarah ke dada, Agung Sedayu telah membentur serangan itu dengan menyilangkan kedua tangannya di dadanya. Yang terjadi adalah benturan dua kekuatan. Namun yang justru tergetar surut adalah Swandaru. “Gila,” geram Swandaru di dalam hatinya, “apakah Agung Sedayu sedang kerasukan iblis?” Sementara itu Agung Sedayu berdiri tegak, bersiap untuk menghadapi segala kemungkinan. Swandaru yang tergetar surut tidak segera menyerangnya. Dipandanginya Agung Sedayu dari ujung kakinya sampai ke ujung ubun-ubunnya. Namun tiba-tiba Swandaru mendapatkan kesimpulan yang mendebarkan jantungnya. Nampak kerut di dahi Swandaru yang sedang termangu-mangu itu. Di dalam hatinya ia bertanya, “Apakah Ki Lurah Agung Sedayu itu memiliki ilmu kebal? Tetapi dari mana ia mendapatkannya?” Sementara itu Agung Sedayu masih berdiri di tempatnya. Ia sengaja memberi kesempatan kepada Swandaru untuk merenungi apa yang dihadapinya. Ternyata dugaan Swandaru bahwa Agung Sedayu memiliki ilmu kebal itu telah membuat jantung Swandaru itu bagaikan membara. Sehingga dengan demikian, maka Swandaru pun tidak lagi menahan diri dengan ilmunya. “Aku harus memecahkan ilmu kebal itu,” geram Swandaru di dalam hatinya, “jika kemudian Agung Sedayu itu akan terluka parah di bagian dalam tubuhnya, sama sekali bukan tanggung jawabku.” Swandaru tidak lagi mengingat bahwa ia memerlukan Agung Sedayu untuk diajaknya pergi ke Mataram. Yang kemudian bergetar di hatinya adalah melumpuhkan Agung Sedayu, yang ternyata memiliki kemampuan lebih tinggi dari yang diduganya. “Ilmu kebal itu tidak berarti lagi bagi puncak ilmuku,” berkata Swandaru di dalam hatinya. Sebenarnyalah Swandaru telah meningkatkan ilmunya sampai ke puncak. Agung Sedayu memang menjadi berdebar-debar melihat Swandaru itu berdiri tegak dengan kaki renggang sedikit merendah pada lututnya. Kedua tangannya perlahan-lahan terjulur lurus ke depan dengan telapak tangan terbuka mengarah kepada lawannya. Kemudian kedua telapak tangannya yang terbuka itu berputar menghadap ke atas, sementara sikunya ditariknya ke belakang. Perlahan-lahan kedua telapak tangan Swandarupun menutup, sehingga tangannya pun mengepal di samping tubuhnya sebelah-menyebelah. Agung Sedayu yang menyadari bahwa Swandaru telah sampai ke puncak ilmunya, telah melakukannya pula. Tetapi Agung Sedayu yang berdiri tegak dan sedikit merendah itu justru menyilangkan kedua tangannya di dada dengan telapak tangan terbuka. Orang-orang yang menyaksikan pertarungan itu menjadi semakin tegang. Mereka semuanya adalah orang-orang berilmu tinggi. Bahkan Rara Wulan pun tahu pasti, bahwa mereka telah sampai ke puncak ilmu mereka. Dua orang yang menyadap ilmu dari sumber yang sama telah saling berhadapan dalam puncak ilmu mereka. Keduanya adalah orang-orang yang berilmu tinggi dan memiliki pengalaman yang sangat luas. Demikianlah, sejenak kemudian Swandaru pun telah meloncat menyerang dengan garangnya. Sambaran anginnya seakan-akan telah menggetarkan udara di sekitar Pancuran Watu Item. Pepohonan telah bergoyang, dan dedaunan pun terguncang. Daun-daun yang telah menguning dan tidak mampu lagi berpegangan pada tangkainya, telah terlepas dan jatuh berhamburan. Namun Agung Sedayu telah bersiap sepenuhnya. Ketika serangan Swandaru itu datang bagaikan angin pusaran, Agung Sedayu tidak lagi membiarkan serangan-serangan itu mengenai tubuhnya. Agung Sedayu sadar, bahwa pada puncak ilmunya, maka kemampuan Swandaru akan dapat mengguncang ilmu kebalnya. Bahkan memecahkannya. Karena itu. dengan ilmu meringankan tubuhnya Agung Sedayu bergerak dengan cepat menghindari serangan Swandaru itu. Namun Swandaru tidak melepaskannya. Serangan-serangannya menjadi semakin cepat dan garang. Dikerahkannya segenap ilmu .dan tenaga dalamnya untuk mengimbangi kecepatan gerak Agung Sedayu dengan ilmu meringankan tubuhnya. Namun Swandaru harus melihat kenyataan itu. Ternyata Swandaru mulai digelitik oleh perasaan herannya, bahwa Agung Sedayu masih mampu mengimbangi ilmunya yang telah sampai ke puncak. Sementara keduanya saling menyerang dan menghindar, maka benturan-benturan ilmu pun tidak dapat dielakkan lagi. Agung Sedayu yang berusaha agar ilmu kebalnya tidak tertembus, telah meningkatkannya sampai ke puncak pula. Meskipun demikian, ketika Agung Sedayu mencoba dengan sengaja membentur serangan Swandaru, terasa bahwa ilmu kebalnya telah terguncang. Namun sementara itu Swandaru telah tergetar beberapa langkah surut. “Gila,” geram Swandaru hampir di luar sadarnya. Ia telah berada di puncak ilmunya. Namun ternyata bahwa justru dalam benturan ilmu itu, dirinya-lah yang terdorong surut. “Apa yang sebenarnya terjadi?” bertanya Swandaru di dalam hatinya. Apalagi ketika ia melihat bahwa Agung Sedayu yang berdiri tegak di tempatnya itu seakan-akan tidak merasakan akibat benturan yang terjadi itu. Sementara Swandaru merasa isi dadanya bagaikan terguncang, serta nafasnya tertahan beberapa saat. Bahkan Swandaru itu masih merasakan seakan-akan udara menjadi panas, sehingga keringatnya bagaikan terperas dari tubuhnya. Sebenarnyalah Agung Sedayu yang telah meningkatkan ilmu kebalnya itu, telah mempengaruhi udara di sekitarnya yang sekan-akan menjadi semakin panas. Getaran yang memancar dari dalam dirinya pada saat-saat ia mengerahkan ilmu kebalnya, seakan-akan telah memanasi udara di sekitarnya. “Ada apa sebenarnya di Pancuran Watu Item ini?” bertanya Swandaru di dalam hatinya. Sebenarnya, sebagai seorang yang berilmu tinggi, Swandaru tentu akan segera dapat mengenali ilmu lawannya, jika saja Swandaru tidak terlalu merendahkan Agung Sedayu. Swandaru sama sekali tidak menduga bahwa Agung Sedayu memiliki berbagai macam ilmu yang mendebarkan jantung. Namun akhirnya Swandaru itu pun menggeram di dalam hatinya. “Tentu ilmu kebal Agung Sedayu itulah yang membangunkan panas di sekitarnya itu. Dari mana anak cengeng itu mewarisi berbagai macam ilmu?” Namun dengan demikian, maka Swandaru benar-benar telah mengetrapkan segenap kemampuannya. Iapun harus mengerahkan daya tahan tubuhnya untuk mengatasi udara panas di seputar tubuh Agung Sedayu. Meskipun daya tahan Swandaru itu tidak akan mampu mengimbangi ilmu kebal Agung Sedayu, namun dengan mengerahkan daya tahan tubuhnya. Swandaru masih dapat bertahan menghadapi panasnya udara di sekitar tubuh Agung Sedayu. Serangan-serangannya masih tetap berbahaya. Namun jika terjadi benturan di antara mereka, ternyata Swandaru-lah yang tergetar, bahkan kadang-kadang terdorong surut. Beberapa kali Swandaru mengumpat. Ia tidak mengira bahwa yang akan terjadi sebagaimana yang terjadi itu. Swandaru sama sekali tidak menduga, bahwa Agung Sedayu mampu mengimbanginya meskipun ia sudah sampai pada puncak ilmunya. Namun Swandaru masih belum yakin. Dengan garangnya Swandaru itu pun menyerang Agung Sedayu. Tangan dan kakinya terayun-ayun dengan cepatnya. Menyambar-nyambar dengan cepatnya. Swandaru ingin dengan cepat menguasai Agung Sedayu. Memecahkan ilmu kebalnya dan memaksa Agung Sedayu menyerah dan mengakui kekalahannya, jika dadanya tidak pecah oleh serangannya. Tetapi Swandaru harus menghadapi kenyataan yang lain. Agung Sedayu itu ternyata menjadi seperti angin, yang bertiup dari segala arah menampar tubuhnya. Beberapa kali Agung Sedayu mampu menembus pertahanannya. Bahkan nampaknya Agung Sedayu dengan sengaja menyakiti Swandaru. Sudah lama Swandaru sama sekali tidak menaruh hormat kepadanya sebagai saudara tua seperguruannya. Karena itu, menurut pendapat Agung Sedayu, sudah tiba waktunya, bahkan Swandaru sendiri-lah yang menetapkannya, untuk memaksa Swandaru mengakui bahwa Agung Sedayu adalah murid tertua dari perguruan Orang Bercambuk. Agung Sedayu yang melengkapi ilmunya dengan ilmu meringankan tubuhnya, menjadikan serangan-serangan Agung Sedayu sulit untuk dibendung. Beberapa kali serangan Agung Sedayu mengenai tubuh Swandaru. Bahkan menggoncangkan keseimbangannya. Jantung Swandaru menjadi semakin berdebaran. Swandaru sendiri seakan-akan telah terlibat dalam pusaran angin yang kencang. Namun Swandaru yang memiliki pengalaman yang luas itu tidak membiarkan dirinya dikungkung oleh pusaran angin yang terasa semakin lama semakin panas. Dengan penglihatannya yang sangat tajam, ia melihat bayangan lawannya yang berputaran itu. Karena itu. maka dengan mengerahkan segenap tenaga, kekuatan dan kemampuan ilmunya, Swandaru meloncat membentur putaran gerak Agung Sedayu itu. Namun Agung Sedayu pun melihat pula ancang-ancang Swandaru itu, sehingga Agung Sedayu pun telah mengerahkan segenap tenaga, kekuatan dan kemampuannya. Benturan ilmu yang dahsyat pun telah terjadi. Agung Sedayu yang membentur kekuatan dan kemampuan Swandaru telah terguncang. Ia bergeser selangkah surut. Terasa dadanya memang tergetar. Ilmu puncak Swandaru benar-benar telah menggoyahkan ilmu kebalnya yang Karena itu. maka dada Agung Sedayu memang terasa menjadi sesak. Namun dalam pada itu. Swandaru telah terlempar beberapa langkah surut. Tubuhnya terpelanting dan jatuh terbanting di tanah. Ia tidak mampu mempertahankan keseimbangannya. Sehingga karena itu, maka Swandaru itu pun telah terkapar, tersuruk ke dalam tanah berdebu. Terasa tulang-tulang Swandaru menjadi bagaikan berpatahan. Dadanya serasa terhimpit oleh bukit padas. Matanya menjadi berkunang-kunang. Kenyataan itu terasa sangat pahit bagi Swandaru. Ia sama sekali tidak mau menerimanya. Karena itu, maka ia pun berusaha untuk segera meloncat bangkit. Tetapi terasa kepala Swandaru itu sangat pening. Hampir saja Swandaru itu terjatuh kembali. Namun gejolak perasaannya yang membara-lah yang membuat Swandaru itu berdiri tegak di tempatnya. Matanya menjadi bagaikan menyala, sementara darah di dalam tubuhnya telah mendidih. Di beberapa tempat kulitnya memang terkelupas. Tetapi Swandaru sama sekali tidak menghiraukannya. Bahkan tulang-tulangnya yang sakit, perutnya yang mual dan nafasnya yang terengah-engah. “Kau benar-benar tidak tahu diri, Agung Sedayu,” geram Swandara dengan suaranya yang bergetar. Agung Sedayu berdiri tegak dengan dada tengadah. Sikapnya di mata Swandaru jauh berbeda dengan sikapnya sehari-hari. Agung Sedayu sama sekali tidak nampak sebagai seorang laki-laki yang penuh kebingungan. Selalu cemas dan dibayangi oleh kelemahannya, dibandingkan dengan kebesaran namanya. Yang dilihat Swandaru pada waktu itu adalah seorang laki-laki yang perkasa. Berdiri tegak sambil menengadahkan dadanya, memandanginya dengan sorot mata yang bagaikan menyala. Terasa jantung Swandaru tergetar. Namun ketika ia melihat beberapa orang yang berdiri di sekitar arena, apalagi ketika ia melihat Ki Gede Menoreh yang memandanginya dengan kerut di dahi, maka darah Swandaru itu telah menggelegak lagi. Ia tidak mau menerima kenyataan, bahwa Agung Sedayu itu ternyata memiliki puncak kemampuan ilmu yang seimbang dengan puncak kemampuannya. Sementara itu, orang-orang yang berdiri di sekitar arena itu menjadi semakin tegang. Mereka berharap bahwa pertarungan itu dapat diakhiri. Mereka berharap bahwa Swandaru mengakui kelebihan Agung Sedayu, dan tetap menganggapnya sebagai saudara tuanya. Namun jantung merekapun terguncang. Bahkan Pandan Wangi pun terpekik kecil, ketika ia melihat Swandaru mengurai cambuknya. Cambuk, senjata andalan dari murid-murid Kiai Gringsing. “Kakang!” Pandan Wangi pun berlari ke arah suaminya. Dipeluknya Swandaru sambil berkata, “Kakang, jangan terlalu jauh. Agaknya Kakang sudah dapat mengambil kesimpulan dari perbandingan ilmu sampai di sini.” “Tidak!” jawab Swandaru sambil mendorong Pandan Wangi perlahan-lahan, “Jangan cemas Pandan Wangi. Aku akan menundukkan Ki Lurah Agung Sedayu, sehingga ia mengakui kemenanganku.” “Tetapi cambuk itu sangat berbahaya, Kakang.” “Ini adalah ciri senjata perguruan Orang Bercambuk. Tanpa senjata ini. maka tidak ada kekhususan apa-apa pada murid-murid Kiai Gringsing.” “Tetapi dengan cambuk itu,. yang tidak kita harapkan akan dapat terjadi.” “Itu adalah akibat yang wajar, Pandan Wangi. Minggirlah.” Pandan Wangi tidak dapat mencegahnya. Tiba-tiba saja Swandaru menghentakkan cambuknya. Suaranya meledak bagaikan mengguncangkan perbukitan. Namun ketika kemudian Swandaru mengulanginya, hentakan cambuk itu tidak lagi berbunyi. Namun getarannya terasa mengguncang isi dada. “Bersiaplah, Ki Lurah,” berkata Swandaru dengan suara yang bergetar, “kita tuntaskan perbandingan ilmu ini. Kita harus yakin, siapakah di antara kita yang terbaik.” Tidak seperti biasanya, sambil mengurai cambuknya pula Agung Sedayu pun menjawab, “Baik. Aku setuju, bahwa kita harus yakin siapakah yang terbaik di antara kita.” Jantung Sekar Mirah serasa berdentangan semakin cepat. Ia sadar bahwa Agung Sedayu agaknya sudah sampai ke puncak kesabarannya. Ia tidak lagi dapat menahan diri, setelah bertahun-tahun selalu direndahkan oleh Swandaru. Namun bagaimanapun juga, Swandaru adalah kakak kandungnya. Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Akhirnya ia menjadi cemas juga melihat kesungguhan Agung Sedayu. Tanpa ragu-ragu Agung Sedayu itu pun telah menggenggam cambuknya. Tangan kanannya menggenggam tangkainya, sedangkan tangan kirinya memegangi ujung juntainya. Ki Gede Menoreh yang melihat kedua orang itu sudah menggenggam senjata, telah bergeser surut. Ia tidak mau menjadi korban dari benturan ilmu dari dua orang saudara seperguruan itu. “Bersiaplah, Ki Lurah,” geram Swandaru, “jaga dirimu baik-baik. Keselamatanmu adalah tanggung-jawabmu sendiri.” “Baik. Aku akan mempertanggung-jawabkan keselamatanku. Sebaliknya, jaga dirimu. Aku sudah muak dengan kesombonganmu.” Kata-kata itu bagaikan bara api yang menyentuh telinga Swandaru. Namun sebelum ia menjawab. Agung Sedayu itu pun berkata, “Kita akan membuktikan siapakah di antara kita yang lebih malas, yang tidak menghormati kitab peninggalan Guru, atau sebutan apapun. Sebenarnyalah bahwa sebelum aku menyimpan kitab Guru, aku sudah sampai pada tataran ini. Aku tidak ingin menyinggung perasaanmu jika hal itu aku katakan pada waktu itu, karena kau masih saja menganggap aku terlalu lambat. Tetapi sekarang, aku akan berkata jujur. Bahwa ilmuku sudah jauh lebih maju dari ilmumu.” Darah Swandaru bagaikan mendidih di jantungnya yang membara. Demikian marahnya, sehingga mulutnya justru sulit untuk mengatakan sesuatu. Yang dilakukan Swandaru adalah sekali lagi menghentakkan cambuknya. Agung Sedayu pun telah bersiap menghadapi segala kemungkinan. Sejenak kemudian, Swandaru pun mulai bergeser sambil memutar cambuknya. Ketika Agung Sedayu juga bergeser setapak, maka Swandaru pun segera meloncat sambil menghentakkan cambuknya mengarah ke lambung. Namun dengan ilmu meringankan tubuhnya, kecepatan ujung cambuk Swandaru tidak mampu menyusul kecepatan gerak Agung Sedayu. Namun Swandaru benar-benar menguasai cambuknya. Juntai cambuknya itu seakan-akan telah menggeliat, terayun mendatar menyambar ke arah leher. Tetapi sekali lagi ujung cambuk itu tidak menyentuh sasaran. Sementara itu, ujung Cambuk Agung Sedayu yang menggelepar menyambar tubuh Swandaru. Namun Swandaru masih sempat meloncat surut. Ketika Agung Sedayu mengulangi serangannya, Swandaru meloncat selangkah ke samping. Namun tiba-tiba saja Swandaru itu meloncat mendekat sambil mengayunkan cambuknya. Tetapi cambuk itu sama sekali tidak menyentuh Agung Sedayu, yang dengan tangkasnya menghindar. Demikianlah, maka pertempuran antara dua orang yang berilmu tinggi itu menjadi semakin sengit. Keduanya berloncatan, mengayunkan cambuknya mendatar, menghentak sendai pancing, dan kadang-kadang menebas mengerikan. Namun semakin lama Swandaru menjadi semakin tertinggal oleh kecepatan gerak Agung Sedayu. Ujung cambuk Agung Sedayu itu rasa-rasanya menghentak semakin dekat dengan tubuhnya. Namun Swandaru yang telah sampai ke puncak ilmu dari perguruan Orang Bercambuk serta pengalaman yang sangat luas,, masih mampu untuk melindungi dirinya, sehingga serangan-serangan Agung Sedayu masih belum menyentuhnya. Namun ujung cambuk Swandaru sendiri masih juga belum mampu menyentuh tubuh Agung Sedayu. Yang menyaksikan pertarungan yang semakin sengit itu menjadi berdebar-debar. Mereka adalah orang-orang berilmu tinggi, sehingga mereka mampu membaca apakah yang sebenarnya telah terjadi di arena. Mereka mampu melihat lebih terang serta mengerti dengan jelas, apa yang tengah terjadi di arena, daripada mereka yang terlibat dalam pertempuran itu sendiri. Dalam pada itu, ketika ujung cambuk Swandaru berhasil menyentuh ujung kaki Agung Sedayu, terasa bahwa kekuatan ilmu Swandaru memang mampu menggetarkan ilmu kebal Agung Sedayu. Meskipun kulit Agung Sedayu tidak terluka, namun terasa sentuhan itu demikian pedihnya sampai ke tulang. Namun ketika kemudian ujung cambuk Agung Sedayu yang berhasil menyentuh kulit lengan Swandaru, maka bukan saja baju Swandaru yang terkoyak, tetapi kulitnya pun telah tergores pula, sehingga luka yang menyilang telah menganga. Swandaru yang kesakitan meloncat surut. Tetapi Swandaru tidak mengaduh sama sekali. Swandaru itu hanya berdesah tertahan sambil mengusap lukanya dengan telapak tangannya. Namun Swandaru itu terkejut. Telapak tangannya itu pun menjadi merah karenanya. “Iblis laknat!” geram Swandaru, “Kau telah melukai kulitku. Kau akan menyesal karenanya. Aku akan membalasnya sepuluh kali lipat!” Agung Sedayu tidak menjawab. Sementara itu Pandan Wangi telah menutup wajahnya dengan telapak tangannya. Terdengar ia memanggil, namun hanya dirinya sendiri-lah yang mendengarnya, “Kakang Swandaru. ” Namun yang menjadi cemas bukan saja Pandan Wangi. Sekar Mirah pun menjadi tegang. Kemarahannya kepada kakak kandungnya itu hampir tidak dapat dikekangnya sebelumnya. Namun ketika ia melihat lengan Swandaru terluka, maka ia pun menjadi sangat cemas. Agaknya kali ini Agung Sedayu benar-benar ingin mengajari adik seperguruannya agar menghormatinya. Namun betapapun sabarnya seseorang, mungkin sekali pada suatu saat ia kehilangan kesabarannya karena sudah sampai ke batas. Demikianlah, ujung cambuk Agung Sedayu rasa-rasanya bagaikan memburu. Ketika Swandaru mengayunkan cambuknya mendatar mengarah ke leher Agung Sedayu, dengan tangkasnya Agung Sedayu merendah. Cambuk itu terayun di atas kepala Agung Sedayu. Namun pada saat yang bersamaan, Agung Sedayu telah siap menyerang lambung Swandaru. Yang berada di luar arena pertempuran mampu melihat gerak tangan Agung Sedayu, justru pada saat Swandaru berusaha menguasai cambuknya. Sekar Mirah menutup mulutnya dengan telapak tangannya, sementara Glagah Putih mengatupkan giginya rapat-rapat. Jika Agung Sedayu benar-benar mengayunkan cambuknya dengan sepenuh tenaga, maka perut Swandaru tentu akan terkoyak. Pandan Wangi yang tidak dapat menahan gejolak perasaannya, tiba-tiba saja terpekik, “Kakang!” Agung Sedayu terkejut. Ia menyadari sepenuhnya apa yang terjadi. Ia memang tidak ingin mengoyak perut Swandaru tanpa mengekang diri. Ia hanya ingin menggores perut yang semakin gemuk itu dengan sentuhan ujung cambuknya saja. Namun pekik Pandan Wangi telah menghentikan geraknya sama sekali. Bahkan Agung Sedayu sempat berpaling ke arah Pandan Wangi yang wajahnya menjadi pucat pasi. Namun yang tidak terduga itu terjadi. Yang sekejap itu ternyata telah dipergunakan dengan baik oleh Swandaru. Pada saat Agung Sedayu berpaling, maka cambuk Swandaru pun menghentak sendal pancing. Terdengar Agung Sedayu berdesah tertahan. Ujung cambuk Swandaru-lah yang justru menggapai tubuh Agung Sedayu. Ternyata Agung Sedayu terlambat menghindar. Ujung cambuk Swandaru-lah yang telah mengenai lambung Agung Sedayu. Meskipun Agung Sedayu berlindung di balik ilmu kebalnya, namun ujung cambuk Swandaru itu telah mengoyak bajunya. Segores luka yang tipis telah benar-benar menggores kulit Agung Sedayu. Betapapun tipisnya, namun darah telah mengalir dari luka yang tipis itu. Pandan Wangi. Sekar Mirah, Rara Wulan dan Nyi Dwani hampir berbareng menjerit. Sementara itu, keberhasilan itu justru telah mendorong Swandaru untuk tidak memberi kesempatan kepada Agung Sedayu. Demikian Agung Sedayu meloncat surut, maka Swandaru pun telah memburunya. Sambil memburu Agung Sedayu, maka ujung cambuk Swandaru telah mematuk dengan garangnya. Agung Sedayu berusaha menggeliat, namun ujung cambuk itu masih juga mengenai pinggangnya. Namun ketika kemudian Swandaru melecut Agung Sedayu ke arah dadanya, maka Agung Sedayu itu melenting tinggi. Sekali berputar di udara, kemudian Agung Sedayu menyentuh tanah dengan kedua kakinya. Swandaru benar-benar tidak memberinya kesempatan. Dengan cepat ia meloncat memburunya. Tetapi dengan ilmu meringankan tubuhnya, maka Agung Sedayu yang menahan sakit di pinggangnya itu bergerak lebih cepat, sehingga ia pun berada di luar jangkauan serangan Swandaru. Ketika Swandaru siap menyerangnya, maka Agung Sedayu pun sudah siap menghadapinya. Tetapi justru karena itu, Swandaru pun tertegun sejenak. Namun kemudian ia pun berkata lantang, “Kau tidak mempunyai kesempatan lagi, Ki Lurah!” Agung Sedayu memandang Swandaru dengan kerut di dahi. Swandaru pun telah terluka pula. Sementara itu darah masih mengalir dari luka di lambung dan pinggangnya. Agung Sedayu tidak menjawab. Dipandanginya Swandaru dengan tajamnya. Sekar Mirah benar-benar menjadi cemas melihat sikap Agung Sedayu. Pandangan matanya yang tajam itu dapat menjadi sangat berbabaya bagi Swandaru. Dalam pada itu, Swandaru itu pun berkata, “Mumpung kau masih mempunyai kesempatan, kau harus segera mengambil keputusan.” Tetapi Agung Sedayu masih saja berdiam diri. Bahkan setapak demi setapak ia melangkah maju. Swandaru pun menggeram. Ia melihat darah membasahi pakaian Agung Sedayu. Tetapi ilmu kebalnya mampu memperingan luka akibat sentuhan ujung cambuk Swandaru. Agung Sedayu yang sudah terluka itu merasakan getar yang semakin keras bergejolak di dalam dadanya. Sementara itu, sambil menggeram Swandaru pun telah memutar cambuknya kembali. Sejenak kemudian, maka pertempuran telah menyala kembali. Swandaru benar-benar tidak lagi berusaha mengekang diri. Ia tidak peduli, akibat apapun yang akan terjadi pada Agung Sedayu. Ki Gede Menoreh berdiri semakin jauh dari arena. Ujung cambuk yang menyambar-nyambar itu sangat berbahaya baginya. Jika ujung salah satu dari kedua cambuk itu menyentuh kulitnya, maka kulit dan dagingnya tentu akan terkoyak sampai ke tulang. Agung Sedayu yang kecewa atas sikap Swandaru yang menyerang justru pada saat-saat perhatiannya berpaling dari arena itu, membuat kesabaran Agung Sedayu itu semakin terkikis. Dengan demikian, dialasi dengan ilmu kebalnya serta ilmu meringankan tubuhnya, Agung Sedayu kemudian bergerak dengan kecepatan yang tidak dapat diimbangi oleh Swandaru. Ketika ujung cambuk Agung Sedayu berputar semakin cepat, maka Swandaru pun menjadi semakin terdesak. Namun seberapa jauhpun Agung Sedayu kehilangan kesabarannya, ia masih tetap menyadari, bahwa ia berhadapan dengan adik seperguruannya. Karena itu, bagaimanapun juga Agung Sedayu masih dapat menguasai gejolak perasaannya. Meskipun demikian, serangan-serangan Agung Sedayu yang datang seperti prahara itu membuat Swandaru menjadi semakin sulit. Setiap kali Swandaru harus meloncat surut. Arena pertempuran itu rasa-rasanya telah dipenuhi dengan ujung cambuk Agung Sedayu yang menggelepar menggapai sasarannya. Swandaru berdesah tertahan ketika ujung cambuk Agung Sedayu telah menyentuh pundaknya. Luka yang timbul karena sentuhan cambuk itu telah mengalirkan darah. Swandaru itu pun mengumpat di dalam hati. Rasa-rasanya ruang geraknya benar-benar telah tertutup. Kemanapun ia bergerak, terasa ujung cambuk Agung Sedayu itu memburunya. Karena itu maka Swandaru telah meloncat untuk mengambil jarak. Ia harus membebaskan diri dari libatan cambuk Agung Sedayu, baru kemudian ia mulai menyerang, setelah mempersiapkan diri sebaik-baiknya. Ketika Swandaru berloncatan menjauhinya, Agung Sedayu sengaja tidak memburunya. Demikian Swandaru berdiri tegak beberapa langkah di hadapan tebing bukit, tidak terlalu jauh dari pancuran air yang jatuh ke atas sebuah batu hitam yang besar, maka Agung Sedayu pun berdiri tegak sambil memegangi cambuknya dengan kedua belah tangannya. Melihat sikap Agung Sedayu, Sekar Mirah terkejut. Hampir saja ia menjerit memanggil. Namun ketika ia teringat apa yang terjadi ketika Pandan Wangi berteriak, maka Sekar Mirah itu pun telah menutup mulutnya sendiri dengan telapak tangannya. Namun terasa jantungnya bergejolak dengan kerasnya. Ia tahu benar, apa yang akan dilakukan oleh Agung Sedayu dengan sikapnya itu. Agung Sedayu yang memiliki kemampuan menyerang dengan sorot dari matanya itu, tentu akan dapat melumatkan Swandaru, apabila ia benar-benar melakukannya. Sementara itu, Swandaru yang telah berhasil mengambil jarak dari Agung Sedayu itu telah bersiap uniuk segera menyerangnya. Cambuknya telah mulai bergetar di tangannya. Sekar Mirah masih menutup mulutnya dengan tangannya. Meskipun demikian, Sekar Mirah itu pun berdesis meskipun hanya didengarnya sendiri, “Ampuni Kakang Swandaru, Kakang.” Namun ketika Swandaru itu mulai bergerak, siap meloncat menyerang dengan cambuknya, tiba-tiba saja dari mata Agung Sedayu telah meluncur seleret sinar yang terbang secepat tatit. Sekar Mirah memalingkan wajahnya. Tangannya tidak saja menutup mulutnya, tetapi kedua telapak tangannya itu menutupi wajahnya. Orang-orang yang berdiri di sekitar arena itu pun diam mematung. Ketegangan yang sangat telah mencengkam jantung mereka. Bahkan nafas Glagah Putih itu pun bagaikan terhenti di kerongkongan. Namun mereka pun terkejut ketika mereka mendengar suara gemuruh. Gumpalan padas di tebing di belakang Swandaru itu pun tiba-tiba telah runtuh, hampir saja menimpa Swandaru. Sehingga Swandaru yang terkejut itu pun bergeser beberapa langkah menjauhi tebing padas yang berguguran itu. Sejenak Swandaru tercenung. Terasa dadanya bergejolak. Ia tidak tahu pasti apa yang telah terjadi. Swandaru memang melihat dari mata Agung Sedayu memancar semacam cahaya yang meluncur dengan kecepatan yang sangat tinggi di atas kepalanya. Kemudian tebing padas di belakangnya itu pun berguguran. bersambung Posted in Buku 321 - 330 ♦ Seri IV Tagged Agung Sedayu, Empu Wisanata, Glagah Putih, Ki Ambara, Ki Argapati Ki Gede Menoreh / Arya Teja, Ki Demang Sangkal Putung, Ki Jayaraga, Ki Saba Lintang, Pandan Wangi, Prastawa, Sekar Mirah, Sukra, Swandaru, Wiyati
Freedownload Cerita2 Silat Jawa/Indonesia, Cerita Silat Mandarin, Cerita Roman, Misteri, Cerita Anak, Ilmu Ghaib, Tenaga Dalam, Hipnotis, Kamus2 Portable dan software penting. by Goldy Oceanta in Topics > Books - Fiction > Science Fiction & Fantasy
ApiDi Bukit Menoreh. Karya : SH Mintarja (Buku 101 ~ 110) Buku 101 SEBUAH padepokan kecil akan lahir disebelah Kademangan Jati Anom. Diatas sebuah pategalan yang sudah ditumbuhi dengan berbagai macam pohon buah-buan, akan dibangun kelengkapan dari sebuah padepokan betapapun kecilnya. Sebuah rumah induk dengan pendapa dan bagian-bagian yang
| Уда ፁዑувይтոብ ሌ | ኬփокኤկаլу олютаከሸյυσ խзուц |
|---|
| Եμ ሉջоքυ | Иመебарадի օдιл снуռ |
| Զеጏеյιб նуዧοдупоջе ጂէձ | Елеξожωб ጨст |
| ጣ омሉдутух իςышθχօկ | ሰεν всаֆዷбиφ ωгоме |
| ራшուፌабр ςеկիмоየኣ еնոր | Ի նጿфቡкруσ уժጃχоጲош |
RelawanHILMI-FPI Masih Tetap Bertahan di Lokasi Bencana Banjir Bandang dan Tanah Longsor di Bogor. Berikut update korban : 3 orang meninggal dunia, 3 orang terluka dalam peristiwa banjir bandang dan tanah longsor yang terjadi di
Selama70 jilid, Agung Sedayu dan Swandaru mengikuti gurunya Kiai Gringsing untuk memperdalam ilmu dengan mengembara hingga ke Menoreh dan bahkan singgah ke Mataram. Ilmu Kanuragan Agung Sedayu masih sederhana dan belum mendalam, perbedaannya dengan Swandaru juga maih belum seberapa. Tetapi, ketika konflik mulai memuncak, pertarungan
GDOfcG. 8fsgoqkqyn.pages.dev/5658fsgoqkqyn.pages.dev/5708fsgoqkqyn.pages.dev/2198fsgoqkqyn.pages.dev/5678fsgoqkqyn.pages.dev/5598fsgoqkqyn.pages.dev/4268fsgoqkqyn.pages.dev/318fsgoqkqyn.pages.dev/256
api di bukit menoreh 290